Lihat ke Halaman Asli

Ka'bah dan Mereka yang Menumpahkan Darah untuk "Mensucikannya" Bagian 2

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mekkah jatuh ke tangan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Barangkali inilah satu-satunya momen penaklukkan Mekkah dengan korban yang minimal. Jika saja kaum Quraisy pada waktu itu patuh pada usulan Abu Sufyan, Fathu Makkah akan bersih dari darah. Tapi sebagian mereka memilih melawan sehingga pasukan Khalid bin Walid pun terpaksa mengeluarkan pedang.

Kondisi relatif aman pada masa Khulafaur Rasyidin. Ketika masa-masa ini usai, banyak ketidakpuasan muncul dari kalangan muslimin terhadap kekhalifahan—atau monarki, karena masa Muawwiyah bin Abu Sufyan lebih mirip monarki.

Di masa Yazid bin Muawwiyah, pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Zubair, cucu dari Abu Bakar ash-Shiddiq, mengklaim diri sebagai Khalifah atas Tanah Hijaz. Beliaupun mendapat baiat dari banyak kaum muslimin, terutama mereka yang tidak puas pada kepemimpinan Yazid bin Muawwiyah.

Demi mempertahankan kekuasaannya, Yazid bin Muawwiyah mengirimkan Husain bin Numair beserta pasukannya untuk membunuh Abdullah bin Zubair dan mengembalikan kekuasaan atas Mekkah kepadanya. Mereka pun mengepung Abdullah bin Zubair yang kemudian berlindung di dekat Ka’bah, tapi pasukan Husain bin Numair terus-menerus melemparkan peluru melalui ketapel, sehingga sebagian dinding Ka’bah pun hancur!

Husain bin Numair baru berhenti ketika mendengar berita bahwa Yazid bin Muawwiyah meninggal secara tiba-tiba.

Inilah pertumpahan darah yang lain. Baik Yazid bin Muawwiyah maupun Abdullah bin Zubair, walaupun bersengketa dalam urusan kekuasaan atas Negeri Islam, secara lahiriah, kedua-duanya tetap (berusaha) mengagungkan Ka’bah—dan biarkan Allah menjadi sebaik-baik Pemberi Keputusan.

Abdullah bin Zubair membangun kembali Ka’bah sesuai dengan Ka’bah yang diinginkan oleh Rasulullah SAW, yakni Ka’bah yang sesuai dengan arsitektur Ka’bah di masa Nabi Ibrahim as: yakni berpintu 2, dengan pintu yang menyentuh tanah, dan sebagian Hijr Ismail yang dimasukkan ke dalam Ka’bah.

Tapi ketika Abdul Malik bin Marwan berkuasa, dia mengirim Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi untuk membunuh Abdullah bin Zubair, dan lagi-lagi, mengembalikan kekuasaan atas Hijaz (dan Mekkah khususnya) ke tangannya. Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi dan pasukannya pun menyerbu Mekkah. Abdullah bin Zubair dan pasukannya dikepung selama 8 bulan 17 hari, hingga tertangkap dan kepalanya dipenggal.

Pada penyerangan ini, pasukan Hajaj bin Yusuf at-Thaqafi menggunakan bola api sehingga kiswah Ka’bah terbakar, dan beberapa kayu di dalam Ka’bah, hangus. Setelah itu, Abdul Malik bin Marwan membangun kembali Ka’bah, tapi sesuai bentuk Ka’bah di masa Quraisy, karena dia berpikir Abdullah bin Zubair mengada-ada dalam membangun Ka’bah yang berpintu dua itu.

Sekali lagi, inilah pertumpahan darah lain di sekitar Ka’bah, dan kedua-duanya berlaku dalam semangat dan prasangka mereka untuk mengagungkan dan mensucikan Ka’bah. Allah-lah sebaik-baik Pemberi Keputusan.

Pertumpahan darah berikutnya terjadi di masa Kerajaan Arab Saudi. Adalah Juhaiman bin Muhamad bin Saif al-Otaibi, salah seorang jebolan Garda Nasional, yang kecewa terhadap keluarga kerajaan yang dinilainya tidak islami. Kekecewaan ini ditambah dengan ‘pembantaian’, katakanlah seperti itu, terhadap sukunya, oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline