Lihat ke Halaman Asli

Irfan Kurnia

Business Development Lead di Trustmedis

5 Hal yang Saya Pelajari dari Tahun Pertama Saya sebagai UX Researcher

Diperbarui: 6 April 2021   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di Medium. Diterjemahkan oleh Irfan Kurnia.

Sudah banyak blogger dan kompasianer lain yang sudah membagikan kisah tahun pertamanya bekerja di bidang User Experience (UX). Kebanyakan dari mereka merupakan lulusan sekolah desain atau bekerja langsung setelah mengikuti suatu bootcamp. Saya jadi terpikir untuk membagikan cerita saya bekerja di bidang UX tanpa memiliki pengalaman desain profesional selain mendesain website menggunakan WordPress untuk UMKM semasa kuliah.

Saya memiliki gelar sarjana di bidang Manajemen. Pernah magang di bidang pemasaran pada sebuah startup. Dan saya juga pernah bekerja sebagai penyiar radio. Jadi (sampai saat ini) saya berpikir bahwa saya adalah seorang generalist yang tidak memiliki spesialisasi di bidang tertentu.

Ketika saya melamar kerja di Trustmedis (salah satu perusahaan teknologi kesehatan di Surabaya, Jawa Timur) sebagai seorang UX Researcher, Head of Product disana bertanya mengenai pengalaman saya waktu magang di bidang pemasaran. 

Saya mengatakan bahwa saya sering berbicara dengan pelanggan, mendapat sudut pandang, dan melakukan berbagai macam aktivitas eksploratif. Dan dia meminta saya untuk membuat satu wireframe sederhana menggunakan Figma untuk pertimbangan lebih lanjut. Kemudian saya diterima bekerja sebagai UX Researcher.

Meskipun saya masih harus belajar tentang design thinking, teori-teori, proses, sistem, dan masih banyak lagi, saya merasa pengalaman saya sebelumnya memiliki kelebihan tersendiri. Setahun kemudian, ini yang saya pelajari.

1. Selalu tanyakan "Kenapa?"

Kecenderungan untuk mempercayai sesuatu tanpa adanya bukti yang pasti akan mengarah pada kegagalan. Sebagai UX Researcher, sangat penting untuk menelusuri akar dari suatu masalah. Ketika kamu tidak menerima begitu saja dan menggali lebih dalam, kamu akan terkejut betapa banyaknya sudut pandang baru yang bisa menjadi faktor penting dalam menyelesaikan suatu masalah dan merancang suatu solusi secara berkelanjutan.

Ada satu pengalaman sederhana ketika saya mengunjungi satu rumah sakit untuk menelusuri keseharian perawat dan petugas administrasi rumah sakit. Saya menemukan bahwa karyawan yang usianya lebih tua sering menemukan kesulitan dalam menggunakan komputer. Ketika saya tanya apa masalahnya, mereka akan mengatakan seperti "Saya tidak bisa melihat teks secara jelas karena ukurannya terlalu kecil." Pikiran pertama saya waktu itu adalah "Ya sudah, kita perbesar saja ukuran font nya."

Setelah banyak iterasi dan banyak bertanya "kenapa", saya menemukan bahwa ukuran font bukanlah masalah utama. Mereka bingung karena informasi yang disajikan tidak selaras dengan pengetahuan serta terminologi yang sering mereka gunakan dalam pekerjaan sehari-harinya.

2. Hati-hati dalam memilih metode riset

Pada saat saya masih mengerjakan skripsi saya, saya memilih metode yang paling mudah untuk melakukan riset. Ternyata ini berbahaya ketika diaplikasikan dalam UX research. Kita harus belajar tentang industri, pengguna kita, serta hal-hal yang terlibat di dalamnya.

Tentu sangat mudah untuk tergoda dengan apa yang dilakukan oleh kompetitor dan jiplak desainnya. Seringkali kita mendengar "Desain mereka sukses loh dalam membuat penggunanya senang, kita jiplak saja!" Ini sangat salah. Kamu harus punya alasan tersendiri ketika memilih dan merancang produk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline