Ada sebuah kemungkinan
Keras kepalanya musim suatu pertanda bahwa langit ikut termenung saat tahu
kau akan pergi dan berlabuh pada sandaran lain
yang kelak akan mengisi hari harimu
masih ingatkah saat terakhir kalinya ?
menjelang perpisahan kita
kau memintaku untuk mendekat, memandang senyum manis dan legit pipimu
mendadak sebagai hadiah tak terbentuk
kemudian kau lebih suka menyebutnya kenangan
Hiasan bunga ungu dan tangkainya hijau yang kita ciptakan kala itu
menambah suasana, setidaknya ruang rindu kita berdua
lebih dari sebuah kata sederhana namun sempurna
kau dan aku duduk sambil saling menatap
atas melodi melankolis yang dimainkan senja
aku mengatakan padanya, jangan beranjak pergi
ketahuilah bahwa tentang kau dan semesta tak terlupa
lalu kau tersenyum, dengan mata mendung
kau membalas, kita hanya abadi dalam sajak dan senandung
pena tak terbendung
tapi di keresahan dunia nyata,
kita tak lebih dari sekedar kata kata fatamorgana
keheningan dan kesunyian
seketika mewarnai kisah percakapan
yang direkam oleh hujan yang turun cepat dan gelagapan
aku terdiam kehabisan makna,
Namun semenjak kepergianmu, percayalah
Dan sebelum kau benar benar memutuskan tak kembali
Di palung terdalam hatimu, terdapat puisiku yang tertinggal
Muhammad Irfan Fauzi
Depok, 11 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H