Lihat ke Halaman Asli

Irfan Fauzi

Berbagi tanpa harus mencaci

Nekad Traveler: Meyusuri Malang

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjalanan bagi saya adalah sebuah proses mendewasakan sikap, hati dan lisan. Dalam setiap perjalanan saya pasti menemui sesuatu yang baru yang ada di dunia luar. Seperti yang terjadi pada Sabtu (16/5) saat saya dan kawan kos melakukan perjalanan yang unpredictable. Saya, Yudi dan Bang Mido tanpa sedikit pun rencana bepergian tiba-tiba memutuskan untuk melancong ke Malang. Bang Mido bilang sesuatu yang tak direncakan selalu menyimpan kejutan-kejutan pengalaman bagi kita. Saya sedikit sepakat meskipun banyak tidak sepakatnya dengan ucapannya, karena tidak semua hal harus “tidak direncanakan”.

Setelah Dhuhur, kami bertiga mengendarai motor menuju arah Malang. Menuju Malang dari arah Pare, Kediri cukup memakan waktu satu jam perjalanan dan kita sudah bisa merasakan sejuknya Kabupaten Malang. Jujur, ini pertama kali saya memasuki kawasan Kabupaten dan Kota Malang. Saya sangat excited untuk segera menyaksikan indahnya pemandangan di Malang. Dari arah Pare kita cukup mengikuti rute ke arah Kabupaten Malang. Setelah itu hanya jalan lurus dan sedikit berkelok yang kita temui. Setelah melewati perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Kediri jalan sudah mulai menanjak sedikit curam dan berkelok. Bis dan Truk biasanya jalan pelan saat melalui jalan ini. Suhu di daerah sini mulai terasa sejuk. Pemandangan rumah-rumah warga pun berganti dengan hamparan sawah hijau yang berundak terasering yang berbaris rapih. Setiap ujung sawah selalu ada pohon kelapa yang menjulang tinggi untuk membatasi area sawah dan sungai.

Sekitar pukul setengah tiga sore Bang Mido sudah menghentikan laju motornya dan mampir di sebuah pondokan Duren yang terletak tepat di pinggir jalan dan membelakangi sawah-sawah. Ternyata mbak-mbak penjual duren itu adalah salah satu kenalan wanitanya di Malang. Sejam lebih kami menghabiskan waktu di pondokan mbak duren. Makan dua buah duren sudah cukup membuat puas, ditambah ada ketan dan kolek duren. Maknyus. Kami makan sambil memandangi pemandangan khas persawahan Kabupaten Malang. Pukul empat sore lebih, setelah mendirikan shalat Ashar kami melanjutkan perjalanan menuju arah Kota Batu.

Trek menuju kota Batu juga berkelok-kelok dengan sedikit tanjakan. Tapi, pemandangan yang ada di sisi-sisinya lebih indah dari sebelumnya. Suhu yang sejuk serta pemandangan berupa sawah-sawah yang sudah menguning benar-benar memanjakan mata kami. Sesekali saya menoleh ke samping, meskipun sebenarnya berbahaya dilakukan saat mengendarai motor. Persawahan yang saya lihat benar-benar berbeda. Meskipun tetap berbentuk terasering, tapi karena sawah yang sudah menguning serta disinari oleh cahaya sore matahari membuat sawah benar-benar berkilau. Belum lagi suara aliran air sungai berbatu yang membatasi antara jalan dan areal persawahan benar-benar menggoda untuk disinggahi dan dinikmati kesegarannya.

Di sekitar jalan antara Kabupaten Malang dan Kota Batu, saya menemui beberapa tempat wisata alam. Ada waduk selorejo, yang sangat luas dan tampak dari jalan raya. Menurut seorang teman, jika kita mengunjungi waduk itu, kita bisa menaiki perahu yang sudah tersedia disana yang dapat dinaiki oleh 7-8 orang. Perahu itu akan membawa kita ke tengah-tengah waduk untuk menikmati indahnya suasana sore di tengah waduk. Sayang, saat itu kami tidak berkesempatan untuk mengunjungi waduk tersebut. Tidak jauh dari waduk, ada tempat wisata coban sewu. Yaitu air terjun dengan ketinggian kurang lebih 7-8 meter yang juga tampak dari jalan. Hanya dibatasi oleh sungai berbatu dan area persawahan. Tapi kami tetap melaju menuju kota Batu.

Memasuki kawasan Kota Batu, suara-suara serangga khas pegunungan mulai terdengar bersahutan. Kala itu hari sudah mulai gelap. Menyisakan remang-remang lampu jalanan sebagai penerangan malam di jalan raya Malang-Batu. Udara mulai berubah dari sejuk menjadi dingin. Dari sisi-sisi jalan, tampak kawasan pemukiman Songgoriti jauh di bawah kami. Karena kami sedang berada di sisi-sisi lereng gunung, sedangkan menuju kawasan Songgoriti kami harus menuruni lereng gunung ini.

Sekitar pukul setengah enam sore, kami sudah dekat dengan kawasan wisata Songgoriti. Kelap kelip lampu pemukiman di Songgoriti benar-benar indah jika dilihat dari atas lereng gunung. Motor kami terus melaju dengan kecepatan konstan, hingga mulai melambat saat memasuki pertigaan Songgoriti. Tampak beberapa belas pramuwisata yang sedang mangkal mencari pelanggan, untuk diantar ke penginapan-penginapan di kawasan Songgoriti. Kami pun mengambil jalur sebelah kiri dan belok tepat di pertigaan itu. Dari pertigaan kurang lebih setengah jam kami sudah menaiki kembali jalan menanjak menuju lereng paralayang. Mungkin karena saat itu malam minggu, jalanan begitu ramai dan padat. Padahal cuaca sore itu benar-benar dingin.

Untuk masuk lereng paralayang, kami dikenai tiket masuk sebesar Rp. 5000 untuk satu orang, dan tiket parkir Rp.5000 untuk satu motor. Trek menuju parkiran wisata lereng paralayang cukup menantang. Jalan tanah, berkerikil, serta menanjak harus dilewati. Jika tidak hati-hati ban motor akan selip dan penumpangnya tergelincir. Sesampai di parkiran, adzan magrib sudah berkumandang, udara semakin dingin,dan kabut tipis mulai turun. Kami memutuskan untuk menangguhkan shalat dan men-Jama’nya di waktu isya.

Suasana malam itu begitu padat, banyak pengunjung yang sedang menikmati indahnya suasana malam kota Batu dilihat dari bukit paralayang. Biasanya kalau siang hari ada beberapa penerjun payung yang beraksi dan lompat dari bukit ini. Menurut seorang teman juga, setiap penejun payung hanya dikenakan biaya Rp. 300.000,- dan sudah ditemani pemandu cukup murah bukan? . Disamping itu, jika kita turun sedikit ke arah samping bawah bukit paralayang, kita akan menemukan beberapa rumah pohon yang terbuat murni dari kayu dan terletak di atas ketinggian 5-6 meter dari pangkal pohon. Sayangnya, saat kami coba kesana, hari sudah gelap dan kunjungan wisata rumah pohon pun ditutup. Kebetulan juga malam itu rumah pohon sudah di boking oleh beberapa pengunjung.

Meski demikian, kami tidak lantas kecewa karena sudah menyambangi bukit paralayang. Kelap kelip lampu rumah, mobil dan motor para warga Kota Batu sungguh terlihat seperti bintang yang ada di bawah kami. Bukit ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan bukit Bintang yang ada di Yogyakarta. Selain itu lahan landai yang cukup luas dijadikan tempat favorit bagi para pengunjung untunk berfoto ria. Tentu kami juga tak melewatkan kesempatan berfoto bersama.

Setelah puas kedinginan di bukit paralayang, kami segera meluncur turun menuju Kota Malang. Butuh waktu sekitar satu jam dari Bukit Paralayang menuju Kota Malang. Memasuki kota Malang, cuaca tidak sedingin saat berada di Kota Batu, tapi tetap tidak mengurangi kesejukan kota Malang. Arus lalu lintas saat itu, semakin malam semakin padat. Terlebih pada malam minggu. Mulai dari lampu merah setelah Museum Angkut sampai ke tugu perbatasan kota Malang, mobil-mobil pribadi terjebak macet. Untung, kami bertiga mengendarai sepeda motor yang selalu bisa selap selip meskipun di jalan sempit.

Kurang lebih pukul delapan malam, kami singgah di sebuah warung nasi goreng tepat depan pom bensin dekat kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Memesan tiga porsi nasi goreng telor dan tiga teh angat, cukup untuk mengganjal perut yang lapar. sembari menunggu nasi goreng dibuat, saya dan Yudi pergi ke mushola pom bensin untuk men-jama- shalat magrib dan Isya. Selepas itu, barulah kami menyantap nasi goreng Malang, meskipun bukan khas Malang-karena rasanya seperti nasi goreng pada umumnya-.

Kami tidak berlama-lama “nongkrong” di Nasi Goreng dekat UMM. Setelah bertanya-tanya kepada warga sekitar, kami melanjutkan perjalanan menuju balaikota Malang. Kami memacu motor cukup santai, melewati keramaian-keramaian kota Malang. Beberapa Kampus tampak sepi di malam hari, tapi Mall, supermarket, dan cafe tampak bergairah di malam minggu yang cerah itu. Pukul setengah 10 kami sampai di Balaikota Malang.

Di depan balaikota Malang terdapat pancoran air yang kebetulan tidak mancur. Disekeliling pancoran dipenuhi oleh taman bunga dan taman lampu serta spot-spot nongkrong. Suasana di sekitar balaikota benar-benar hidup. Pemuda pemudi banyak bercengkrama di sekitar taman balaikota. Tidak jauh dari bunderan taman balaikota, ada cafe dengan live musicnya. Beberapa restoran juga masih buka meskipun sudah hampir jam 10 malam. Beberapa mahasiswa menjajakan bunga mawar kepada kami. Kelak uang hasil penjualan disumbangkan untuk dana sosial. Ada juga pengamen yang mondar mandir memetik gitar dan bernyanyi sedikit sumbang. Yang jelas, malam itu balaikota benar-benar ramai.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam. Setelah menikmati indahnya suasana malam balaikota Malang, dan sedikit cuci mata, kami memutuskan untuk nongkrong lagi di bhaswara cafe tepat di sebrang bunderan balaikota. Live musicnya membuat kami betah menghabiskan sebotol air disana. Lagu yang dimainkan macam-macam, mulai dari pop indo, melayu, lagu-lagu bergenre Iwan Fals, hingga pop-rock barat. Petikan gitar dan ketukan bass yang harmonis, membuat malam begitu sayang untuk dilewati begitu saja. Kami pun larut dalam suasana musikal di Bhaswara cafe.

Bang Mido, kawan kos kami, sebenarnya juga seorang vokalis sebuah band Indie di Semarang. Oh ya, dia juga garap konser musik melalui EO-nya di Semarang. Untuk itu,kami paksa Bang Mido agar turut menymbangkan satu- dua lagu di cafe tersebut. Tapi, sampai kafe hampir tutup, dia belum juga menyanyi bersama para pengiring musik itu. Pukul satu pagi, kami bergegas meninggalkan Bhaswara Cafe dan mencari tempat berteduh, tepatnya tempat tidur darurat, he. Malam itu kami tidak menginap di tempat kawan atau menginap di hotel. Kami sengaja untuk mencari tempat tidur “darurat”. Setelah lama berputar-putar di kawasan Balaikota, stasiun Malang, hingga kampus UM dan UIN Malang, akhirnya kami menemukan spot untuk tempat tidur darurat. Tempat itu adalah Wifi Corner. Cukup lumayan untuk dijadikan tempat rehat, walau hanya ada bangku dan meja.

Mata yang makin berat untuk terjaga serta tubuh yang lelah memaksa kami untuk segera tidur meskipun alakadarnya. Yudi dan Bang Mido tidur di pojok area wifi corner. Sedangkan saya tidur di bangku tengah area wifi corner. Meskipun suara para pengunjung wificorner cukup mengganggu, tapi kami tetap bisa fokus untuk langsung terlelap tidur. Bahkan cuaca yang cukup dingin tak mampu menahan kami untuk terjaga. Dini hari itu, kami istirahat sejenak.

Suara adzan Subuh mulai terdengar mengusik “tidur darurat” kami. Udara dingin, saat subuh berkurang secara perlahan. Baru pukul setengah enam pagi, kami bergegas mencari masjid. Akhirnya, masjid UIN Malang menjadi opsi tepat untuk mendirikan shalat, walaupun telat.

Selepas sarapan, kami bertiga menuju Car Free Day di dekat gereja besar Kota Malang. Jalan yang dijadikan Car Free Day cukup panjang, kurang lebih 1 km. Di setiap sisinya dipenuhi pedagang yang menjual macam-macam barang. Ada yang menjual kaos, kemeja, jaket hingga koleksi mini dari tokoh film kartun yang di jajakan melalui mobil-mobil pribadi mereka. Ada juga yang jualan dengan media lesehan atau menggunakan meja kecil. Biasanya mereka menjaul makanan dan minuman ringan. Ada juga yang berjual keliling menjajakan mainan, makanan atau minuman.

CFD Malang berlangsung setiak hari Minggu pagi, pada pukul 05.00 – 10.00 WIB. Sehingga pada jam jam tersebut jalanan dipenuhi para pejalan kaki, baik anak-anak, remaja, hingga kakek nenek semuanya berkumpul di CFD untuk menikmati pagi di setiap weekendnya. Suasana di CFD begitu ramai, tapi tidak terlalu sesak karena jalan yang dijadikan objek CFD cukup luas. Yang jelas suasana kegiatan perekonomian di CFD sangat terasa.

Menjelang pukulu 10.00 WIB, Yudi mengajak kami untuk menemui salah seorang kenalannya di Kota Malang. Akhirnya kami bertiga pun menemui kenalan si Yudi dan sarapan bareng di sebuah mini resto, Tentu saja, kami ditraktir he. Setelah sarapan kami memutuskan untuk kembali ke Wifi Corner untuk sekedar istirahat dan men-charge HP kami. Barulah pada pukul 13.00 WIB kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Kota Batu.

Kami sampai di kawasan Songgoriti, Batu sekitar pukul 15.00 WIB kemudian melepas penat sambil menikmati semangkuk Bakso (di Malang dan Kediri Bakso biasanya disebut Pentol) di pertigaan Indomaret setelah melewati kawasan Songgoriti. Rasanya cukup lumayan untuk mengganjal perut yang lapar hanya dengan Rp.8000,-. Itu sudah 1 ½ porsi lho.

Setengah jam kemudian, kami sudah meluncur lagi ke arah Kabupaten Malang sekaligus pulang. Awalnya kami ingin berkunjung ke Coban Rondo, menurut seorang teman, Coban Rondo ini adalah air terjun tertinggi di Malang. Tapi saat itu kami melewatinya begitu saja, karena kami memang tidak tau letak Coban Rondo berada. Sekitar 12 Km dari Coban Rondo menuju arah kediri, ada wisata air terjun yang tidak kalah indahnya dengan Coban Rondo, yaitu Coban Sewu.

Untuk menuju Air terjun Coban Sewu kita bisa memarkir kendaraan di halaman SD sebrang jalan. Kemudian, kita melewati sebuah jembatan gantung yang melintas di antara sungai yang memisahkan antara jalan dan kawasan air terjun. Dari situ kita akan melewati jalan setapak berupa pematang sawah kemudian Masuk wisata ini sangat murah, hanya dengan Rp.2000,- untuk biaya parkir kita sudah bisa menikmati Coban Sewu.

Suasana sejuk langsung menyambut kedatangan kami di Coban Sewu. Percikan air terjun terus menerus membasahi bebatuan dan tanaman di sekitarnya. Angin bercampur percikan air hasil dari jatuhnya air terjun cukup kencang untuk membuat tubuh kedinginan. Tak butuh waktu lama, kami langsung nyebur dan merasakan dingin dan sejuknya air Coban Sewu. Tak banyak pengunjung di sana, meskipun saat hari-hari weekend. Mungkin karena wisata ini belum banyak yang tau. Akhirnya sore itu air terjun serasa milik kami bertiga. Air terjun ini tingginya kurang lebih 6-7 meter. Debit air yang jatuh cukup deras membuat tanaman di sekitar air terjun tumbuh subur.

Langit yang sudah mulai gelap menjelang magrib membuat kami harus bergegas mengeringkan tubuh dan harus rela meninggalkan keindahan Air terjun Coban Sewu. Barulah pada pukul 18.30 kami kembali menuju parkiran dan memacu motor untuk segera pulang ke Pare dengan hati yang puas dan fisik yang cukup lelah.

Dari perjalanan ini saya belajar bahwa meskipun tanpa perencanaan kami bisa menikmati berbagai macam wisata yang indah dan tidak terpikirkan sebelumnya. Meskipun demikian, perencanaan yang matang akan membawa kelancaran dalam setiap kegiatan.Sekian, sampai jumpa kembali Malang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline