Pengantar: Laki-laki dan Sterotip Maskulinitas
Saat ini, kontruksi maskulin dan feminine telah mengalami perubahan. Dimana pada saat ini laki-laki dan perempuan bebas melakukan hal-hal diluar budaya maskulin dan feminine. Batasan dan peran gender sudah semakin kabur dan tidak rigid. Tidak ada lagi batasan perbedaan gender yang melarang keduanya untuk bertukar peran karena ada kesetaraan gender. Adanya budaya patriarkhi di masyarakat menyebabkan laki-laki menjadi sosok utama yang berperan sebagai sosok yang dominan dan maskulin. Sterotip inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya fenomena toxic masculinity pada laki-laki. Sehingga dengan berkembangnya sterotip tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan gender pada masyarakat.
Masyarakat akan cenderung melihat sosok laki-laki berdasarkan tingkat maskulinitas yang ada pada dirinya. Tentu saja hal ini merupakan permasalahan yang perlu untuk dikaji dalam hal kesetaraan gender. Masyarakat acap kali membahas mengenai kesetaraan gender hanya berdasarkan satu sudut pandang saja, yaitu perempuan sebagai objek yang perlu untuk mendapatkan keadilan gender.
Padahal jika kita melihat dari dua sisi yang berbeda, laki-laki juga seringkali mengalami ketidakadilan gender. Bukan hanya tentang toxic masculinity saja yang seringkali terjadi pada kaum laki-laki, tetapi juga kekerasan seksual dan pelecehan acap kali terjadi pada laki-laki. Akan tetapi karena adanya sterotip maskulinitas tersebut menjadikan kaum laki-laki tidak berani menyuarakan hak-hak tersebut kepada masyarakat dikarenakan masyarakat akan menilai mereka sebagai kaum yang lemah dan tidak jantan.
Laki-laki Korban dari Budaya Patriarki
Patriarki merupakan sebuah system yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan paling utama serta mendominasi dalam kapasitas kepemimpinan, dominasi moral, serta kedaulatan sosial. Budaya patriarki telah menempatkan laki-laki sebagai sosok maskulin yang selalu diposisikan "superior" dengan sifatnya yang berani, perkasa, kuat dan tidak cengeng. Sedangkan perempuan sebagai pihak feminim yang diposisikan "subordinasi" dengan sifatnya yang lemah lembut, mudah menangis, emosional dan lemah. Ideologi patriarki yang mengedepankan kepentingan laki-laki, serta meninggikan nilai-nilai maskulin, dan di saat yang sama juga merendahkan nilai-nilai feminis. Sehingga hal itulah yang kerap menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan (Chaerunnisa, 2022).
Menurut Wandi (2015) menyatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya laki-laki harus mengikuti alur "kelaki-lakian" sesuai dengan kodaratnya sebagai laki-laki. Kemudian Wandi (2015) mengutip pendapat Alimi (2004), bahwa orientasi kehidupan laki-laki dan perempuan dikotak-kotakkan ke dalam maskulin dan feminin. Jika laki-laki maka harus maskulin dan jika perempuan maka harus feminin. Nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi terpatron dalam maskulinitas menjadikan laki-laki harus mengarahkan dirinya agar sesuai dengan apa yang telah "digariskan" tersebut. Laki-laki tidak boleh cengeng, menangis, gemulai, dan berbagai ciri yang menggambarkan sifat "kewanitaan" merupakan aturan tidak tertulis yang harus dipatuhinya (Wandi, 2015).
Pembagian kerja yang tidak proporsional antara laki-laki dan perempuan akibat dari budaya patriarki. Konstruksi menyatakan bahwa laki-laki yang bekerja di ranah publik, sedangkan perempuan berada di ranah domestik, mengakibatkan ruang gerak dan aktualisasi diri bagi laki-laki menjadi terbatas. Tentu saja dalam hal ini menjadikan laki-laki sebagai korban dari adanya budaya patriarki.
Diskriminasi Gender pada Laki-laki Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual pada laki-laki bukanlah menjadi sebuah hal yang umum di masyarakat. Akan tetapi, kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki saat ini seringkali diabaikan oleh masyarakat. Hal ini tentu saja berkaitan dengan berkembangnya budaya patriarki di masyarakat. Berbagai macam penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual seringkali didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku utama adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menafikan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki. Akan tetapi, banyaknya data tersebut tidak digubris oleh pemerintah dan masyarakat. Sehingga kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius.
Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1% (Barus, 2021).