Lihat ke Halaman Asli

Sebutir Peluru dari Belinda

Diperbarui: 19 September 2024   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI: Berjalan menyusuri kebun-kebun bunga di belakang rumah tuanku | Image by Freepik

Sebutir Peluru dari Belinda

Seperti biasanya, aku berjalan menyusuri kebun-kebun bunga di belakang rumah tuanku. Bunga yang dipenuhi oleh berbagai jenis anggrek itu menghiasi jalanan yang kulalui. Warna-warni yang terlihat di sekeliling memanjakan mata yang lelah.

Rumah itu sudah berdiri sejak 100 tahun yang lalu sebelum penjajah datang dan menghentakkan kakinya di tanah kelahiranku. Kaki-kaki mereka tidak hanya menggetarkan telinga penduduk pribumi yang ketakutan. Kaki-kaki itu juga menginjak kepala kakek dan nenek buyutku hingga harus terkubur di pemakaman.

Kedua orangtuaku entah ke mana. Mereka ditangkap tentara karena tidak tunduk pada perintah. Ayahku seorang demang yang tidak mau disuap untuk menjadi pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Saat diundang oleh penjajah untuk pesta makan malam, ayah dan ibuku tak pernah kembali lagi ke rumah.

Sudah 5 tahun aku bekerja pada meneer yang  menempati rumah itu. Aku hanya mendapatkan makan satu kali di pagi hari tanpa gaji dari keringatku. Untuk mendapatkan makan malam, kadangkala puteri meneer datang menghampiriku diam-diam. Dia memberikan sepotong roti dan telur rebus melalui kolong pintu kamarku. Ibunya memaksa untuk mengantarkan makanan itu.

Belinda adalah anak perempuan seusiaku. Dia satu-satunya putri yang dimiliki oleh meneer di rumah itu. Rambutnya pirang. Kulit putih dengan mata biru menandakan dia bukan sebangsa denganku. Sebagai lelaki normal, kecantikannya membuatku terpukau. Tapi kekejaman bangsanya membuat rasa takjub itu hilang seketika. Kalaupun bertemu dengannya aku tak sudi menegur apalagi berbicara dengannya.

Kuingat pertama kali tentara penjajah mendobrak pintu rumah kami. Padahal, kami sedang menunggu kedatangan ayah dan ibu yang belum pulang sejak semalam. Paman dan bibiku yang melawan, mereka tembak dengan sadis. Aku adalah satu-satunya orang yang tidak dibunuh karena dilarang oleh istri meneer.

Tangan berkulit putih itu merangkul tanganku untuk bangkit dan keluar dari rumah yang diberondong peluru. Aku ketakutan dan menangis sekeras-kerasnya melihat jasad paman dan bibiku dengan mata masih melotot ke arahku. Mata itu terus menatap sampai peluru terakhir menembus kepala mereka.

Kebencian pada tentara penjajah semakin menghasut dendam. Trauma yang kualami tak pernah merangkak dari mimpi buruk setiap malam. Letusan peluru mengingatkanku pada kejadian yang mengerikan itu.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline