Lihat ke Halaman Asli

Cincin tak Dipanggil, Hilang tanpa Pamit

Diperbarui: 12 Mei 2024   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar Pixabay.com

Aku Misya. Seorang gadis lajang berusia tak remaja lagi.  Lulus sarjana sudah 3 tahun tapi aku belum juga bekerja. Aku tinggal bersama ayahku yang seorang petani sekaligus sandro di sebuah kampung di pelosok Sumbawa. Ibu sudah lama meninggalkan kami karena lebih memilih hidup dengan  lelaki lain dan sekarang tinggal di Mataram.

Panen jagung melimpah tahun ini. Beberapa warga desa kami sepakat berwisata ke pantai. Sudah lama orang-orang di kampung itu tidak ke kota. Maklumlah kami dari desa di atas bukit yang cukup jauh letaknya dari kota Sumbawa.

Tiga mobil pick up membawa rombongan dari kampung menuju Pantai Baru. Sebuah pantai yang biasa saja tapi bagi kami, tempat itu menjadi surga bagi orang-orang yang jarang melihat air laut.

"Turin, turin..., kam dapat," ucap supir di depan menyuruh turun karena telah sampai di tujuan.

Kami tiba pukul 10.00 Wita. Semua berhamburan dan berlari menuju tepi pantai.

"Na, do do, anak e...," teriak seorang ibu pada anaknya untuk tidak pergi terlalu jauh.

Aku kebagian tugas menjaga bekal dan perlengkapan makanan. Kududuk sambil merenung. Sepi kurasa tanpa pendamping hidup.

Seorang pemuda terlihat sedang bolak balik di depan mataku. Kelihatan wajahnya murung dan cemas mencari sesuatu di atas tanah. Aku penasaran dan ingin tahu apa yang sedang dicarinya.

"Lagi cari apa?"

Pria itu tak menghiraukan pertanyaanku. Dia terus mencari sesuatu sambil menepiskan dedaunan kering di sekitar akar pohon besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline