Lihat ke Halaman Asli

Jama'ah Ma'iyah, Wadah Keragaman Multi Faham dan Golongan Menuju Indonesia Bebas Konflik Agama

Diperbarui: 11 Maret 2021   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai bangsa yang dikaruniai keragaman suku, budaya dan bahasa kita wajib bersyukur kepada Allah SWT. Karena kebinekaan bangsa ini semata-mata dikaruniakan Allah dengan tujuan agar kita saling mengenal satu sama lain. 

Dalam keanekaragaman tersebut, kita sejak merdeka telah mendasarkan kehidupan kebangsaan kita pada Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUD RI) 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada  setiap warga  negara  untuk  memeluk agama dan kepercayaan  dan menjalankan  ibadah  sesuai  agama  dan  kepercayaannya  itu.

Namun demikian, jaminan konstitusional  dan legal sebagaimana tersedia dalam perundang-undangan Indonesia belum cukup mampu memproteksi kebebasan dasar tersebut. Berbagai pelanggaran kebebasan justru dipicu oleh negara yang terus memproduksi perundang-undangan yang restriktif terhadap warga negara yang memeluk agama/ keyakinan, yang dianggap  berbeda dari mainstream. Demikian juga minimnya pengetahuan publik atas  kebebasan sipil warga negara, yang kemudian memicu praktik intoleransi dan  tindakan kriminal terhadap warga negara lainnya. Dua persoalan inilah yang menjadi tantangan serius pemenuhan jaminan kebebasan sipil, khususnya kebebasan beragama / berkeyakinan di Indonesia. 

Tantangan dan Problema

Itulah hal ironis yang terjadi pada kehidupan beragama kita. Satu sisi tidak sedikit pakar dan peneliti asing yang memuji peran umat Islam Indonesia yang menyumbangkan kontribusi besar terhadap tumbuhnya demokratisasi di tanah air. Sebagaimana diungkap oleh Zachary Abuya dalam bukunya Political  Islam  and  Violence in  Indonesia (2007), “Islam in Indonesia has always been defined by tolerance, moderation, and pluralism. In Indonesia Islam helped create the foundations of civil society that made the transition to democracy  possible whereas in the Middle East Islam has been seen as anathema to democratization” bahkan lebih lanjut Abuya melanjutkan dengan mengutip Robert Hefner bahwa “Hefner dengan sangat fasih berargumen bahwa Islam di Indonesia dipandang sebagai kekuatan proses transisi demokrasi ”(Hefner has eloquently argued, Islam was the force that facilitated Indonesia’s transition to democracy)”. Akan tetapi di sisi lain, mengapa keragaman ini justru sering memicu terjadinya konflik tidak saja antar suku dan golongan bahkan yang lebih sengit lagi antar golongan itu sendiri. Konflik yang acapkali terjadi mulai dari sekala ringan di tingkat kampung hingga sekala luas hingga mendapatkan perhatian khalayak di tingkat nasional dan internasional.

Sebagai ilustrasi, menurut data faktual, konflik intern antara kelompok mayoritas umat Islam non-Ahmadiyah dengan  kelompok minoritas  yang mengaku berfaham  Ahmadiyah merupakan “ancaman laten” keutuhan umat Islam. Demikian juga  konflik antara yang berfaham Ahlus-sunnah atau Sunni dengan minoritas Syiah seperti yang pernah terjadi di kabupaten Sampang Madura, ternyata konflik horizontal ini bibitnya sudah lama ada, lalu muncul dan “meledak” walau dipicu oleh hal-hal sepele.

Problema konflik horizontal ini menjadi lebih parah karena kebijakan Pemerintah Daerah baik kabupaten/kotamadya atau propinsi yang tekadang bersifat tidak melerai tetapi cenderung “mematikan” salah satu pihak. Banyak contoh pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang sering terjadi di negeri kita ini dari mulai korban intoleransi, represi negara, pembiaran negara, dan tindakan kriminal warga negara/kelompok masyarakat, tindakan kriminal terhadap individu aliran keagamaan/keyakinan lain, dsb. Kebebasan beragama/berkeyakinan kembali gagal mendapatkan pengakuan utuh  dari konstitusi akibat bias tafsir konstitusional yang tetap dipelihara oleh elit politik  negara. Pada saat yang bersamaan, negara justru memproduksi kebijakan yang melegalkan tindakan penyeragaman dengan dalih penodaan dan penistaan agama

Dampak negatif dari pola pelarangan sebuah paham keagamaan yaitu akan cenderung membuat aliran atau faham itu tumbuh secara “underground”, liar dan bersifat  acak. Dalam  jangka  panjang  tentu akan lebih sulit mengawasi dan mendeteksi aliran-aliran yang dilarang tersebut. Akibat lanjutnya, akan menimbulkan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meletup dan mengakibatkan gejolak sosial yang lebih sulit dikendalikan.

Berbeda ketika aliran tersebut diwadahi dan dilindungi, dibentuk forum dialog  atau forum persaudaraan dengan program pertemuan rutin membahas masalah kemasyarakatan atau membentuk lembaga ekonomi yang bisa menjadi wadah berupa usaha bersama untuk  saling membantu satu sama lain. Sehingga, perbedaan keyakinan dan faham bisa disublimasi dengan kegiatan yang bersifat saling memberdayakan. Ketegangan antar faham bisa diminimalisir dengan forum semacam itu.

                                                     

Jamaah Mai’yah Sebagai Solusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline