Lihat ke Halaman Asli

Sakitnya Tuh Disini (Sambil Nunjuk Dompet)

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak yang tidak sepakat. Bagaimana menunjukan "rasa sakit" kolektif yang tepat, ketika ditanyakan ke saya dan teman-teman tentang rasa sakit ketika mengalami kepahitan hidup. Jika merujuk lagu yang dibawakan cita citata, "sakitnya tuh disini", pasti terkait sakit hati. Namun yang ditunjuk dada sebelah kanan. Lokasi yang ditunjuk itu tempat bersemayamnya paru-paru dan jantung. Letak jantung memang agak menjorok ke kiri. Kalau ini jadi pertimbangan berarti banyak yang salah menunjukan letak Hati. Atau jangan-jangan saya salah mengartikan lambang jantung yang berbentuk LOVE dikira lambang hati. Yah itu "kekederan" saya menerjemahkan bait lagu cita citata. Diluar itu saya senang melihat klip cita citata, dia menerjemahkan "sakitnya tuh disini" dengan riang. Tidak dengan meratap. Apalagi sampai menggaruk-garuk aspal, seperti saya yang rada alay. Mengutip anak Raja kita, saya ini kategori Alay Ndeso. Suka sekali meratapi nasib dikala malam datang. Saya ini gampang tersentuh oleh lagu seperti diatas.

Mengapa saya begitu??? Karena orang macam saya jika "kalah" dalam "kehidupan" tiada lain pelariannya selain berdendang dangdut ala pantura atau dangdut melayu asli. Cuma saya selektif, hanya memilihmemilih lagu yang baitnya menyayat dan memilukan hati. Bukan saya musyrik atau menyekutukan Tuhan. Meratap lewat lagu. Saya ini punya pemahaman sendiri. Sifat Tuhan itu Nyata dan Tidak Nyata. Nyata dalam bentuk ciptaan dan rangkaian kehidupan. Serta kejadian yang terskenario dalam bentuk taqdir. Sedang "bentuk" Tidak Nyata-Nya adalah DIA yang menjadi tempat "bersandar" diri dan pembimbing qolbu. Gerak Nyata dengan Ikhtiar, pasti teraba oleh 5 Panca Indra kita. Sedang gerak Tidak Nyata terjadi dalam bentuk komunikasi bathin. Ciri gerak Nyata bekerja buat dunia menurut saya, ketika pikir mau mewujudkan keinginan kita. Mulai dari perencanaan, konsep, strategi dan implementasi. Tujuannya tentu pencapaian perwujudan mimpi/cita-cita. Terakhir lalu evaluasi. Sedang ciri Gerak Tidak Nyata bekerja untuk dunia adalah ketika qolbu bekerja menghasilkan Ilham atau ide untuk bahan baku Pikir. Sehingga pikir bekerja untuk dunia dalam bentuk Nyata. Sungguh dasyat Tuhan menciptakan mekanisme kehidupan untuk manusia.

Persoalannya adalah ketika kita merasa perih menghadapi kehidupan. Pikiran melayang entah kemana. Butuh pelarian sesaat yang menenangkan. Tempat melepas lelah fisik dan bathin. Saya rasa "lokasi atau spot" ini sangat keramat. Susah dicari spot untuk kontemplasi atau semedi atau meditasi atau merenung. Zaman sebelumnya banyak spot yang bertebaran. Sekarang ini semua mau dilembagakan. Serba ingin diseragamkan. Saya kadang juga bingung, apa manusia ini makhluk individu atau sosial. Kalau dibilang individu tapi koq butuh interaksi sosial dengan sesama. Kalau ga interaksi jadi "bete" sendirian. Tapi dibilang makhluk sosial, kita terlahir sendiri sendiri, ga ramai ramai atau nge-grup. Mati juga sendiri-sendiri. Plus "sakitnya tuh disini" ngerasainnya juga sendiri. Ribet memang. Dibilang sederhana tapi kompleks. Dibilang kompleks tapi sederhana.

Sebelumnya saya berpikir bahwa siklus hidup itu terbagi dua. Pagi sampai senja. Selanjutnya senja sampai dengan subuh. Dulu orangtua saya selalu menakut menakuti. Kalau saya bermain sampai senja menjelang malam, akan di goda syetan. Terutama yang berjenis kalongwewe. Kalong = kelelawar atau kampret. Sedang wewe = perempuan. Jadi mungkin maksudnya digoda kampret berjenis kelamin perempuan. Menyeramkan juga rupa kalongwewe ini. Barusan saya cari gambarnya di google. Saya waktu kecil nurut saja apa yang orangtua katakan. Jam 3 saya sudah mandi dan berangkat mengaji. Jam 6 selepas mengaji dilanjut sholat maghrib, apalan hadist dan lanjut sholat isya. Selepas itu belajar dan mengerjakan PR. Jadi orangtua mendorong kehidupan malam saya, dengan di isi sesuatu yang bermanfaat. Sedang pagi hingga senja, untuk menjalankan kewajiban belajar formal, bermain dan mengaji.

Waktu saya dewasa, ada perbedaan yang terlihat lebih jelas lagi, antara 2 kehidupan itu. Pagi sampai senja, "mata hati" Saya pingsan. Pikir yang bekerja. Karena itu muncul hawa nafsu. Syetan dan malaikat yang merupakan sifat, mulai menunaikan tugas masing masing. Sepanjang waktu berjalan isinya "pertempuran hidup". Ada yang kalah dan ada yang menang. Tentu ada juga yang impas. Kadang kalau menang saya jadi jumawa. Serasa manusia super. Jika kalah saya merasa orang termiskin di dunia (persis lagu dangdut lawas). Nah kalau seri, saya merasa sebagai manusia punya selera. Itulah dunia matahari. Dinamika kehidupan yang sebenarnya. Hehehehehe hampir 60 persen syetan menang disini. Saya dipaksa culas, licik, berdesakan, saling jegal dan cara lainnya. Bisa itu nilainya lebih kecil atau besar sifat syetan tadi. Permakluman saya stok banyak banyak. Ketika Sifat malaikat menang. Tiba tiba jadi takut dosa, neraka, azab dan hukuman dari Tuhan lainnya. Sangat melelahkan memang. Tubuh, energi, waktu, fokus pikiran dan gerak kita di hisap matahari. "Pertempuran" yang wajib dilakukan selama hayat dikandung badan. Berlomba lomba mengurangi energi positif dan negatif.

Memasuki paruh waktu kehidupan rembulan, perlahan lahan "mata hati" saya siuman. Sifat malaikat mendominasi diri saya. Butuh spot untuk rehat kontemplasi. Saya harus mengingatkan diri. Syetan tetap mengintai. Ingat nasehat orangtua. Malam kalongwewe selalu menghantui. Lokasi rehat banyak bertebaran di seputar jabodetabek. Bentuk dan rupanya macam macam. Semua konsep terfasilitasi. Baik di kubu putih mau pun hitam. Awas jangan berlebih lebihan. Bisa keputihan atau kehitaman alias gosong. Seluruh tempat itu ramai dikunjungi orang orang lelah. Fungsi makhluk sosial seolah terlihat. Cuma rasa tetap didalam individu. Merasa kalah atau menang butuh pelepasan. Berjamaah melepas penat dan lelah setelah bertempur sedari tadi. Ada yang khusyu menghadap Tuhan dan berdoa "melobi" Tuhan. Ada yang khusyu ngopi sambil senda gurau. Ada yang khusyu lala Lili bernyanyi. Ada yang khusyu "melobi" penguasa kegelapan. Semuanya sama kembali fokus. Tapi kali ini berlomba lomba menyeimbangkan energi positif dan negatif.

Semakin malam semakin menghanyutkan. Etape menuju Khalwat. Semua penat, lelah, sakit dan perih kehidupan matahari mengalami tahap ektase kehidupan malam. Pada tahap ini saya semakin khusyu menambah kopi dan rokok. Dulu bukan kopi dan rokok tapi berganti rupa jenis. Sekarang mencari sumber ektase baru. Mengenal diri. Relatif lebih aman buat saya. Hehehehehe tanpa gejolak hati.

Lain saya tentu lain dengan orang-orang. Tidak semua orang sama cara ritual melepas perih kehidupan dan lelah. Jangankan norma kehidupan, batas agama saja kadang banyak di tabrak.Coba perhatikan, banyak yang "kebelet" melepas "sesuatu", yang serasa mengganjal didalam diri selepas senja. Bahkan ada yang berani sampai menyabung nyawa. Harga minuman beralkohol "asli" yang mahal dan hanya dijual ditempat tertentu, di siasati dengan minuman oplosan. Mereka ini menurut para pakar dan ahli (seperti saya baca dikoran) yang suka mengamat ngamati adalah orang orang lelah, putus asa dan kalah. Mereka ingin "menyejukan hati" dan atau "lari dari kenyataan" sejenak. Pendapatan yang terbatas tentu tidak dapat mungkin merasakan spot melepas lelah yang nyaman. Cukup dengan sebotol alkohol murni 70%, sebotol minuman berenergi, losyen anti nyamuk, sedikit spritus dan 1 sdm karbol, mampu mencapai ektase secara murah. Siapa yang berani, dia akan dianggap "abang jago". Prestasi dan penghargaan yang membanggakan. Jika ingin rasa yang berbeda, cukup tambahi satu botol minuman ekstra rasa buah. Sekali lagi Murah dan cepat "sampai kelangit tujuh". Plus mendebarkan, karena dapat memupus hayat dari kandung badan. Saya sarankan, bagi yang cukup uang jangan coba coba. Minimal kalau putus asanya tanggung, jangan coba resep ini. Minuman ini hanya untuk orang orang yang putus asanya sudah berkepanjangan. Lelahnya sudah berkarat. Kalahnya sudah mengakar. Serta dendamnya terhadap kehidupan sudah membusuk di dalam diri.

Mohon maaf bagi tokoh agama dan lainnya, jangan sekali-kali menembakkan peluru nasehat ke wilayah ini. Mereka ini sudah "kebal" ditakut takuti persoalan hukum buatan manusia. Apalagi ditakut takuti dengan dosa dan neraka. Atau di iming-iming pahala dan syurga. Toh mereka sudah rela dan ikhlas di cap "sampah masyarakat" atau "limbah modernitas". Ini khusus para pencari lokasi istirahat atau pelepas lelah kelas bawah. Bagi kelas diatasnya, hanya di cap "pencari hiburan malam" atau "wisata malam" atau "pencari lokasi hangout after hours(salah ga tuh boso ingglisne).

Jujurnya saya juga sedang coba memahami dan mencari tahu kenapa mereka senekat itu. Seminggu ini bahkan sudah puluhan orang yang meregang nyawa. Anehnya mereka ini dari wilayah yang berbeda. Berjarak puluhan bahkan ratusan kilometer diantara mereka. Tapi mengalami Peristiwa sama. Sebetulnya apa yang membuat mereka nafsu untuk "menghilang dari dunia nyata" sejenak. Kalau sekedar melepas lelah setelah bertempur seharian, kenapa harus mau menyabung nyawa??? Fasilitas lepas lelah paska senja apakah kurang??? Saya melihat, bangunan ibadah banyak bertebaran, mestinya bebas dan gratis digunakan mereka. Kenapa sepi??? Kemudian grup atau kelompok ibadah juga banyak berdiri, tapi kenapa cuma seremoni dan hanya untuk kalangan sendiri???

Jika saya tanya teman yang mengalami, memang jadi orang susah itu repot. Belum selesai satu urusan, muncul urusan lain. Setiap menit didesak urusan baru. Sehingga ruang "hardware" dan "software" kita suka nge-Hang. Munculnya urusan yang paling merepotkan adalah persoalan kebutuhan sehari hari. Makan, pendidikan anak, kesehatan, listrik dan kontrakan. Belum lagi sekunder, beli hape terbaru, TV, radio, kulkas sampai rekreasi. Bingung mau di mulai dari mana untuk menyelesaikannya. Kelihatannya sederhana. Tapi kalau dihadapi langsung, pikiran sama hati jadi keder juga. Persoalan itu kebanyakan muncul karena kurangnya pengetahuan kita dalam menakar dan memprioritaskan penyelesaian masalah. Konon katanya karena tingkat pendidikan dan budaya yang tertinggal. Nah ini yang membuat daya tahan kita menjadi lemah. Ketika spiritualitas tidak mampu menjawab maka "berlatih" di tepian jurang kematian menjadi menarik. Lulus membawa ketagihan. Kalah langsung menuju akhirat dan lepas urusan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline