Lihat ke Halaman Asli

Irfan Fadila

Mencoba menjadi pewaris peradaban

Perbedaan Pola Komunikasi Politik Berdasarkan Segmentasi Konstituen

Diperbarui: 24 Desember 2022   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara mengenai demokrasi pastinya kita akan teringat sebuah adagium terkenal yang dipopulerkan oleh Abraham Lincoln yang bunyinya “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”

Apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln menggambarkan secara garis besar bagaimana demokrasi itu dijalankan. Sebuah sistem yang menjalankan pemerintahan berdasarkan legitimasi rakyat dalam menentukan keputusan (Sidney Hook, dalam Encyclopaedia Americana). 

Rakyat memiliki posisi tertinggi sebagai konstituen yang memiliki hak untuk mengarahkan masa depan sebuah negara. 

Demokrasi diklaim sebagai sistem yang paling pas untuk saat ini karena dinilai mampu memberikan sarana terwujudnya aspirasi masyarakat serta mampu menjamin kebebasan rakyatnya. Klaim ini divalidasi dengan banyaknya negara yang mengaku menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Bahkan negara-negara yang bisa dibilang erat dengan kediktatoran dan pemerintahan yang otoriter tetap mengklaim negaranya menjalankan sistem demokrasi. 

Dalam sejarahnya sistem demokrasi pertama kali digunakan di era Yunani Kuno yang lingkup kekuasaannya hanya sebatas polis. Model yang digunakan pada saat itu adalah demokrasi langsung, yaitu seluruh masyarakat berpartisipasi duduk langsung dalam pemerintahan (Rousseau, 1762). 

Namun, seiring berkembangnya zaman dan masalah geografis model demokrasi langsung yang dipraktikkan pada era Yunani Kuno dinilai tidak efektif sehingga perlu model baru untuk mengakomodir permasalahan tadi. Akhirnya dimulailah era demokrasi representatif atau perwakilan yang bisa mengakomodasi hambatan geografis dan demografis yang dihadapi oleh model demokrasi langsung. Demokrasi ditentukan melalui suara mayoritas dari wakil-wakil yang mempunyai legitimasi konstituen dengan pengawasan rakyat berdasarkan pemilihan untuk menjamin sirkulasi kekuasaan dan kebebasan politik (Mayo, 2012). 

Adanya peran dari wakil sebagai representasi konstituen tentunya dinilai lebih efektif untuk menjalankan demokrasi dalam kondisi modern yang serba kompleks. Aspirasi-aspirasi dari konstituen masih bisa terakomodir dengan artikulasi kepentingan para wakil yang memiliki peran sebagai policy maker di dalam demokrasi representasi.

 Akan tetapi penerapan demokrasi representatif ini menimbulkan rasa kekhawatiran tidak teragregasinya kepentingan akibat wakil yang berperan sebagai representasi tidak memiliki kapabilitas yang baik dan sibuk mengurus kepentingannya sendiri.

Belum lagi adanya kekhawatiran intervensi kepentingan partai politik di atas kepentingan konstituen. Maka dari itu dalam demokrasi representatif perlu adanya sebuah interaksi yang baik antara wakil dan terwakil, wakil sebagai representasi harus mampu menampung artikulasi kepentingan konstituennya sehingga menghasilkan output kebijakan yang diharapkan begitupun dengan konstituen yang harus mampu mengartikulasikan kebutuhan yang dirasa perlu untuk diagregasikan oleh si wakil tadi. 

Mengenai hubungan antara wakil dan terwakil ini, Gilbert Abcarian menjelaskan setidaknya ada 4 model yang dapat diklasifikasikan sebagai pola interaksi antara wakil dan terwakil diantaranya trustee, politicon, delegate, dan partisan (Abcarian, 1970). Keempat model tersebut menjelaskan bagaimana implementasi si wakil ini dalam memutuskan segala langkah yang diambil di kursi kekuasaan baik itu artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan perumusan kebijakan, model trustee misalnya yang menitikberatkan segala keputusan yang diambil oleh wakil cenderung berdasarkan kapabilitas yang dimilikinya sehingga interaksi dengan konstituen dapat dibilang minim. 

Berbanding terbalik dengan model delegate yang menitik beratkan segala keputusan berdasarkan usulan dari konstituennya karena model ini si wakil bergerak sebagai utusan konstituen. Partai sebagai agen sentral dalam hubungan wakil dan terwakil terjadi di model interaksi partisan karena hubungan antara si wakil dan konstituennya bergantung pada partai si pengusung, bisa dibilang segala keputusan yang akan diambil harus berdasarkan konsultasi dari partai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline