Fotografer menyiapkan kamera, menanti sosok gagah yang datang berjalan dengan tegap. Langkahnya teratur, menunjukkan sang pemilik langkah terbiasa hidup disiplin. Sosok ini mengalami didikan militer dan menjadi salah satu lulusan terbaik akademi militer. Ia kemudian mengalami berbagai penugasan penting, pernah menjadi komandan pasukan perdamaian dan panglima daerah militer. Ia mengakhiri karier militer karena lebih memilih karir politik menjadi menteri. Ia mendampingi ibu presiden sebagai menteri Koordinator. Di akhir tahun politik sang ibu, sosok ini berselisih dengan sang ibu. Konflik ini berbuah manis, ia mendapatkan liputan media, membuat partai dan kemudian memimpin republik.
Di pemilihan kedua, ia berhasil menang telak, sebagian besar warga negara republik memilih dia. Partai yang ia dirikan menjadi pemenang pemilu. Sosok ini kemudian berkoalisi dengan partai lainnya. Dalam hitungan kursi di parlemen, sebagai presiden ia mendapatkan dukungan penuh. Publik banyak berharap di periode kedua ia dapat memberikan gebrakan yang lebih besar.
Di akhir tahun periode kedua, situasi banyak berubah. Media tetap banyak memberitakan dirinya. Ia dan partai yang didirikan mendapatkan porsi yang besar di media. Hanya saja sepuluh tahun yang lalu ia adalah harapan, saat ini ia seperti mendapatkan gelombang besar pendapat negatif. Bisa jadi di akhir masa jabatan, ia akan mengalami tsunami politik, hanya kali ini gelombang bisa jadi menenggelamkan kapal yang ia dirikan.
Sosok ini mulai dianggap masa lalu dan tidak memiliki harapan. Ia yang pernah dikenal sangat dekat dan merakyat dianggap banyak melakukan pencitraan, lamban, dan tidak berani mengambil keputusan penting. Salahkan hal ini ? Belum tentu. Media dalam iklim negara demokrasi memang mengambil peran penting. Ia menjadi pilar kelima atau keempat dalam pilar pilar demokrasi. Setiap pemimpin dan pejabat publik membutuhkan media untuk mendapatkan masukan dan berkomunikasi dengan rakyat. Hanya saja hubungan ini tidak selamanya positif bagi kinerja pemimpin.
Hubungan media dengan kinerja pemimpin publik seperti kurva U. Pada awalnya ia memberikan akses dan dukungan kepada pemimpin, namun pada titik tertentu saat publikasi terlalu banyak dan terlalu sering, maka ada banyak hal yang harus dikorbankan untuk mendapatkan citra positif. Saat itu kurva U sudah mencapai puncak dan harus turun. Dimana citra tidak lagi berkorelasi dengan kinerja. Citra menjadi alat memanipulasi kinerja, yang pada akhirnya memberikan jebakan bagi sang pemimpin. Ia sudah tak bisa lagi melihat dirinya dalam cermin yang utuh.
Pada titik ini maka citra menjadi alat yang mematikan. Ia bisa tetap melihat dirinya baik, padahal tidak melakukan banyak hal untuk menciptakan kinerja yang baik. Itu sebabnya di tahun politik ini ada falsafah yang sangat penting untuk para pemilih dan calon presiden termasuk sang sosok, “Ojo gumun”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H