Lihat ke Halaman Asli

Tidak Ada Budaya Belajar Instan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Minggu ini, semua anak sekolahan sedang menghadapi UTS, mulai dari SD hingga SMA. UTS digelar selama seminggu dengan jadwal 1 hari 2 mata pelajaran yang diujikan. Nah berhubung saya yang berprofesi sebagai pengusaha bimbel dan juga pengajar untuk anak SD dan SMP, saya dikagetkan oleh cerita beberapa murid saya yang mengatakan bahwa selama UTS, mereka diwajibkan untuk mengikuti sebut saja les tambahan yang diberikan oleh guru mata pelajaran bersangkutan. Menurut keterangan anak didik saya, les tambahan di sekolah itu banyaknya diberikan untuk les tambahan mata pelajaran matematika. Dengan durasi hanya sekitar sejam dan diberikan 5 soal yang menurut si gurunya soal yang diberikan akan muncul sebagai soal UTS, dan sekali pertemuan 1 siswa dikenakan biaya Rp. 5.000.

Nah bila kita kaji lebih mendalam lagi seberapa efektifkah les tambahan itu diberikan? Apakah belajar instan akan memberikan hasil yang bagus tidak? Ataukah les tambahan itu hanya dijadikan sebagai “kedok” untuk mencari tambahan pundi rupiah? Simak penjelasan saya berikut ini.

Pertama, kita harus selalu ingat bahwa belajar itu tidak ada yang instan, semua harus melalui proses. Kita ingat waktu kelas 1 SD, kita mulai belajar mengenal angka, kemudian mengenal dan belajar menambahkan dan mengurangi. Sudah lancar, lanjut dengan belajar perkalian, menghafal perkalian 1 sampai 10. Dilanjutkan dengan pembagian, kemudian pecahan dan masih banyak lagi pelajaran yang kita pelajari selama bersekolah. Tentunya semua melalui proses dan waktu hingga kita bisa menguasai pelajaran. Tidak ada kata instan tentunya kan? Belajar ketika ada ujian, atau mungkin teman-teman mengenal sistem SKS (sistem kebut semalam atau sehari), tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Seharian menjelang ujian, seorang anak dikejar untuk belajar dengan porsi yang lebih besar dari biasanya hanya akan membuat dia lelah pikiran dan juga lelah badan.

Lelah pikiran dikarenakan dia yang tidak menguasai materi pelajaran, katakan ada 6 bab pelajaran yang akan diujikan dan dia hanya menguasai 2 bab, tentu akan mennimbulkan perasaan takut akan mendapat nilai jelek. Kemudian dia belajar mati-matian selama seharian itu hanya untuk menguasai sisa bab pelajaran yang diujikan. Yang diingat hanya belajar hingga lupa istrahat dan pikiran anak itu akhirnya stress berat dan jatuh sakit.

Belajar itu proses. Hasil akhir dari proses belajar itu direpresentasikan berupa nilai dari guru (di sekolah), dan hasil nyata kita dapat adalah kita mampu dan menguasai suatu ilmu yang telah kita pelajari.

Untuk guru yang mengadakan les tambahan, itu memang merupakan hak semua guru untuk “berusaha” mencari dan menjemput rejeki Alloh. Tapi yang harus selalu kita ingat dalam menjemput rejeki itu kita harus bisa mencari dan menjemputnya dengan jalan yang halal.

Bagi seorang guru, mencerdaskan dan mendidik murid itu merupakan suatu kewajiban. Tapi pengamatan saya, justru zaman sekarang banyak guru yang lupa kewajibannnya dan hanya mengejar materi untuk mencukupi hidupnya sendiri. Taukah kalian, bahwa ada salah satu sekolah di kawasan Cibaduyut (daerah Bandung), sekolah SD yang dalam 1 kelas jumlah muridnya mencapai 40 siswa bahkan lebih. Bisa dibayangkan kan betapa sesaknya kelas itu. Terus masih di sekolah itu juga, guru yang mengajar dengan hanya datang kemudian menuliskan materi di papan tulis. Setelah menulis, si guru menyuruh anak-anak menyalin lagi sementara guru itu kembali ke ruang guru dan 15 menit menjelang akhir jam pelajaran, si guru kembali ke kelas hanya untuk menanyakan anak-anak sudah beres menulisnya belum. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, ada guru yang ngopi dan baca koran di ruang kelas tanpa mengajar. Ckckck sungguh miris sekali bukan? Tapi itu fenomena yang justru saat ini terjadi dan tentunya tindakan tidak terpuji dilakukan oleh oknum guru yang tidak bertanggung jawab ( positif thinking).

Kembali ke boleh tidaknya mengadakan les tambahan, saya menarik sebuah kesimpulan dimana les tambahan itu hanya digunakan sebagai ‘topeng’ bagi seorang oknum guru yang ingin mengeruk keuntungan materil dari anak didiknya.

Alasan pertama, biaya yang dikenakan untuk les tambahan itu Rp. 5.000 /anak. Di sekolah, kita perlu ingat tidak semua anak sekolah dapat digolongkan sebagai anak yang mampu (dalam segi harta), banyak juga anak sekolah yang memiliki orang tua dengan ekonomi sederhana. Lima ribu rupiah bila dikalikan 40 siswa (bila semua murid mengikuti les tambahan) maka si guru mendapat Rp. 200.000 sekali pertemuan.Jumlah yang lumayan ya kan?

Kemudian bila les tambahan kilat itu hanya berdurasi sejam dengan 5 soal yang dipercaya akan menjadi soal UTS adalah hal kedua yang mesti kita waspadai. Mengapa?

Belajar itu tidak cukup hanya sejam. Apalagi belajar matematika, sangat tidak cukup belajar hanya sejam. Butuh waktu secara teratur dan intensif agar bisa belajar matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan ketika kita sudah lulus kuliah-pun kita masih diwajibkan belajar. Jadi belajar itu tidak ada yang instan. Seorang guru, kita ketahui punya tanggung jawab untuk mendidik dan mencerdaskan anak didiknya dengan cara yang benar tentunya. Seorang guru harus mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya dengan harapan si anak menjadi bisa dan cerdas, kan? Kemudian si guru juga mempunyai kewajiban menyusun materi, soal latihan dan ujian sebagai tolok ukur berhasil tidaknya siswa yang telah dididiknya. Lantas wajarkah bila guru membocorkan soal latihan dan ujian kepada siswa di les tambahan?

Tidak wajar. Bukankah dalam belajar selalu ada buku yang dijadikan pedoman dan juga sudah ada kurikullumnya selama satu semester siswa harus menguasai materi. Jadi bisa disimpulkan bahwa les tambahan dengan 5 soal yang dipercaya akan menjadi soal UTS hanya sebuah penarik agar banyak siswa yang ikut les tersebut.

Pengalaman saya yang juga sebagai pengusaha bimbel dan juga pengajar, ketika ujian dalam bimbel, saya hanya akan memberitahukan si anak besok ujian dan materi yang muncul, materi yang selama ini kita pelajari. Tidak ada membocorokan soal. Ketika ujian, saya memberikan soal yang telah saya ajarkan dan mereka pahami. Dan yang saya nilai adalah jalan penyelesaian soal yang anak itu kerjakan dan saya representasikan melalui nilai. Toh bukankah inti dari soal ujian adalah untuk mengulang kembali materi yang diajarkan dan seberapa siap seorang anak untuk mengerjakan soal itu dengan kemampuannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Jadi saya tekankan bagi semua orang tua siswa bila di sekolah ada oknum guru yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab dalam mengajar, segera laporkan kepada pihak sekolah. Dan juga kita harus selalu think smart bila ada ajakan oknum guru yang mengadakan les tambahan dengan ‘embel-embel’ soal yang diajarkan akan menjadi soal UTS atau UAS.

So, Coba mulai sekarang, mari bersama-sama mari kita dorong dan ajak anak-anak kita semua agar membiasakan untuk selalu belajar teratur. Tidak ada belajar yang instan yah. Belajar itu harus melalui proses. Dan kesuksesan adalah hasil belajar.

Irfan Amri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline