Lihat ke Halaman Asli

Irfan Amalee

Direktur Eksekutif Peace Generation Indonesia

Menjadi Radikal Karena Pemahaman, Menjadi Toleran Karena Pengalaman

Diperbarui: 10 Agustus 2015   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana seorang pemuda baik-baik dan pendiam tiba-tiba menjadi radikal bahkan melakukan tindakan terorisme? Dan bagaimana seorang teroris yang telah melakukan aksi terorisme besar tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi pejuang perdamaian?

Pertanyaan itu selalu menjadi teka-teki bagi saya (dan juga bagi kita semua)

Mawan Kurniawan seorang lulusan terbaik jurusan informatika sebuah universitas di Bandung, menghack sebuah situs investasi dan berhasil mencuri miliaran rupiah untuk mendukung kelompok teror di Poso. Hilman Jayahadikusuma, seorang anak muda "urakan" dari Bandung yang dipenjara karena kasus narkoba, setelah keluar dari penjara menjadi radikal. Hilman terlibat perencanaan bom Bali3 yang keburu terendus aparat. Taufik dan Iwan Cina terlibat perampokan CIMB Niaga tahun 2010 untuk mendukung berbagai aksi "jihad". Padahal mereka dulunya adalah preman-preman yang sama sekali jauh dari dunia "jihad". Bukan hanya di Indonesia, Di Amerika, Rezwan Firdaus, mahasiswa Northeastern University Boston, anak band yang tidak terlalu religius, tiba-tiba menjadi sangat religius bahkan radikal, hingga akhirnya ia tertangkap FBI karena merencanakan melakukan pemboman gedung Pentagon dengan pesawat mainan yang dia rancang.

Dalam sebuah diskusi Gerakan Islam Cinta (GIC), Solahudin, peneliti gerakan radikal dan terorisme yang juga penulis buku "NII hingga JI: Salafisme Jihadisme di Indonesia", mengungkapkan temuan yang menarik. Solahudin membuat list orang-orang yang terlibat aksi terorisme, dari 300 nama yang telah ia teliti, secara demografi mereka sangat beragam. Secara ekonomi, ada yang berasal dari kelas bawah, menengah, dan atas. Secara intelektual ada yang istimewa, ada yang biasa-biasa. Ada yang dari kota ada yang dari desa. Sangat beragam. Arinya faktor ekonomi, status sosial bukan menjadi faktor utama terorisme. Lalu apa?

Dari semua perbedaan itu, mereka memiliki satu kesamaan: mereka pernah bersentuhan, aktif atau belajar agama melalui kelompok "keras". Dari sana bisa disimpulkan bahwa aksi terorisme yang mereka lakukan selalu dilandasi oleh PEMAHAMAN mereka terhadap agama yang mereka dapat dari kelompok-kelompok yang cenderung keras.

Hilman yang awalnya begitu sekular bahkan tenggelam dalam dunia narkoba, tiba-tiba menjadi berubah setelah bertemu Imam Samudra di penjara Grobogan. Meskipun singkat, Imam Samudra berhasil memberi "pencerahan" dan membangkitkan semangat jihad Hilman dan menjadikannya sebagai pelanjut terror bom Bali episode 3. Hal serupa dialami Taufik dan Iwan Cina yang "mengaji" Islam dari Toni Togar alias Hasan, terpidana 20 tahun penjara atas aksi pembakaran gereja di Pekanbaru, Riau, saat malam Natal dan terlibat pemboman hotel JW Marriot pada 2003.

Mawan Kurniawan, si anak jenius yang berhasil membobol situs investasi Malaysia menempuh cara lain belajar Islam. Sebagai anak muda yang tengah mencari, dia belajar Islam kepada Mbah Google. Sayangnya, Google tidak selalu mengantarkan kita pada sumber yang valid. Kelompok-kelompok Islam keras sangat jago SEO (serach enggine optimiser), mereka telah mengkapling index google dengan konten konten materi Islam yang keras. Sehingga ketika Mawan Kurniawan mengetikkan "Cara Belajar Shalat" google menyajikan Islam yang bernuansa keras. Bagi anak muda yang sedang mencari kebenaran seperti Mawan, tawaran Islam yang keras cukup menantang dan menggairahkan. itulah awal yang mengantarkan mawan pada pemahaman Islam, jihad, hingga aksi terorisme. Hal serupa juga yang dialami oleh Rezwan Firdaus di Boston. Dipancing oleh agen-agen FBI yag menyamar sebagai mentor agama islam di internet, Rezwan terus dicekoki tentang ajaran-ajaran "jihad" hingga ia ditawari untuk membeli sebuah alat untuk membom pentagon.

Pemahaman Islam yang radikal dan keras memang tidak selalu berujung pada aksi terorisme. Tapi terorisme selalu berawal dari cara berpikir yang radikal. "Radicalism is only one step short of terrorism" mengutip Rizal Sukma (2004). Pemahaman terhadap Islam yang radikal bisa ditandai dengan sikap terutup tidak bergaul dengan kelompok lain, menganggap kelompoknya paling benar dan kelompok lain sesat, antidialog dan penuh prasangka.

Berita buruknya adalah tanda-tanda radikalisme itu ternyata makin terlihat di lingkungan kita. Di kalangan kaum muda gererasi penerus bangsa ini. Dari hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang digelar tahun 2010-2011 di 69 sekolah di jabotabek cukup mengkhawatirkan. Setengah responden atau 50% siswa setuju aksi kekerasan demi agama, 14,2% setuju dengan aksi terorisme yang dilakukan Imam Samudra dan Amrozi.

Beberapa pengalaman saya dan rekan-rekan yang aktif mengkampanyekan perdamaian mengkonfirmasi temuan di atas. Pelatihan pendidikan perdamaian PeaceGeneration kami di sempat dibubarkan oleh sekelompk pemuda yang menganggap kami tengah menyebarkan faham sekular dan liberal. Rekan-rekan lain dari Maarif Institute yang melatih siswa-siswa untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan empati, malah dituduh liberal. Belum lagi sejumlah tweetwar dan perang comment di social media yang sangat mudah menuduh kafir dan sesat.

Lalu bagaimana menghadapinya?
Perdebatan, diskusi, adu pemahaman terbukti sulit mengubah pemahaman seseorang. Sebab secara alamiah seseorang yang telah memegang kuat pemahaman, akan mempertahankannya, sekuat mungkin. Bahkan semakin kita debat, semakin yakin dia pada pemahamnnya. Berbagai dalil agama yang menunjukkan bahwa agama Islam itu rahmatan lilalamin dan lemah lembut, bisa dipatahkan oleh ayat-ayat yang "keras" yang dicomot sana sini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline