ceritanya berawal ketika saya mengunjungi salah seorang teman,pemilik warnet di daerah kuningan,jakarta selatan.kemudian sang teman ini memberikan saya sebuah selebaran mengenai peraturan pajak yang baru yaitu PP No 46 tahun 2013 mengenai pajak UMKM.disana tertulis mengenai pajak UKM yang terhitung aktif mulai 1 juli kemarin.
awalnya sang teman meminta saya untuk membantu perhitungan pajaknya,karena otomatis dengan perhitungan pajak yang baru maka sebagai warga negara yang baik jumlah pajak yang harus beliau bayar tentunya berubah.
sayapun mempelajari surat edaran tersebut.sedikit mengenyitkan dahi ketika sampai pada kata "pajak tersebut merupakan pajak yang bersifat final" dan "Besarnya 1% dari omzet".reaksi pertama yang muncul adalah "ini orang bikin peraturan mikir gak siih?"
Konsekuensi dari 2 hal tersebut adalah jika pajak tersebut adalah pajak final adalah bahwa besaran pajak dipotong langsung dari objek pajak.dimana objek pajaknya adalah omzet.perlu saya tekankan disini adalah omzet atau peredaran bruto secara bahasa akuntansi disebut juga sebagai revenue.sedangkan revenue sendiri tidak mencerminkan laba atau rugi dari perusahaan hingga dia dikurangkan terhadap beban yang dikeluarkan sehubungan dengan usaha.
artinya apa?mau untung apa rugi sang pedagang tersebut,selama satu bulanya sang pedagang harus bayar pajak masbroo.ini apa apaan coba.kita pahami bahwa seorang yang berdagang tidak selamanya untung.kadang juga rugi,kadang juga impas.dan jika rugipun masih harus bayar pajak.dimana hati nurani pemerintah kita??.
konsekuensi kedua dari pajak bersifat final adalah tidak dihitungnya norma dagang dan PTKP.saya lebih berfokus pada PTKP (Pendapatan tidak Kena Pajak).PTKP pada dasarnya adalah sarana untuk melindungi rakyat kecil agar terjamin keadilanya dalam hal membayar pajak.jika pajak umkm menurut PP 46 tahun 2013 adalah pajak final,artinya konsep ini dihapuskan dan berarti negara tidak peduli berapapun omzet dan tanggungan dari si pedagang yang bersangkutan.
tentunya hal tersebut sungguh tidak rasional,misalkan,seorang pedagang kelontong merupakan seorang pedagang yang menikah dengan 3 orang tanggungan (status k/3) maka tanggungan istri dan 3 tanggungan lainya juga tidak diperhitungkan.jika ada pedagang yang masih bujangan dan pedagang yang punya 3 anak dengan norma perhitungan pp 46 tahun 2013 selama mereka menghasilkan omzet yang sama maka besaran pajaknya adalah sama.
dimana keadilan disini?tidak ada sama sekali,lebih lucunya pengusaha besar dengan omzet diatas 4,8 M masih menggunakan PPh pasal 25 dimana mereka masih bisa mengklaim rugi,masih bisa mengurangi pajak dengan Norma dagang dan PTKP dan mengkreditkan pajaknya selama 5 tahun berturut turut jika mereka terus merugi hal ini masih ditambah dengan peraturan baru mengenai PTKP untuk PPh pasal 25 yang menaikan jumlah PTKP yang artinya mereka membayar pajak menjadi lebih murah.tentunya kontrastnya peraturan baru (pp46 ) dan PPh pasal 25 mengundang pertanyaan?dimanakah hati nurani pemerintah kita?
apakah mereka begitu tega menggencet pedagang dibawah dan mengelus elus pedagang besar atas nama pendapatan negara?serakus itukah negara kita dalam mencari uang demi berjalanya negara kita tercinta kita?alangkah lebih bijak jika pemerintah mengoptimumkan pendapatn pajak dengan mencari pengusaha pengusaha besar yang tidak membayar pajak dibandingkan dengan menggencet UKM yang sudah tegencet dengan naiknya BBM akhir akhir ini.karena hal ini tidak ubahnya pemerintah seperti preman pasar yang memeras rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H