Lihat ke Halaman Asli

Gus Mus: Budaya Pendidikan Kita Sudah Keblinger

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390808033563103570

[caption id="attachment_292419" align="aligncenter" width="480" caption="Rembang, Ponpes Gus Mus"][/caption]

Malam itu, sehabis dari Jombang, kami langsung bergerak ke Kota Rembang. Tujuan kami masih cukup jauh dan panjang. Jawa Timur bagian Tengah menuju wilayah Rembang, di pesisir Jawa Tengah bagian Utara. Perjalanan yang cukup menguras energi dengan jalan berkelok-kelok, penuh tanjakan tesebut, kami tempuh tanpa istirahat. Perjalanan yang hampir 6 jam itu mengantarkan kami di sebuah Pondok Pesantren Tradisional (salaffiyah), Raudlatuth Tholibhin-Rembang. Di Ponpes yang saat ini dibina oleh salah seorang kyai sepuh, yang juga salah satu sesepuh Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri. Setelah kami membersihkan badan dan cukup sopan bertemu dengan Gus Mus, kami segera masuk ke rumah beliau dan menunggu di aula. Begitu banyak lukisan dan foto beliau. Mata saya tertuju ke sebuah lukisan karikatur yang menggambarkan dan memberikan kesan bahwa Kyai ini merupakan orang yang nyentrik penuh wibawa dan pengetahuan.Sambil memakai udeng putih yang dililitkan berwarna putih, dengan baju warna putih, beliau tersenyum dan menampakkankekuatan pemikiran yang cukup besar.

Setelah kami disuguhi makanandan minuman layaknya tamu dari jauh, santri Gus Mus bertanya kepada kami, “Apakah sudah ada janji dengan Kyai Sepuh?”. Kemudian saya dengan tanpa cangggung menjawab “Ngapunten, kami belum janjian sebelumnya, karena kami tidak memiliki nomor telepon pribadi beliau atau ajudannya?”. Dan pertanyaan seperti itu diulang hampir 4 kali dan keluar masuk juga hampir 4 kali dengan kalimat yang beda. Kami tetap menunggu hampir satu jam kira-kira. Dan memang pada hari itu Gus Mus harus memenuhi janji ke ibukota untuk satu pekan lamanya, hingga kamipun terancam pulang dengan tangan kosong. Sekeluarnya sang santri yang terakhir, hanya membawa secarik kertas yang bertuliskan nomor handphone dan nama ajudannya. “Ketiwasan ini”, dalam hati hanya bisa berucap dan bisa balik kanan ke Jakarta dengan tangan kosong.

Kemudian Sesosok lelaki tinggi dan besar tampak berjalan dibalik selambu tertutup, begitu keluar, ternyata seorang laki-laki paruh baya dan beliau ternyata Gus Mus.Begitu bersinar raut wajah beliau, dengan kulit agak keriput lalu menyalami kami dan bertanya “darimana ini mas?”, saya-pun menjawab “Kami dari Jakarta,….”. Kemudian satu-persatu kawan saya, saya kenalkan mulai asal kelahiran hingga kuliah. Dengan tersenyum penuh wibawa, yang tidak lepas-lepasnya mata saya memandang, beliau memberikan signal bahwa beliau siap menjawab dan berdiskusi dengan kami.

Hanya dua pertanyaan pokok yang saya siapkan kepada beliau dengan dasar persiapan bahwa, Gus Mus memilki bidang yang tentu berbeda dengan Cak Nun, Cak Nur bahkan Gus Dur. Gus Dur walau sekian tahun berkawan di Universitas Al Azhar, yang kemudian Gus Dur mengundurkan diri dan pindah ke Universitas Bagdad di Iraq. Bagaimana komentar beliau tentang pendidikan saat ini, pendidikan secara umum dan agama, lalu bagaimana menghadapi krisis keteladanan khususnya pemimpin politbiro Negara saat ini.

Kemudian Gus Mus memulai cerita dengan bahasa kiasan atau lebih dikenal Sanepo. Semua masalah krisis ekonomi dan krisis kepercayaan saat ini disebabkan oleh akar yang satu. Kecintaan kita yang berlebihan kepada materi, itu didikan selama 30 tahun oleh orde baru dan efeknya sudah luar biasa. Ibaratkan belajar itu, tidak hanya menyerap ilmu, menghayati ilmu tetapi sudah mengamalkan ilmu. Ilmu itu sudah inheren dengan dirinya. Kalau islam santri itu disebut malakah atau dalam ilmu Nahwu Sharof (ilmu tata bahasa arab) menyatu dalam tubuh dan mengalir begitu saja ilmu tersebut. Jadi bangsa kita ini mencintai dunia dan akhirat, mestinya jangan memikirkan kuasa hartaini berlebihan. Dahulu jaman Soeharto ada bagian yang tidak boleh ditotalitaskan sebagai teladan buruk. Semisal ajaran untuk kaya dahulu. Kanjeng nabi mengajarkan kepada kita untuk melakukan sesuatu terlebih dahulu sebelum mengajarkan ke orang lain. Sebelum mengajarkan Al Qur’an, Rosululloh mengamalkan dan mempraktekkan sehari-hari sehingga ajaran itu begitu meresap dan terasa kaedahnya. Sehingga ajakannya untuk menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua, membantu sesame, begitu mudah di ikuti dan dijalankan. Sayangnya hal tersebut tidak banyak di ikuti oleh pengikutnya. Tidak sedikit juga yang mengajarkan hal-hal baik, tetapi kelakuan dan teladannya tidak mencerminkan perkataannya. Perkataannya ke utara, kelaakuan ke selatan. Jadi pada dasarnya sudah pada keblinger (sikap dan perilaku yang salah atau tersesat).

Mari kita kaji lagi perihal ajakan Soeharto tentang pentingnya hidup berkecukupan dengan apa yang diajarkan Kanjeng Nabi, ajarannya beda tetapi metodenya sama yaitu keteladanan. Orang Indonesia ini ngaku atau tidak ngaku, semua ada niatan ingin menjadi kaya. Mulai dari modin yang sudah bisa membedakan antara yang mengundang orang kaya atau miskin. Kalau kaya bersemangat luar biasa, kalau miskin sepertinya ogah-ogahan. Mubaligh kalau diundang yang dilihat tebal atau tipisnya amplop, kalau tebal ya semangat, kalau tipis sudah malas kembali lagi ke tempat yang sama. Kaya itu bukan orang yang punya uang atau mobil, tapi orang kaya itu orang yang tidak punya apa-apa tetapi tidak butuh apa-apa. Mereka bisa benar-benar menikmati hidup.

Dalam konsepsi level krisis teladan saat ini, apa yang harus segera dibenahi adalah para pemimpinnya. Pemimpinnya korupsi maka rakyatnya nyopet, pemimpinnya mengkapling hutan, rakyatnya mencuri kayu di hutan, pemimpinnya nggedobos (Bicara omong-kosong)yang jelas rakyatnya penipu. Apalagi ada pemimpin di atas bertengkar, maka yang di bawah pasti royokan (berkelahi). Maka pemimpin itu harus menyadari diri, bisa nahan diri dan harus berbuat, maka harus kembali ke jati dirinya sebagai pemegang teladan. Dahulu sebelum reformasi terjadi,Gus Mus pernah memberikan masukan, jikalau seluruh pemimpin tidak dipotong kepalanya maksudnya adalah diganti dengan peremajaan pemimpinnya, maka sampai hari kiamat kurang dua haripun tetap akan seperti ini.

Gus Mus pernah mencetuskan tentang Revolusi Mental. Dalam konsepsi revolusi mental dalam reformasi, harus kita gunakan untuk mengkaji lagi konsep kita tentang Tuhan, konsep kita tentang dunia, konsep kita tentang materi dan konsep kita tentang kemanusiaan. Kita coba kaji soal kemanusiaan orang jawa. Orang jawa ini kan suku Quraisy-nya Indonesia. Banyak nilai-nilai adi luhur yang diajarkan leluhurnya, tetapi sekarang ditinggalkan. Nilai-nilai yang dulunya diajarkan, sekarang diukur dengan keduniaan. Pendidikan misalnya, yang menjadi persoalan hari ini, bukannya cara mendidik yang baik dan benar, bagaimana membuat siswa didik menjadi mengerti dan pintar. Tetapi yang menjadi pembahasan dan perdebatan adalah biaya pendidikan dan pembangunan fisiknya. Belum lagi menyekolahkan anak itu, dianggap sebagai investasi, dihitung mulai biaya semester, uang sumbangan serta biaya sekian tahunnya. Maka fakultas yang paling banyak menolak mahasiswa yaitu fakultas kedokteran. Sehingga orang tua sudah menghitung jika anaknya jadi dokter, kelak setiap memegang orang sakit jelas hitungannya berapa. Pasti untung dan segera kembali modal (BEP). Itulah wajah pendidikan saat ini. Akan sulit kita temui seorang anak bersekolah untuk mencari ilmu.

Dalam sebuah peristiwa menjelang ujian saja, sering kali Gus Mus menjumpai dan mengalami, jikalau ada dua pilihan pokok, siswa lebih memilih lulus ujian atau mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Serentak siswa-siswa menjawab, lulus dengan selamat. Itulah pergeseran pendidikan hari ini. Para siswa ini hanya menghendaki lulus, dan tidak fokus lagi pada subtansi ilmu yang bermanfaat. Runtutannya setelah siswa lulus selanjutnya kuliah, ada sarjana ada diploma. Setelah selesai kuliah maka disitulah ada lapangan kerja yang menjanjikan materi berwujud uang. Kalau kita kembalikan subtansinya, kita sebagai kaum Islam memiliki pedoman yang namnya Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan keterangan tentang hal rejeki yang sudah dijamin aleh Alloh. Dalam setiap porsi dan ukuran masing-masing. Lalu bagaimana orang begitu jauh berpikir dan suka mencari jalan yang sulit kalau niatannya adalah mendapatkanrejeki yang berupa materi itu. Pendidikan adalah mencari ilmu, bukan mencari materi atau rejeki. Itulah orang merasa punya iman tetapi tidak percaya adanya Tuhan.

Karakter materi terutama dikiaskan oleh Gus Mus kalau dikejar lari, atau kita lari maka dia mengejar kita. Gus Mus tidak bekerja, bekebun ke sawah ataupun berdagang, tetapi ingin membuktikan bahwa rejeki sudah diatur. Rejeki tetap datang dan setiap hari menggoda iman kita. Dari semua hal tersebut maka harus segera kita melakukan revolusi mental. Dalam konsepsi islam. Dalam satu penjelasan lagi, dalam satu waktu Gus Mus penah pergi ke kawannya yang sedang menggarap lahan di sawah. Sengaja beliau datang dan menunggui kawan yang seorang petani itu. Diperhatikannya sejak datangnya kiriman sarapan pagi, mulai dari lauk ikan asin hingga nasi yang tidak terlalu putih. Di samping duduk petani itu ada satu kendi air segar yang mendampingi. Setelah selesai makan sarapan dan meneguk air kendi tersebut, dengan nyaring petani itu “Glegek en”(sendawa) dengan keras dan khusyuk. Itulah orang kaya, bisa menikmati dan bersyukur atas materi dan dunianya.

Sebaliknya dalam sebuah undangan makan malam, seorang kawan yang kaya di ibukota. Di sebuah restoran mahal dengan daging sapi yang dipesan khusus dari Amerika, dengan harga per potongnya kira-kira lebarnya tiga jari tangan dengan seharga RP. 350.000. Kemudian Gus Mus makan bersama dan sempat menceritakan, saat beliau membayangkan, per sendoknya RP. 50.000. Terbayangkan sambil tertawa beliau menjelaskan, bagaimana orang bisa mensyukuri makanan semahal ini, andai bisa dibungkus, akan beliau bungkus pulang sepertinya.Setelah hidangan selesai, terlihat bahwa tuan rumah tampak tidak menghabiskan daging yang mahal itu. Ternyata si tuan rumah mengeluarkan plastik dari tas bagusnya. Setelah Gus Mus bertanya dan dijawab oleh si tuan rumah, ternyata itu adalah obat darah tinggi, diabetes dan asam urat. Subhanalloh, inikah yang disebut orang kaya, orang yang belum bisa menikmati enaknya daging mahal, enaknya ikan asin dan belum bisa menikmati enaknya bersendawa sehabis makan. Itulah materi bagi manusia. Materi yang kadang membawa manusia kebingungan mencari jati diri dan kehidupan.Dan itulah pendidikan yang mengarah pada materialisme. Pendidikan yang harusnya mengejar tentang kemanfaatan ilmu bagaimana metodeakan keteladanan.

Mari kita coba membuka lagi tentang konsepsi Wasilah dan Ghayah, mana tujuan pokok dan mana yang sarana. Gus Mus pernah mengajukan pertanyaan yang sama kepada 3 kelompok ulama negeri ini terkaitWassilah dan Ghayah. Pertama beliau ajukan kepada para ulama yang sekaligus politikus kawakan Golkar dan PPP saat itu. Partai yang hari ini sedang kalian perjuangkan itu termasuk Wasilah atau Ghayah. Serentak politisi kawakan menjawab dengan keras, Wasilah. Dan itu merupakan jawaban benar dan tepat. Kemudian Gus Mus mengajukan pertanyaan yang sama terkait dua hal tersebut terkait NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, termasuk Wasilah atau Ghayah. Kemudian dengan nada pelan, para politisi itu menjawab bahwa itu adalah Wasilah. Maknanya ada keraguan dan sudah mulai ada materialisme yang mulai masuk dalam pikiran mereka.

Kemudian pertanyaan tersebut ditingkatkan. Kemudian islam, Kristen, hindu termasuk Wasilah atau ghayah. Lalu para ulama sekaligus politis tersebut terdiam, dan justru berertanya balik, Islam itu termasuk Ghayah atau Wasilah. Kemudian Gus Mus menjawab bahwa Islam dan agama yang lain tetap dikategorikan Wasilah. Lalu Ghayahnya adalah Alloh. Tujuan pokok dari semua adalah Alloh, maka Islam, NU, PPP, Golkar dan PDI adalah Wasilah. Semua itu adalah kendaraan yang memiliki porsi maasing-masing, semua diberikan kebebasan memilih, menentukan tetapi yang akan sampai di tujuan tidak semua kendaraan atau sarana.

Mari kita ambil satu konsepsi tentang hakekat hidup. Bagaimana bangsa kita bisa saling saling pukul, saling bertengkar dan saling bunuh. Di perempatan lampu merah orang tega meludah, orang rela mati-matian menolak harga BBM yang naik. Bisa jadi pola berpikirnya harus diluruskan. Jikalau BBM naik, maka harga sembako akan naik, kalau sudah naik maka masyarakat takut tidak kebagian makanan lalu mati. Lalu “koq” mudah sekali orang Indonesia mati. Ketakutan-ketakutan terhadap habisnya materi, ketakutan-ketakutan bersifat ghayah bahkan nilai-nilai yang lebih penting jadi hilang dan musnah. Itulah yang terjadi di Negara kita. Pendidikan yang distrust, kepemimpinan yang hampir hilang teladan, kelakuan para pemimpin yang sama sekali tidak melirik umat. Maka Revolusi mentalitas dan teladan harus menjadi titik utama perubahan. Kemudian pendidikan yang kembali pada Khittoh perjuangan untuk menjadikan ilmu yang manfaat, bukan mencari rejeki bahkan uang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline