Lihat ke Halaman Asli

(Hukum) Mati - Lah Korupsi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu penyakit kronik yang kini tengah merasuk ke dalam tubuh negeri ini adalah korupsi. Ganasnya sel-sel patogen ini meresap dan mencengkram jauh ke dalam organ paling vital dalam tubuh bangsa, pembangunan dan kepercayaan. Publik akhirnya, yang katanya sebagai penikmat utuh atas hasil kehidupan di negara yang berdaulat secara hukum ini justru menjadi korban kekejian wabah ini. instabilitas publik pun meruak.

Sampai kapan bangsa ini akan bebas dari segala bentuk praktik korupsi? Secara sederhana mungkin kalimat singkat akan tersebut selalu terdengar dalam setiap perbincangan. Sangat wajar rasanya tiap-tiap orang dalam konteks komunitas masyarakat di berbagai kesempatan akan selalu menarik wacana tersebut untuk diperdebatkan. Di kantor, di warung kopi pinggir jalan, dan dalam setiap aktifitas keseharian di lingkungan kerja, di pasar-pasar hingga bahkan di balik jeruji sekalipun akan selalu membicarakannya secara vulgar. Benar, saking fenomenalnya masalah korupsi ini banyak para napi di bilik penjara sampai geram dibuatnya. Kendati untuk sementara memang mereka terkekang secara fisikis, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga merasa apriori. Mereka beranggapan bisa jadi akibat maraknya praktek korup di negeri ini jatah kelayakan hidup mereka menjadi berkurang.

Anjing menggonggong kafilah akan tetap berlalu. Biar saja masyarakat geram, menggerutu, dongkol dan bahkan menyumpah serapah terhadap para koruptor, asal praktek korupsi itu tetap dapat terlaksana dengan lancar. Demikian kiranya bisikan para pelaku korup di negeri yang sangat menjunjung tinggi hukum ini. Mahasiswa berdemo berkumpul dan berorasi, bergumul dengan jilatan sengat matahari, membentangkan spanduk dan poster tinggi-tinggi dan berteriak dengan lantang seharian menyuarakan aspirasi masyarakat margin korban korupsi dihadapan mara pemilik kepentingan, seakan terus jadi pemandangan biasa di negeri ini. Orang-orang miskin bertambah, angka pengangguran meningkat. Jadilah kesenjangan sosial yang semakin menyilaukan mata. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin menderita.

Menurut hasil survey PERC Hongkong dan transparansi internasional Jerman tahun 2010 menempatkan Indonesia sebagai Negara terkorup se Asia Pasifik. Pembangunan pendidikan di Indonesia untuk semua di tahun 2011 juga turun dari posisi ke 65 di tahun 2010 menjadi peringkat ke 69 dari 127 negara. Salah satunya disebabkan tingginya indikasi angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar (SD). Tercatat sebanyak 527.850 anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Korupsi sungguh bagai parasit perusak tatanan ke indonesiaan itu secara subtansial.

Beberapa hasil survey lainnya malah mencatat, 40 orang terkaya di Indonesia memiliki asset brilian, setara dengan aset 60 juta penduduk yang miskin di Negara ini dengan nilai sekitar 680 T.  Belum lagi besaran kerugian yang telah diakibatkan oleh para koruptor tersebut. Litbang Kompas memberitakan untuk beberapa nama pelaku korupsi yang telah di vonis (baik yang tertangkap maupun yang di vonis in absentia) antara lain Hesham Al Warraq dan Rafat Ali, bos pemegang saham Bank Century sebanyak 12 T, Robert Tantular, yang juga mantan pemegang saham Bank Century sebanyak 8 T, David Nusa Wijaya mantan Dirut Bank Umum Servitia sebanyak 3 T dan Gayus HP Tambunan, mantan pegawai pajak sebanyak 1 T. Sekedar berimajinasi andai negeri ini hidup tanpa gelimang korupsi betapa  makmurnya kehidupan kita. Anak-anak mustahil putus sekolah, kelayakan hidup pun pasti terjamin.

Korupsi Berjemaah

Nyaris tak ada lagi tempat di negara kita yang lolos dari praktek korupsi. Semua lini, apalagi yang menyangkut urusan publik kini jadi lahan empuk para oknum untuk menggerus uang rakyat secara tak halal. Berbagai program tentang kemaslahatan rakyat di sulap sedemikian rupa agar dalam prakteknya bisa menguntungkan oknum tertentu. Kongkalikong dengan oknum lainnya untuk semakin menerabas segala kendala yang mungkin dihadapi. Maka tak heran lagi praktek korup antar instansi akhirnya akan lahir. Penghulunya satu namun pengikut dan pendukungnya yang banyak.

Atas nama birokrasi dan prosedural teknis  para oknum itu kemudian mengkebiri kesejahrteraan rakyat secara massif. Perlahan namun pasti dari aparatur birokrasi pemerintah dalam posisi paling rendah hingga tingkat pejabat eselon kelas wahid. Belum lagi para oknum politisi, anggota dewan, oknum pengusaha korporasi dan lain sebagainya. Akhirnya masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi demokrasi itu sendiri hanya dijalankan sebagai simbol pragmatismenya ambisi masing-masing mereka. Posisi rakyat mampu ditebus dengan dahsyatnya lobi-lobi tingkat tinggi. Parahnya lagi ketika masyarakat itu ingin berkeluh kesah tentang segala ketidakadilan itu di hadapan hukum, sebagian oknum penegaknya malah murtad, berkonsolidasi tak lazim, bermufakat dan sebahat dengan para koruptor itu.

Lihatlah ketika konstitusi akhirnya membenarkan untuk membentuk pengadilan tipikor di 33 provinsi di negeri ini. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membenarkan pembentukan pengadilan negeri tipikor itu bermukim di tiap provinsi. Bukannya semakin mempertegas keadilan itu sebagai pedang tajam tanpa mengenal pandang bulu, Beberapa kasus korupsi malah dibebaskan secara murni di beberapa daerah. Yang teranyar satu kasus yang ditangani oleh KPK bisa luput dari jeratan hukum itu dilakukan oleh hakim ad hoc Ramlan Comel yang juga pernah tersangkut perkara yang ditangani KPK. Sangat ironis bukan.

Ilmuwan politik james Q wilson dengan bukunya corruption is not always scandalous menerangkan menyangkut segala masalah korupsi akan cenderung berubah menjadi persoalan korupsi dengan huruf besar. Masalah-masalah moral lazimnya mengaburkan masalah-masalah praktis bahkan dimana pertanyaan moralnya relatif kecil dan masalah praktisnya sangat besar (Indiana University Press 1986).

Antagonis

Maka wajar saja kalau sebagai kalangan menyebut Indonesia sebagai surga bagi para koruptor. Meski Presiden SBY mengakui telah sejak lama negeri ini dirampok oleh pihak yang tak bertanggungjawab. Presiden SBY sendiri bertekad akan selalu berdiri terdepan kala pemberantasan korup itu. Oleh karena itulah diperlukan suatu upaya konkrit yang tegas dan  luar biasa untuk membuat efek jera bagi pelaku perampokan itu. Namun tetap saja yang kita saksikan sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih hukuman maksimal dari tuntutan. Berbagai obral remisi hingga pembebasan bersyarat kerap dibagikan.

Kita tak pernah tahu ada udang dibalik batu, dan kita juga tak pernah mengetahui apa gerangan niatan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan wakilnya Denny Indrayana ‘meralat’ istilah moratorium remisi menjadi frase ‘pengetatan’. Apakah benar-benar itu menyangkut hak kepantasan dan kepatutan secara moralnya terhadap seseorang ataukah tentang isu lain menyangkut kepantasan? Siapa yang pantas dan yang tak pantas ? Sebuah tulisan oleh Jhon T Noonan mengupas kasus suap telah membuktikan bahwa korupsi itu pada intinya merupakan masalah etika – dan seperti itulah sepanjang sejarah yang tercatat. ( terangkum dalam buku karya Robert Klitgaard-Membasmi Korupsi Edisi Indonesia-Yayasan Obor Indonesia).

Sungguh belakangan ini warna-warni kehidupan sangat beragam. Jika pada masa kecil dulu penulis mengingat masih menggunakan pecahan uang Rp 25.- untuk membeli mi goreng berbungkus daun pisang di kampung halaman, namun kini seolah sudah sangat jauh berbeda. Uang sebanyak 100 ribu rupiah kalau sudah pecah akan sangat mudah menghabiskannya. Tidak sampai kita mengingat apa saja yang telah kita belanjakan. Segalanya kini sudah berubah serba mahal, sebaliknya untuk mendapatkan uang itu sendiri sebagai penghasilan hidup sangatlah susah. Demikian gambaran secara massal masalah kesejahteraan dalam kehidupan sosial akan semakin carut marut di negeri yang kita cintai ini.

Segala kebutuhan mesti ditebus dengan sejumlah uang. Pendidikan yang memadai, tempat tinggal yang layak, konsumsi yang sehat dan sedikit hiburan sebagai relaksasi. Kita tak pernah tahu apa yang ingin dicapai para koruptor di negeri ini. Seakan ambisi tanpa mengenal batasan dan abai terhadap kondisi orang lain yang semakin merana.

Tapi sejatinya kita, seluruh rakyat di negeri ini masih tegas berfikir baik dan jernih, bahwa era presiden SBY menjelang berakhirnya pemerintahannya akan mengupayakan jalan yang terbaik untuk bangsa ini. Segala solusi paling bijak tentu telah dipertimbangkan dengan jalan yang tak ringkas, demi terwujudnya pemerintahannya yang bersih dari pelaku korup itu. Mudah-mudahan negeri ini kelak benar-benar mampu terbebas dari para pelaku korup tersebut. Semoga saja dalam waktu yang dekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline