Memasuki tahun 2016, mulai diberlakukan pasar tunggal dikawasan ASEAN atau dikenal dengan 'Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kawasan dimana sekitar 622 juta penduduk (laki-laki dan perempuan) berpeluang meningkatkan kesejahteraan atas diberlakukannya sistem pasar tunggal tersebut. Indonesia merupakan Negara terbesar dikawasan ini, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, akan menjadi pangsa pasar yang menggiurkan tidak hanya bagi produk dan jasa tetapi juga tenaga kerja asing yang akan meramaikan bursa kerja di Indonesia.
Komitmen Indonesia dalam penjadwalan liberalisasi jasa tercantum dalam Schedule of Specific Commitment pada pertemuan AFAS (ASEAN Framework Agreement of Service) paket ke-6 2007 meliputi jasa bisnis (jasa profesi seperti: insinyur, akuntan, jasa legal, arsitektur, konsultan manajemen, dan jasa penyewaan), jasa komunikasi, jasa konstruksi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa distribusi, jasa kesehatan, jasa pariwisata dan perhotelan, jasa tehnologi dan informasi, jasa energi, dan jasa periklanan. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi tenaga kerja kita mengingat produktivitas yang masih rendah dibanding negara lain di ASEAN dan pada sisi yang lain merupakan peluang bagi tenaga kerja terampil Indonesia bekerja di Luar Negeri. Mau tidak mau, suka tidak suka, calon tenaga kerja kita dituntut terampil dan profesional untuk mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara dikawasan ASEAN.
Bagaimana dengan sektor pekerja domestik atau pekerja rumah tangga (PRT) kita? Meski liberalisasi sektor jasa untuk pekerja domestik tidak tercantum dalam komitmen AFAS 2007 tersebut, tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh pada kesempatan kerja bagi PRT secara tidak langsung. Selain membuka kesempatan kerja yang besar bagi PRT didalam Negeri (karena banyaknya tenaga kerja asing masuk ke Indonesia), juga menjadi tantangan tersendiri jika para PRT kita belum siap dengan ketrampilan kerja yang memadai. Tidak menutup kemungkinan para pekerja asing tersebut akan membawa PRT dari negara asalnya dengan berbagai modus dan cara tertentu untuk bekerja di Indonesia.
Meski Indonesia berpengalaman mengirim TKI (tenaga kerja Indonesia) ke luar Negeri, dimana 80% diantaranya sebagai pekerja domestik (PRT), tidak menjamin bahwa PRT kita akan mampu bersaing dikawasan ASEAN. Secara resmi, PRT kita yang akan bekerja di Luar Negeri sudah dipersiapkan ketrampilan kerjanya melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan balai latihan kerja Luar Negeri (BLKLN) termasuk lembaga sertifikasi profesi (LSP). Namun bagi PRT yang bekerja didalam Negeri belum ada satupun lembaga yang mengurusi ketrampilan kerja atau kompetensinya. Sertifikasi profesi PRT dalam Negeri masih dianggap tidak perlu karena biaya yang relatif mahal dan menganggap rendah pekerjaan rumah tangga. Kebaradaan agen penyalur PRT di kota-kota besar belum menjamin peningkatan kualitas PRT karena sebagaian besar masih berorientasi bisnis.
Dari data Sakernas (survei angkatan kerja nasional) dan Susenas (survei sosial ekonomi) 2012, ILO mengestimasi sekitar 2,6 juta orang bekerja sebagai PRT di Indoneasia. Sementara Jaringan Advokasi Nasional PRT, mengestimasi jumlah PRT sekitar 10,3 juta dengan asumsi bahwa setiap keluarga menegah keatas di Indonesia mempekerjakan minimal seorang PRT. Jumlah tersebut akan meningkat seiring dengan masuknya Indonesia sebagai Negara 'middle income' yang ditandai dengan meningkatnya keluarga kelas menegah keatas, dan ditambah banyaknya tenaga kerja asing sebagai dampak diberlakukannya MEA. Siapkah PRT kita mengisi peluang ini...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H