Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Politik dari Julia Perez

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengunduran diri Julia Perez dari calon wakil bupati Pacitan minggu lalu cukup mengejutkan banyak pihak. Jupe yang diusung delapan(8) Partai Koalisi dalam pertarungan merebut pucuk pimpinan tertinggi di kabupaten Pacitan, mengaku belum cukup matang terjun dalam kompetisi politik yang begitu ketat. Keputusan itu justeru terjadi menjelang saat-saat terakhir tahapan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati di KPUD Pacitan.

Selain ketidaksiapan mental, pengenalan dan pemahaman Jupe dalam dunia politik masih terbilang awam “Setelah gw pikir pikir ilmu gw belum lah sematang para senior gw yang telah duduk di bangku bupati dan wakil bupati. Ilmu saya masih iko dan perlu kematangan yang lebih. Apalagi kota Pacitan itu sangat luas, kota tersebut membutuhkan figur yang lebih baik lagi” kata kekasih Guston Castanyo ini saat di temui di bilangan Cibubur, Selasa (17/8/10 ). Namun versi lain menyebutkan Jupe ditendang koalisi delapan partai karena dianggap tak serius mencalonkan diri. Bahkan ada yang menyebutkan Jupe tak memenuhi persyaratan sebagai calon wakil bupati karena alasan ijazah.

Jupe lolos penjaringan bakal calon melalui koalisi delapan partai yang tergabung dalam Koalisi Amanat Persatuan Rakyat antara lain Partai Hanura, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Selain itu juga Partai Patriot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Sejak awal rencana pencalonannya, Jupe sudah mendapat perlawanan dari pemuka agama dan ormas. Hanya berselang beberapa minggu seteah dipinang Koalisi Partai wanita 30 tahun ini dicekal masuk Pacitan. Namun, berbekalkan dukungan partai koalisi Jupe mencoba mencairkan kebekuan dengan melakukan sowan ke pimpinan setempat sekaligus mengunjungi beberapa wilayah di Pacitan, seperti pondok pesantren, demi merebut simpati massa.

Langkah itu justeru tak menolong banyak, sebab semakin rajin ia terjun langsung ke lapangan, semakin gencar pula tuntutan penolakan terhdapnya.  Bahkan dalam aras politik nasional, pencalonan Jupe dan beberapa artis lainnya, sempat menjadi wacana bagi munculnya rencana untuk merevisi UU N0. 32/2004, terutama yang berkiatan dengan persyaratan atau kriteria pencalonan dengan mempertimbangkan aspek latar belakang kehidupan moral seorang calon.  Namun, sebelum rencana tersebut dijalankan mantan istri pesepakbola Demian Perez ini akhirnya mundur dari bursa pencalonan wakil bupati di kota kelahiran RI I itu.

Penguduran diri Jupe berbuntut reaksi keras massa pengusung koalisi 8 partai di Pacitan. Sejumlah atribut,spanduk dan baliho Jupe dibakar. Para pendukung kecewa sebab Jupe telah mengibuli mereka!

Terlepas dari persoalan itu, pengunduran diri artis seksi ini, memiliki pesan politik tersendiri terutama berkaitan dengan sepak terjang partai politik kita. Pola perekrutan dan sistem kaderisasi partai disorot karena belum sepenuhnya berjalan. Kegagalan kaderisasi dalam tubuh partai politik, disebut-sebut, sebagai penyebab minimnya pemunculan kader-kader baru yang berkualitas. Karena ketiadaan figur-figur baru itu parpol cenderung begitu mudah mengorbitkan figur artis, yang nota bene sudah dikenal luas. Apesnya, sejumlah artis, baik yang memahami maupun yang awam sama sekali dalam berpolitik, menerima begitu saja pinangan parpol tanpa mempertimbangan kapasitas dan jam terbangnya dalam dunia politik. Pada titik ini ada proses 'saling menunggangi' antara partai politik dan artis. Partai menunggangi artis demi meningkatkan perolehan suara, sebaliknya artis juga merasa puas ditunggangi karena berdampak pada meroketnya mendongkrak popularitas yang berdampak pada tawaran kerja dan penghasilan. Akibatnya, parpol kehilangan pengaruh. Sementara kecurigaan terhadap motif kalangan artis berpolitik mulai menguat.

Sejak pemunculan Dede yusuf dan Rano Karno, pencalonan artis sebagai pimpinan daerah praktisnya gagal total. Ratih sanggarawati, yang dijagokan partai Demokrat sebagai calon wakil bupati di wilayah Jawa Timur, misalnya, kalah bersaing merebut suara terbanyak. Hal yang sama juga dialami Helmy Yahya, yang maju sebagai calon wakil gubernur Sumatera Selatan dua tahun lalu.

Kegagalan sejumlah artis bersaing meraih dukungan rakyat dalam pemilukada, menurut sejumlah pengamat politik, menujukkan adanya pergeseran pola pikir masyarakat, dari cara pikir yang mudah termakan rayuan gombal pencitraan menuju cara pikir yang lebih rasional, di mana kemampuan dan integritas calon menjadi faktorpenentu utama sebagai niai jual di mata rakyat  dalam menentukan pilihannya.

Sayangnya pergeseran cara pandang ini, belum berlaku merata di Indonesia. Lemahnya sistem perekrutan dalam tubuh parpol tidak saja berlaku dalam pemilihan kepala daerah, tetapi juga terjadi dalam pemilihan legislatif 2009 lalu dan kemungkinan besar masih akan terulang pada pemilihan legislatif 2014 nanti. Hampir sebagian besar parpol, apalagi parpol baru, asal pungut calon demi memenuhi kuota jumlah calon sebgaimana yang  ditetapkan UU No.10/2008 tentang Pemilihan DPR, DPRD dan DPD.  Akibatnya, kualitas calon terpilih jauh dari harapan rakyat.Di kabupaten Manggarai Timur, NTT, misalnya, mayoritas anggota DPR yang terpilih, memiliki kapasitas dibawa standard dan harapan rakyat. Salah seorang di antaranya bahkan hanya berbekalkan ijazah paket A, B dan C. Siapa yang salah bila si DPR tak mampu menjalankan tugasnya: rakyat yang memilih atau parpol?

Pengunduran diri Jupe, selain menjadi pelajaran berharga bagi Parpol dalam mengubah pola perekrutan dan kaderisasi, juga menjadi peringatan berharga bagi politisi untuk membekali diri dengan sejumlah kecakapan dan integritas kepribadiaan bila ingin maju sebagai pemimpin.  Sebab, pemimpin yang berkualitas dan memahami seluk beluk sebuah wilayah, berpotensi memajukan dan memberdayakan segala potensi yang dimiliki.

Terlepas dari segala kontroversi atas pengunduran dirinya, Jupe, hari ini menjadi begitu berarti bukan karena kontroversi pengunduran dirinya, melainkan karena keberaniannya untuk jujur pada diri sendiri. Sikap ini yang semestinya menjadi cermin sportifitas dalam berpolitik. Dalam arti yang lebih luas, berpolitik bukan sekadar menjalankan libido atau nafsu kekuasaan, tetapi bagaimana mengelola kekuasaan demi menggapai kemaslahatan rakyat banyak!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline