Beberapa hari lalu, selintas saya menyaksikan siaran televisi yang menampilkan Dr Hariman Siregar dan juga Rizal Mallarangeng, sepertinya sedang membahas peristiwa MALARI, yang terjadi 15 Januari 1974. Sudah 42 tahun berselang. Bagaimana tepatnya diskusi itu, saya tidak sempat menyimak, karena pikiran saya melompat ke peristiwa lain.
Saya jadi teringat kisah lama yang ketika itu saya alami, sewaktu kami masih berdomisili di Makassar.
Waktu itu tanggal 12 Januari 1974, suami saya mendapat tugas dari kantornya untuk suatu perjalanan dinas ke Jakarta.
Seperti biasa saya titip oleh-oleh. Kali ini saya minta boneka Teddy Bear yang besar untuk anak kami.
Teddy Bear itu sebenarnya sudah kutaksir dari bulan sebelumnya, namun belum sempat saya beli karena waktu itu banyak barang bawaanku.
“Yang warna krem, yang paling besar, belinya di Senen, ya,” begitu bertubi-tubi pesanku kepada suami saya sebelum dia berangkat. Komunikasi jarak jauh kami, waktu itu adalah melalui telepon interlokal.
Tanggal 14 Januari 1974, saya menerima interlokal dari suami saya. Dia mengabarkan sesuai rencana dia akan balik ke Makassar pada tanggal 16 Januari dan Teddy Bear pesananku sudah dibelinya. Namun ada tetapinya. Apa itu?!
Warnanya dia tukar, bukan beli yang berwarna krem tetapi yang berwarna merah. Yaaaaa…!
Katanya lagi, yang warna krem tampangnya serem, lebih manis yang merah, kalau tidak suka besok dia boleh tukar.
“Oke, besok tukar, ya!”
Sebetulnya saya kasihan, dia harus menukarnya ke Proyek Senen, tapi siapa suruh dia menukar pesanan. Teddy Bear itu lumayan besar, lho. Saya membayangkan pasti banyak yang melirik dia, ketika berjalan sambil menenteng atau menggendong si gendut merah itu…
Ini dia, profil papa sayang anak, bukan papa minta saham, lho! Hehehe…!