Setelah menikah, kami merayakan natal pertama di rumah orangtua saya.
Sesuai adat peranakan Tionghoa Makassar, pengantin laki-laki masuk ke rumah orangtua istrinya.
Natal pertama kami, biasa-biasa saja. Paling adik saya, seperti biasa, menghias potongan cabang cemara yang dia minta entah dari mana. Pohon natalnya hanya kecil dan sangat sederhana. Di rumah, kami tidak merayakan Natal secara khusus karena orangtua kami bukan penganut Kristiani, melainkan penganut Kongfusius.
Pohon Natal dan gua Natal kami yang pertama di Makassar
Sebelum anak pertama kami lahir, kami pindah rumah ke rumah kami sendiri di Jln. G. Latimojong. Pada natal tahun 1967, untuk pertama kali saya membuat pohon Natal dan kandang Natal.
Pohon Natal saya itu terbuat dari potongan batang pinus yang segar, yang kami beli dari ibu Anwar. Suami beliau dari Dinas Kehutanan.
Di pekarangan rumah bu Anwar yang luas, sudah tersedia puluhan pinus dengan berbagai ukuran. Kami boleh memilih, sesuai selera dan kebutuhan kami.
Sangat asyik lho, momen memilih-milih ini. Suasana ramai, karena bukan hanya kami saja yang sibuk memilih. Saya jadi teringat seperti di film Barat, dimana bapak-bapak memotong cemara untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Kami lebih beruntung karena kami tidak perlu lagi memotong, tinggal pilih, lalu menggotongnya pulang. Tentu dengan kendaraan roda empat atau roda tiga (tallu roda, bahasa Makassarnya) alias becak, tentu bisa jika pohonnya tidak terlalu besar.
“Ritual” ini berlangsung setiap tahun, dan kesenangan saya ini dari tahun ke tahun selalu bertambah. Terutama karena anak-anak kami juga telah bertambah dan mereka sangat menikmati pohon dan gua Natal yang saya buat. Ketika mereka beranjak besar, mereka turut membantu menghiasnya. Wangi pinus memenuhi ruang dimana pohon Natal itu diletakkan.
Menurut almarhumah suster Melchiada JMJ yang dulu mengajari saya agama Katolik, bagi umat Katolik lebih penting membuat kandang atau gua Natal daripada pohon terang. Karena itu, di bawah pohon Natalku, saya selalu membuat gua.
Gua Natal
Gua Natalku, saya buat dari kantong semen bekas. Untuk hasil yng lebih baik, seharusnya gua itu saya cat. Tapi karena merasa ribet, saya selesaikan begitu saja, tanpa cat. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
Ada pun patung-patung gua, saya lupa belinya di mana. Mungkinkah saya membelinya di Sekolah Pertanian Lontara, yang didirikan dan dikelola oleh almarhum pastor J. Hauben CICM?! Mungkin sekali, karena sudah tidak terpikir kemungkinan yang lain.
Ipar-ipar, keponakan-keponakan, dan sepupu-sepupuku berpose di depan pohon Natalku di Makassar tahun 1967