Lihat ke Halaman Asli

Ketika Tragedi Tertuang dalam Tinta dan Emosi Menguras Jiwa

Diperbarui: 11 September 2019   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompasiana.com

Oktober 2018, bulan penuh duka saat Lion Air JT-610 terjun bebas ke dalam lautan. Sebanyak 181 penumpangnya tewas dan evakuasi segera dilaksanakan. Tak ada yang menyangka jika pesawat rute Jakarta - Pangkalpinang itu jatuh, hanya 13 menit usai take off dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. 

Kabar jatuhnya Lion Air langsung viral dan ramai di media sosial. Berbagai curahan hati keluarga korban menjadi isu hangat yang dinaikkan semua media, termasuk media online.

Kisah di atas hanyalah satu dari ribuan peristiwa yang tertuang di media. Sebagai content writer, saya dan teman-teman kantor sering menulis berita-berita seputar kejadian tersebut. 

Tak hanya peristiwa namun juga kabar terbaru selebritis, mulai dari yang sedang menikah dan berbahagia, sampai mereka yang bercerai dan tewas karena kecelakaan atau sakit keras.

Selama dua tahun, saya ikut menuangkan semua data dan fakta dalam tinta untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Jujur saja, mudah bila yang ditulis adalah berita bahagia. 

Seleb A punya anak, seleb B menikah, seleb C mantu dan lain sebagainya. Namun, seketika tangan saya menjadi dingin jika harus menuliskan berita soal tragedi yang memilukan.

Salah satu contohnya ialah tragedi Lion Air di atas. Hampir setiap hari selama sebulan, saya harus berkutat dengan peristiwa memilukan tersebut.

Bayangkan saja, membaca dan mendengar fakta bahwa ada pesawat jatuh saja sudah membuat kita mengelus dada, apalagi jika harus menuliskannya setiap hari? 

Ya, itulah yang terjadi. Saya harus mencari data tentang wawancara keluarga korban yang menangis pilu akibat kehilangan orang yang mereka cintai. Menerangkan kembali kisah tentang bagaimana anak, tunangan, suami, istri mereka semua hilang dan tiada di lautan karena peristiwa tersebut.

Hingga kini, saya masih bisa merasakan emosi dan duka para keluarga korban yang tertuang dalam tinta lalu dibaca banyak orang. Tentang bagaimana kenangan terakhir mereka, firasat sampai pemakaman dan ucapan selamat tinggal yang pilu. 

Luapan emosi yang sekiranya muncul dalam hati dan pikiran, harus dibendung dengan bijak agar opini tidak terselipkan dalam berita yang ditulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline