Semilir angin dingin berhembus ke dalam mobil tatkala saya mulai memasuki kawasan sepi penuh perkebunan di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Tak lagi nampak gedung-gedung tinggi nan megah seperti di perkotaan. Tak ada lagi deru riuh rendah klakson motor ataupun bis yang bising dan ramai. Hanya ada pepohonan dan kebun sayur hijau nan menyegarkan, terhampar luas di depan mata.
Jalan semakin menanjak. Di ujung bukit, mulai nampak sebuah lahan parkir yang tak terlalu luas. Usai melewati lahan parkir itu, nampaklah sebuah bangunan kuno yang terbuat dari batu, berdiri kokoh di bawah megahnya Gunung Merbabu.
Perlahan, saya seperti memasuki era kerajaan Eropa di masa lalu. Masa seperti yang ada di film-film ala Robin Hood, ketika biara Katolik mulai tumbuh subur di Eropa pada masa abad kelima belas. Ya, memang itulah yang saya rasakan kala memasuki kawasan Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono ini.
Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono merupakan biara khusus ordo suster-suster Trapis OCSO atau Ordre Cistercien de la Stricte Observance. Ordo ini merupakan salah satu tarekat di bawah Gereja Katolik Vatikan, Roma yang memiliki aliran kontemplatif. Menilik sekilas dari sejarahnya, ordo ini didirikan oleh Armand Jean le Bouthillier de Rance pada tahun 1664 di bawah peraturan Santo Benediktus.
Seperti alirannya, biara yang dibangun pada tahun 1987 ini memang begitu tenang dan hening. Tak ada suara ataupun keramaian seperti yang sering kita temukan di kota atau jalan raya. Tak ada suara orang mengobrol. Semua suster tarekat ini diam di dalam biara yang dikelilingi oleh pintu kayu besar dan dinding-dinding batu bangunan yang didesain oleh Romo Mangun ini.
Saat ada tamu datang, mereka akan dijemput oleh salah satu suster dari dalam biara. Tamu kemudian diajak untuk mengisi buku tamu di loket yang terletak di atas tangga dekat pintu masuk biara. Di kiri dan kanan pintu masuk kayu raksasa itu, kita bisa menemukan beberapa ruangan kecil. Mulai dari toilet hingga tiga ruangan khusus bagi para tamu untuk berbincang-bincang dan konsultasi. Semua ruangan ini diperuntukkan bagi tamu dari luar biara.
Ada pula sebuah ruang makan yang cukup besar di sebelah timur loket. Saya sempat merasakan masakan rumah yang jadi menu makan siang di sana. Mulai dari sop sayur, tempe hingga teh hangat dan kerupuk, jadi santapan sederhana saya siang itu. Setelah makan, semua pengunjung akan mencuci piring dan gelas mereka sendiri di samping ruang makan. Sebuah kebiasaan yang baru saya temukan selama 24 tahun saya hidup dan mengikuti retret Katolik di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya.
Tepat di seberang ruang makan, ada tangga menuju ke kamar para tamu di bawah. Kamar-kamar yang ditawarkan di sini beraneka ragam. Ada kamar berisi 2 orang saja, ada pula kamar yang bisa diisi 3 orang. Masing-masing kamar dilengkapi kasur seprai putih yang bersih serta wastafel, jemuran, meja dan lemari. Kamar tamu pun tidak hanya terkonsentrasi di satu gazebo saja. Ada kamar yang terletak di bawah biara. Untuk menuju ke sana, kita harus melewati jalan setapak yang terbuat dari batu dan melewati perkebunan hijau segar yang membentang luas di bawah Pertapaan Gedono.
Tepat di samping kiri bangunan utama, berdirilah gereja Katolik yang dibangun tepat di atas pertapaan Gedono. Gereja ini memiliki desain yang serupa dengan bangunan biara, yakni berdinding batu dan berpintu kayu besar. Tak hanya di bagian luarnya saja. Dinding batu yang dingin dan jendela kecil serta kursi kayu ala gereja zaman dulu juga ada di bagian dalam gereja.
Saat duduk di dalam gereja nan syahdu itu, saya langsung merasakan keheningan yang tak biasa. Suasana tenang berbalut angin yang menyeruak masuk dari jendela kecil, menemani setiap doa yang didaraskan di dalam gereja. Ya, tak seperti gereja Katolik biasa. Di pertapaan Gedono ini, para suster dan tamu akan mengadakan misa dan doa-doa khusus pada jam-jam tertentu. Doa tersebut wajib diikuti oleh pengunjung dan suster dalam keheningan dan nyanyian kontemplatif yang sudah tertulis di dalam buku panduan gereja.
Tak hanya itu saja yang jadi keunikan pertapaan ini. Mimbar gereja terbuat dari kayu raksasa dan tabernakel berdiri tanpa hiasan apapun di balik mimbar itu. Selain itu, para pengunjung juga duduk terpisah dengan para suster biara. Usai misa, para suster akan langsung kembali masuk ke biara melalui pintu timur gereja, tanpa berbicara.