Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kupu-Kupu

Diperbarui: 9 Agustus 2016   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kupu-Kupu (Sumber: ilmupengetahuan.org)


The butterfly counts not months but moments, and has time enough. Rabindranath Tagore

Ya, itulah kupu-kupu. Salah satu serangga tercantik di dunia ini. Pada saat saya masih kelas 4 SD, saya mendapat tugas untuk mengamati metamorfosis kupu-kupu. Saya mencari ulat dan akhirnya mendapatkan dua ekor ulat jeruk gemuk berwarna hijau. Ulat-ulat itu saya taruh ke dalam toples plastik yang di atasnya diberi kasa. Saya mengamati perkembangan mereka, namun salah satu di antaranya kabur dan akhirnya hanya satu ulat yang tertinggal.

Hari demi hari saya mengamati ulat itu berubah menjadi kepompong dan akhirnya keluar menjadi kupu-kupu yang indah. Kini ia tidak bisa hidup di dalam toples lagi. Ia harus bebas, lepas dan menjalani hidup barunya sebagai kupu-kupu dewasa. Saya begitu sedih ketika saya tahu bahwa saya harus melepasnya pergi. Meskipun pada awalnya terasa biasa saja, namun ketika saya melepas kupu-kupu itu pergi, saya begitu merasa kehilangan. Saya takut ia tidak akan bisa bertahan hidup di luar sana. Bahkan saya sampai menangis ketika saya harus melepas kupu-kupu itu di dekat pohon tetangga.

Namun apa yang terjadi apabila saya tetap mempertahankannya dan mengurungnya? Jawabannya hanya satu. Dia akan mati. Berada di luar sana mungkin membuatnya tidak aman. Mungkin saja hari ini dia masih hidup dan esok hari dia mati dimangsa serangga lain. Namun mengurungnya justru membatasi kebebasannya dan membunuhnya secara perlahan. Ia tidak bisa mencari pasangan dan bertelur. Ia tidak bisa mencari bunga favoritnya. Dan tentu, ia tidak bisa melaksanakan salah satu tugas pentingnya yakni membantu penyerbukan bunga.

Sedangkan dengan terbang bebas, ia bisa memanfaatkan dua minggu hidupnya untuk meneruskan keturunan dan melaksanakan tugasnya. Ya, rata-rata usia kupu-kupu hanyalah dua minggu. Dan selama dua minggu itu, ia harus bertahan hidup, mencari pasangan dan bertelur, sebelum kemudian ia mati.

Belajar dari hal ini, saya tahu bahwa melepaskan tidak selalu membawa dampak buruk. Ada hal-hal yang memang harus dilepaskan agar menjadi lebih baik dan lebih berkembang dari sebelumnya. Pengekangan dan pembatasan diri terhadap sesuatu, termasuk memaksa diri untuk berada di dalam ‘toples’ yang tidak kita sukai, tentu akan membuat kita tertekan dan tidak menikmati kehidupan dengan bahagia.

Dan seperti kupu-kupu juga, belajarlah untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kupu-kupu hanya memiliki waktu dua minggu untuk melaksanakan tugasnya dan meneruskan keturunannya. Dan ia menggunakan waktu itu dengan baik. Dalam masa waktu hidupnya yang singkat itu, ia bahkan memberikan manfaat bagi makhluk hidup lain. Maka seperti kupu-kupu, berusahalah, manfaatkanlah waktu dengan baik, jangan menunda apa yang bisa dikerjakan saat ini karena waktu tidak akan pernah kembali. Waktu akan terus berjalan. Ketika semuanya sudah terlambat, tidak ada jalan untuk kembali. Tidak ada penyesalan yang bisa mengulang semua yang sudah terjadi. Bahkan kata seandainya pun lenyap begitu saja seakan tidak memiliki arti.

Kupu-kupu mungkin hanyalah serangga cantik yang sering kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun kehidupannya dapat menjadi inspirasi bagi manusia. Semoga artikel singkat ini bermanfaat. Terima kasih dan sampai jumpa! (cyn).

Irene Cynthia Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline