Sejak Indonesia merdeka ditahun 1945 hingga tahun 2013, tindakan kekerasan merupakan satu metode mengajar yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didiknya. Metode ini dianggap sebagai bagian dari metode pendidikan yang sah dan bahkan diperlukan untuk mendisiplinkan anak-anak. Beberapa bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, diterima begitu saja dan dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengontrol perilaku peserta didik yang dianggap nakal atau tidak patuh. Namun, seiring perkembangan zaman dan perubahan pandangan tentang hak asasi manusia dan pendidikan, kekerasan dalam pendidikan kini menjadi isu yang serius dan banyak dipermasalahkan. Apa yang dulunya dianggap biasa kini menjadi pelanggaran yang tidak dapat diterima hingga ada yang dipermasalahkan secara hukum.
Kekerasan yang Dilakukan Pendidik di Masa Lalu
Pada masa lalu, disiplin yang keras dan kadang-kadang menyakitkan seringkali dianggap sebagai bagian dari upaya untuk membentuk karakter siswa. Di sekolah-sekolah banyak pendidik yang menggunakan hukuman fisik pada siswa yang dianggap melakukan kesalahan seperti: memukul tangan dengan penggaris, memukul dengan buku, menjewer, mencubit atau bahkan melempar siswa dengan kapur/ penghapus , dll. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa seperti: berbicara di luar giliran, tidak menyelesaikan pekerjaan rumah, atau melakukan hal-hal yang dianggap mengganggu biasanya menjadi sasaran hukuman tersebut.
Selain kekerasan fisik, kekerasan psikis juga sering terjadi. Kekerasan psikis yang dilakukan para pendidik antara lain: menggunakan kata-kata kasar, menghina, atau merendahkan harga diri siswa sebagai bentuk hukuman pada peserta didik yang gagal mengikuti aturan dianggap kurang disiplin oleh karena itu, layak dihukum. Bahkan, banyak orang tua yang mendukung tindakan ini juga melakukan metode mendidik peserta didik dengan cara yang sama, karena mereka menganggap bahwa pendidik melakukan ini untuk kebaikan peserta didik agar mereka menjadi individu yang baik."
Pada masa itu, fenomena ini tidak banyak dipermasalahkan. Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik sering kali dianggap sebagai bagian dari tugas mereka untuk mendisiplinkan siswa. Jika seorang siswa mengeluh atau melaporkan kekerasan tersebut, mereka biasanya dianggap sebagai peserta didik yang bermasalah atau tidak cukup tahan banting. Oleh karena itu, tidak ada kesadaran yang signifikan mengenai potensi dampak buruk dari tindakan kekerasan ini.
Perubahan Pandangan: Kekerasan Tidak Diterima di Masa Kini
Dengan berkembangnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak asasi manusia serta pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan, maka pandangan terhadap kekerasan dalam pendidikan telah berubah drastis. Di era modern, kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik yang dilakukan dengan niat mendidik atau mendisiplinkan tidak lagi diterima. Berikut adalah beberapa alasan mengapa kekerasan pendidik yang dulu diterima kini dipermasalahkan:
1. Perlindungan hak peserta didik sebagai individu
Meningkatnya kesadaran tentang hak-hak individu sebagai peserta didik yang telah diakui secara internasional. Organisasi seperti PBB, melalui Konvensi Hak Anak, menegaskan bahwa anak-anak berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Di Indonesia bahkan sudah dibuatkan undang-undang yang mengatur hal kekerasan terhadap anak. Dengan semakin banyaknya undang-undang yang melindungi anak, tindakan kekerasan fisik dan psikis oleh pendidik dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak sebagai individu yang berkegiatan sebagai peserta didik untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
2. Pemahaman tentang dampak kekerasan