Pemerintah RI bekerjasama dengan Direktorat Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menggelar Ujian Nasional tingkat SMA/sederajat, adapun pelaksanaan UN SMA/Sederajat ini mulai dilaksanakan pada tanggal 14-16 April 2014, sementara UN untuk tingkat SMP/sederajat akan dilaksanakan pada tanggal 05-08 Mei 2014, relatif tidak ada kendala teknis pada UN kali ini dibandingkan dengan UN pada tahun sebelumnya dimana pada tahun sebelumnya terjadi keterlambatan distribusi soal UN dikarenakan ketidaksiapan perusahaan percetakan pemenang tender rekanan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam menggandakan soal UN yang berakibat pada ditundanya jadwal UN di sebagian besar Provinsi yang ada di wilayah Indonesia bagian timur. UN berjalan lancar dan kondusif meski masih saja ditemukan soal UN yang bocor akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ujian Nasional merupakan alat ukur kognitif untuk menguji kompetensi pengetahuan siwa yang didapatkan selama duduk di bangku sekolah, Ujian Nasional juga menjadi persyaratan utama bagi setiap siswa untuk memperoleh tiket kelulusan yang terlegitimasi dengan selembar SKHU (Surat Keterangan Hasil Ujian) dan Ijazah yang dikeluarkan oleh sekolah melalui dinas terkait. Sistem UN ini diterapkan atas amanat UUD 1945, dijabarkan melalui UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 yang secara yuridis menghapus sistem EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) dan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), sebagaimana diketahui bahwa sistem EBTA-EBTANAS didasarkan atas landasan berpikir bahwa kualitas pemahaman dan kompetensi pengetahuan siswa dapat diukur secara objektif oleh para guru atau wali kelas, artinya guru atau wali kelas mempunyai kapasitas untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa ke jenjang pendidikan selanjutnya, hal ini dikarenakan guru atau wali kelas mengetahui secara seksama berbagai aktifitas kognitif siswa melalui alat ukur yang graduatif dan terpantau (monitoring action).
Terjadi diskriminasi yang begitu kentara ketika UN menjadi satu-satunya “tiket kelulusan bagi para siswa”, hal ini dapat dipahami karena kualitas pendidik di setiap daerah memiliki perbedaan menonjol, perbedaan itu terlihat dari tingkat pendidikan, letak geografis, adat, budaya, akses informasi, kualitas pengetahuan dan lingkungan sosial di masing-masing daerah. Bukankah kualitas pendidik sangat berpengaruh terhadap kualitas peserta didik? Jika para pendidik memiliki kompetensi yang mumpuni maka akan menghasilkan peserta didik yang juga mumpuni, begitupun sebaliknya. Standarisasi nasional sistem pendidikan kita jelas tidak arif dan bijaksana karena telah memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan realitas sosial yang ada. Bagaimana bisa seorang peserta didik yang berada di daerah tertinggal kualitas ilmu pengetahuannya disamaratakan dengan yang berada di kota-kota besar? Bagaimana bisa kualitas pendidik yang ada di Provinsi DKI Jakarta mampu disamakan dengan kualitas pendidik yang ada di Provinsi Papua?.
SISDIKNAS (Antara Lembaga Pendidikan dan Kios Retail)
Sudah hampir 11 tahun sistem pendidikan di Indonesia mengacu pada penerapan hasil UN yang cenderung sentralistik dan dikriminatif, sudah 11 angkatan setiap tahunnya anak-anak bangsa yang mengalami mimpi buruk pelaksanaan UN dan sudah tidak terhitung berapa ratus miliar anggaran negara yang dikeluarkan untuk biaya operasional pelaksanaan Ujian Nasional. Problem kesurupan masal, pingsan bahkan depresi atas hasil ujian, keterlambatan pelaksanaan ujian, kebocoran soal ujian, tertukarnya soal ujian, pungutan liar, main mata pihak penyelenggara UN, prosentase kelulusan yang rendah di daerah-daerah, sampai penggelembungan anggaran seakan menjadi prestasi turun temurun semenjak UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 diterapkan, problem menahun tersebut menjadi dalih pemerintah untuk menerbitkan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan membentuk BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) guna melakukan evaluasi berkala dan menjawab persoalan keragaman mutu pendidikan nasional, namun pada prakteknya BSNP hanyalah institusi penggembira yang sama sekali tidak menjawab berbagai persoalan pendidikan bangsa.
UU SISDIKNAS menjadi pintu yang terbuka lebar bagi siapapun dan pihak manapun untuk mendirikan yayasan/lembaga pendidikan, hal ini tentu menggembirakan disatu sisi karena asumsi dasar bahwa semakin banyak jumlah lembaga pendidikan yang berdiri maka semakin banyak pula jumlah anak-anak bangsa yang mampu mengenyam pendidikan. Namun ditengah sistem pendidikan seperti ini amanah tulus pendidikan hanya menjadi jargon belaka, alhasil lembaga pendidikan hanya menjadi wadah profit untuk memperbanyak kuantitas siswa tanpa memperhatikan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan menjadi “kios retail” yang menjual “produk andalan” bernama “ijazah”. Dengan atau tanpa sadar sistem pendidikan seperti ini menggiring cara pandang kita pada nalar utama yaitu “keuntungan materil”. Jika ini yang berlaku maka tidak heran komersialisasi pendidikan dianggap sebagai hal yang wajar. ada uang ada bangku sekolah, tak ada uang tak ada ijazah. Miris.
Inilah standar ganda penerapan kebijakan Sistem Pendidikan Nasional, kita dipaksa untuk menelan pil pahit tanpa harus mengerti apa yang membuat kebijakan itu seakan-akan wajib di jalankan. Pendidikan di kemas seakan ramah dan terbuka bagi anak-anak bangsa tapi disatu sisi memberangus hak-hak kemanusiaan, menggerogotinya perlahan dan memperlemah sendi-sendi pengetahuan, bukankah bangsa ini akan diteruskan estafetnya oleh anak cucu kita, maka mewariskan kebaikan dan jati diri kebangsaan adalah sebuah keharusan. Kebijakan yang ditetapkan sejatinya mampu mengendus hal terkecil dari problematika pendidikan, apa problematika pendidikan kita hari ini? Jelas problematika pendidikan kita hari ini adalah persoalan kesungguhan para pemegang kebijakan. Apakah kita ingin kaum terdidik muak karena dipola sedemikian rupa oleh sistem, regulasi dan konstitusi yang tak tepat sasaran, kemudian berbondong-bondong pindah kewarganegaraan? Atau pecahnya revolusi sosial yang sudah pasti akan menelan banyak korban berjatuhan? Karena satu alasan utama bahwa di bumi pertiwi ternyata masa depan akan keadilan dan kemakmuran hanyalah penggalan-penggalan roti keserakahan. Mahatma Gandi pernah berkata “akar kekerasan adalah kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan dan politik tanpa prinsip”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H