Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Kilasan Balik Efek Kesakithatian Karena Pengkhianatan

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sebuah pengkhianatan membekas di hati, maka apapun yang dikerjakan dan dilakukan tiada mendapat kepercayaan lagi. Kalimat tersebut merupakan gambaran betapa sakitnya hati seseorang yang telah dikhianati, yang meskipun telah memberikan kalimat maafnya dengan tulus namun masih memberikan pelekat vonis pengkhianat dan tidak dapat dipercaya lagi kepada orang tersebut.

Kepercayaan dan kejujuran memang mahal harganya, bahkan jika ditebus dengan nyawa pun mungkin masih tersisa sakitnya. Itulah sebabnya, mengapa sangat dibutuhkannya kejujuran dan saling menjaga kepercayaan antar manusia, antar pasangan, antar keluarga, antar saudara, dan sebagainya.

Memang, tiada manusia yang benar-benar memiliki rasa jujur 100%, namun kita masih mampu untuk melakukan semaksimal mungkin berlaku jujur dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain. Menjadikan kejujuran sebagai habit dan menjaganya kepada setiap orang. Harga diri adalah taruhannya, harga diri adalah hal yang digadaikan dalam sebuah kesepakatan bersama yang berlandaskan kepercayaan.

Khianat…. Mungkin semua orang pernah melakukannya, namun bagaimana caranya akan menentukan kesakithatian dan melukai perasaan yang pernah percaya dan berharap kebaikan atas pemberian kepercayaan itu. Judge dan vonis yang tidak bisa diganggu gugat lagi akan terus dan tetap melekat erat di pikiran atas perbuatan-perbuatan menyakitkan.

Kepercayaan, pengkhianatan, kesakithatian, menyakiti, tersakiti, memori yang tertinggal, asa yang mulai memudar, kegamangan perasaan, mungkin masih banyak lagi kata-kata yang dapat menggambarkan sebab akibat dan korelasi singkat namun parallel dari inti permasalahan khianat ini.

Sulit untuk percaya kepada orang lain, bahkan seseorang yang memiliki kebesaran hati dan kelapangan dada pun mungkin masih terselip rasa ragu apakah orang tersebut masih layak dan masih mampu untuk menjaga kepercayaan baru yang akan diberikan. Akan banyak timbul pertanyaan, apakah dia akan berkhianat lagi? Ataukah dia memperbaiki kesalahannya dulu meskipun hal itu tidak sebanding dengan efek kejadian masa lalu? Ataukah dia membiarkan kesakithatian menyakiti dirinya dan membiarkannya berlanjut hingga akhir hayat?

Memori yang tertinggal meupakan refleksi balik dari sebuah hati yang tersakiti. Ada yang masih mengingatnya dengan jelas dan masih merasakan kepedihan sakitnya, ada juga yang memberikan sugesti agar melupakan memori itu dan benar-benar melupakannya. Dendamkah? Tiada yang tahu apakah itu bisa disebut dengan dendam yang harus dibalaskan, atau hanya sekedar memori usang menyakitkan yang tinggal dan mengambil ruang di dalam hati dan pikiran.

Asa… mungkin masih ada dengan proses perlahan seperti tetes hujan yang membasahi dan membuat lubang di sebuah batu. Asa telah terbolongi dengan pengkhianatan, hingga tiada yang mampu menambalnya. Asa akan terus diberikan namun dengan menetesnya di atas batu yang telah berlubang, maka akan mengalir kemana lagi airnya selain kepada dalamnya luka. Gamang… seperti tiada berpijak dan menembus cahaya, antara ada dan tiada. Melihat dan mendengarnya namun seolah hanya bayangan semu yang hanya terlihat saat memang diinginkan.

Apakah obatnya kawan? Bagaimana cara mengobatinya kawan? Bagaimana cara mengikisnya kawan? Bagaimana menyikapinya kawan? Kapankah akan memudar dan kembali kawan? Ah… masih banyak pertanyaan yang terlontar dan tiada yang memiliki jawabannya. Mengalir begitu saja hingga waktu yang menentukan apakah telah terlihat kebenarannya dan memutuskan penderitaan apa lagi yang akan diambil. Keputusan ikut andil dalam kesakithatian… namun harapan akan kasih sayang mungkin dapat mengobati hati yang terluka tajam karena pengkhianatan.

Bandung - 260711

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline