SPPT dan STTS PBB P2 (Sumber Dokumen Pribadi)
Sesuai amanah Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa paling lambat 1 Januari 2014 Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) akan beralih pengelolaannya yang semula dikelola oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama (Ditjen Pajak, kementerian Keuangan RI) ke Pemerintah Kabupaten / Kota. Atau yang semula merupakan pajak pusat dengan berlakunya undang-undang tersebut selanjutnya menjadi pajak daerah.
Sebagai informasi pada tahun 2013 ada 105 kabupaten/kota di Indonesia yang menyatakan siap mengelola PBB P2. Sebelumnya tahun 2011 kota Surabaya sebagai satu-satunya kota yang mengelola PBB P2 untuk pertama kalinya. Sedangkan pada tahun 2012 sebanyak 17kabupaten / kota, dan sisanya sebanyak 369 kabupaten / kota pada tahun 2014. Yang menjadi pertanyaan sudah siapkah Pemda mengelola PBB P2? Bisakah pengelolaanya akan lebih baik atau sebaliknya?
Berkaca dari beberapa kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pengelolaan PBB P2 pada tahun 2011 dan 2012 ternyata banyak permasalahan yang timbul. Ini disebabkan karena ketidaksiapan Pemda akan beberapa hal diantaranya belum siapnya Perbub/Perwali, sarana dan prasarana, serta SDM yang ada. Sebagai contoh wilayah kota Surabaya yang telah mengelola PBB P2 sejak tahun 2011 yang lalu ternyata banyak masalah terutama pelayanan terhadap Wajib Pajak (WP). Banyak keluhan dari masyarakat WP yang mengajukan pelayanan PBB baik berupa keberatan, pembetulan, balik nama, dan pelayanan yang lain yang tidak bisa terlayani dengan baik. Ini dikarenakan tidak tidak siapnya Pemkot Surabaya akan basis data dan aplikasi untuk mengadministrasikan PBB P2. Pemkot terlalu menganggap sepele masalah pengelolaan PBB P2. Bayangkan data base PBB hanya dibuat dari hasil scan SPPT yang selanjutnya diolah hanya dengan exel? Sudah pasti tidak akan mampu. Hal ini mengingat jumlah objek PBB P2 yang begitu besar, ratusan ribu bahkan ada yang lebih dari satu juta dalam satu kabupaten / kota.
Lain pula masalah yang dihadapi oleh Pemkot Medan yang sudah mulai mengelola PBB P2 tahun 2012 ini. Masyarakat WP ramai-ramai mengajukan keberatan atas besarnya pajak PBB P2 yang ditetapkan oleh Pemkot Medan. Ini disebabkan kenaikan yang drastis dari tahun sebelumnya. Bahkan kenaikannya ada yang mencapai 2X lipat atau hampir 100%. Penyebabnya menurut penulis adalah kurang pahamnya pihak penyusun Perda dalam hal ini Pemkot dan DPRD , tidak ada simulasi perhitungan PBB P2 menggunakan aturan baru yang dibandingkan dengan aturan sebelumnya, serta kurangnya komunikasi dengan DJP dalam hal ini KPP Pratama setempat.
Sebagai informasi tarif PBB P2 yang diterapkan oleh Pemkot Medan adalah 0,2% untuk NJOP kurang dari Rp. 1 milyar dan 0,3% untuk NJOP yang diatas Rp. 1 milyar, sedangkan tarif menurut aturan yang lama (UU no 12 tahun 1985 jo UU no 12 tahun 1994) adalah 0,5%. Walaupun dilihat dari prosentase tarif untuk aturan yang baru lebih kecil dibandingkan dengan aturan yang lama, tetapi besarnya pajak PBB P2 yang harus dibayar ternyata malah lebih besar atau naik dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini karena adanya perbedaan formula dalam penghitungan ketetapan PBB P2. Menurut aturan yang lama formula menghitung jumlah PBB P2 yang harus dibayar adalah:
PBB P2 = (NJOP – NJOPTKP) X NJKP X Tarif
sedangkan menurut aturan yang baru:
PBB P2 = (NJOP – NJOPTKP) X Tarif
Selain itu perbedaan lainnya yaitu:
1) di aturan yang lama NJOP sebagai dasar penghitungan pajak dikalikan NJKP (Nilai Jual Kena Pajak), yang besarnya hanya 20% untuk NJOP dibawah Rp. 1 milyar dan 40% untuk NJOP yang diatas Rp. 1 milyar, sedangkan diaturan yang baru tidak ada NJKP artinya NJOP yang dipakai dasar perhitungan pajak besarnya adalah seluruhnya atau 100%,
2) perbedaan faktor pengurang yaitu NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) untuk kota Medan tahun 2011 besarnya NJOPTKP Rp. 6.000.000 sedangkan tahun 2012 ditetapkan Rp. 15.000.000. Sebagai informasi saat masih pajak pusat berdasarkan PMK No. 67/PMK.03/2011 besarnya NJOPTKP maksimal Rp. 24.000.000, walaupun baru di terapkan Rp. 6.000.000, sedangkan ketika menjadi pajak daerah (UU PDRD) besarnya NJOPTKP minimal Rp. 10.000.000, dan yang ditetapkan di kota Medan Rp. 15.000.000.
Untuk lebih bisa dipahami berikut ilustrasi perhitungan besarnya PBB P2 antara aturan yang lama (pajak pusat) dan aturan baru (pajak daerah), disini dicontohkan yang diberlakukan di Pemkot Medan tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Tabel Perhitungan PBB P2 NJOP s.d. Rp. 1 milyar
Tabel Perhitungan PBB P2 NJOP > Rp. 1 milyar
Berdasarkan tabel diatas bisa dijelaskan untuk NJOP dibawah Rp. 1 milayar (dalam contoh Rp. 9.500.000.000) pajaknya yang semula Rp. 944.000 akan naik menjadi Rp. 1.870.000 atau mengalami kenaikan 98,1%, sedangkan untuk NJOP diatas Rp. 1 milyar (dalam contoh Rp. 1.100.000.000) pajaknya yang semula Rp. 2.188.000 naik menjadi 3.255.000 atau kenaikannya sebesar 48,8%. Kenaikan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat kota Medan yang menyebabkan mereka berbondong-bondong mengajukan keberatan. Dari contoh ilustrasi diatas semestinya untuk tahap awal lebih aman kalau tarif yang dipakai adalah 1 % dan 2%, agar tidak terjadi lonjakan kenaikan yang drastis, baru ditahun berikutnya apabila infrastrukturnya sudah memadai bisa disesuaikan secara bertahap.
Kesiapan Pemda akan Perda adalah hal yang mutlak diperlukan dalam pengelolaan PBB P2. Perda ini harus sudah siap di tanggal 30 Juni sebelum tahun pengalihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB P2 Sebagai Pajak Daerah. Artinya apabila Pemda menghendaki pengalihan tahun 2013 Perda sudah harus selesai dan diberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri paling lambat 30 Juni 2012. Perlu mendapatkan perhatian yang serius baik Pemda maupun DPRD, agar jangan sampai penerbitan Perda melewati batas waktu yang diatur dalam peraturan bersama tersebut. Dan yang perlu diketahui berdasarkan pasal 180 ayat (5) UU PDRD bahwa PBB P2 sebagai pajak pusat berlaku sampai paling lama sampai 31 Desember 2013, sepanjang belum ada perda yang mengaturnya. Hal ini berarti terhadap 369 kabupaten/kota yang rencananya akan mengelola PBB P2 tahun 2014, maka Perda harus sudah selesai paling lambat 30 Juni 2013. Apabila sampai pada tanggal tersebut Perda belum selesai bisa mengakibatkan PBB P2 tidak bisa terpungut, karena DJP selaku pengelola pajak pusat sudah tidak berwenang lagi, sementara Pemda belum bisa mengelola karena belum adanya Perda yang mengaturnya. Jangan sampai ini terjadi karena ini akan merugikan pemda, terutama Pemda yang pemasukan dari PBB P2 besar karena akan mengurangi pendapatan daerah dari sektor pajak. Jangan sampai akibat ketidaksiapan Pemda menyebabkan pajak yang cukup potensial ini tidak terpungut, seperti tejadi di Pemda Jember pada tahun 2011 tidak memungut BPHTB akibat dari perda yang belum siap. Walaupun perlu diketahui juga untuk Pemda yang potensi PBB P2-nya kecil terutama yang diluar Jawa, dengan pendaerahan PBB P2 ini bisa jadi bukan malah untung. Hal ini mengingat yang selama ini mereka tinggal terima bersih dari DJP, sekarang harus menyiapkan sarana dan prasarana pendukung mulai dari hardware (komputer server, computer client, hight speed printer, UPS, dll), software (aplikasi pendukung), SDM, gedung kantor, ATK, dll, yang jika ditotal pengeluarannya mungkin akan lebih besar dibandingkan dengan pemasukan dari penerimaan PBB P2.
Potensi permasalahan yang menurut penulis juga timbul dengan pendaerahan PBB P2 ini adalah penanganan pelayanan keberatan. Ini disebabkan ada perbedaan yang prinsip antara aturan yang baru dengan yang lama. Diaturan yang lama keberatan tidak menunda pembayaran pajak. Artinya WP bebas mau bayar pajak kapan saja tanpa harus menunggu proses keberatannya selesai, asalkan sebelum jatuh tempo pembayaran. Karena kalau lewat jatuh tempo akan dikenakan sanksi administrasi 2% per bulan. Apabila terjadi kelebihan pembayaran bisa mengajukan restitusi atau kompensasi, tetapi apabila pajak yang sudah dibayar lebih kecil tinggal membayar kekurangannya. Di aturan yang baru WP harus membayar dulu sejumlah yang disetujuinya, apabila keberatanya disetujui sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan, tetapi jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajakyang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Penulis membayangkan akan rumitnya mengadministrasikan proses keberatan ini. Hal ini mengingat pengajuan keberatan PBB P2 biasanya sangat banyak, bisa mencapai ribuan atau puluhan ribu pengajuan. Ini perlu diantisipasi dengan penyiapan aplikasi yang baik serta didukung dengan SDM yang mumpuni juga.
Gambaran diatas adalah permasalahan yang akan dihadapi oleh Pemda dalam pengelolaan PBB P2 yang harus diantisipasi dengan baik sehingga tidak menimbulkan permasalahan, terutama bagi Pemda yang akan mengelola ditahun 2013 dan 2014. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan siapa yang mengelolanya apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah, yang penting pelayanan berjalan baik, tidak terjadi gejolak di masyarakat, serta bagi pemerintah daerah terkumpulnya dana dari sektor pajak ini untuk tetap menjaga keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Dan yang paling penting perlunya sosialisasi jika ada kenaikan pajak, sehingga masyarakat sudah bisa mempersiapkan.
Demikian juga jangan sampai PBB P2 ini dijadikan alat politik saat kampanye, sebagaimana yang kita dengar salah satu pasangan walikota Bekasi. Apakah mereka sudah terbayang permasalahan yang timbul dari pengelolaan PBB P2 di daerah? Pertanyaan ini yang seharusnya dijawab dulu oleh pasangan yang mengusung selogan tersebut.
Akhirnya bisakah berharap pengelolaan PBB P2 akan lebih baik di tangan Pemda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H