Lihat ke Halaman Asli

Ira Wulandari

Freelancer

Jadi seperti Ini Rasanya Merdeka

Diperbarui: 17 Agustus 2024   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com 

Sejatinya 17 Agustus ini bukan hanya merdeka dari penjajah tahun 1945, tetapi juga merdeka dari segala sesuatu yang mengekang kita dalam berpikir dan bertindak.

Saat saya kecil saya bukan orang yang dapat bebas mengakses perpustakaan, kursus-kursus, atau kegiatan-kegiatan lain. Tentu faktor utamanya adalah ekonomi. Orang tua saya juga belum punya kesadaran bahwa anak-anaknya harus banyak belajar banyak hal.

Karena tidak banyak kegiatan yang bisa mengembangkan kemampuan dan pemikiran saya, saya tumbuh dengan penuh rasa ketidakpercayadirian. Mirisnya hal itu dialami juga oleh teman-teman di lingkungan saya. Ternyata memang lingkungan sangat berpengaruh.

Dari awal bersekolah, Bapak saya tidak setuju dengan kuliah, katanya tidak ada bedanya dengan jenjang pendidikan apa pun. Jangan dulu menghakimi pandangan Bapak saya itu karena pada akhirnya berubah, kok.

Nah, prinsip Bapak saya itu masih berlaku hingga saya kelas 3 SMK, waktu-waktu saya harus menyiapkan masuk ke perguruan tinggi. Meskipun dilarang, saya tetapi mencoba mengikuti SNMPTN yang merupakan "jalur undangan". Bapak saya menemukan formulir SNMPTN itu dan memarahi saya. Yah, pada akhirnya saya memang tidak lolos.

Karena kejadian itu, saya tidak mengikuti ujian UTBK karena takut dan itu membuat saya sedih. Harusnya saya bekerja setelah lulus dari SMK, tetapi saya tidak melakukan itu karena merasa malas dan marah karena saya tidak bisa mencoba ikut ujian masuk perguruan tinggi. Selain itu, karena memang belum mendapatkan pekerjaan yang pas.

Karena tidak juga mendapatkan pekerjaan, saya beranilah lagi untuk bilang bahwa saya ingin berkuliah. Saya katakan juga sebagian besar teman-teman saya berkuliah. Entah dapat hidayah dari mana, Bapak saya menyetujui itu. Saya masih penasaran sih kenapa pemikiran Bapak saya itu berubah.

Singkat cerita saya lolos kuliah di jurusan Sastra Indonesia. Saya memilih jurusan itu karena nilai UN saya sempurna alias 100. Tentu kepercayaan diri saya dalam bahasa dan sastra meningkat. Sebelumnya juga memang saya mulai tertarik dengan karya sastra setelah membaca beberapa buku dan ingin memperlajarinya. Akan saya ceritakan di lain waktu bagaimana literatur bisa menarik perhatian saya.

Sayangnya saya masuk di tahun Covid-19 melanda, lalu tatanan dunia pun berubah, termasuk masa ospek dan perkuliah yang menjadi daring. Hal itu sangat-sangat saya sayangkan karena tidak bisa merasakan sepenuhnya atmosfer kuliah. Pembelajarannya pun saya rasakan tidak maksimal. Selain itu, sulit sekali untuk dekat dengan teman-teman seangkatan. Masa itu berlangsung selama 2 tahun.

Perjalanannya tidak mudah. Saya kehilangan motivasi belajar sehingga rasanya tidak berguna melakukann semua ini. Meskipun begitu, pada akhirnya banyak hal yang membuka pikiran saya, apalagi jurusan saya jurusan sastra yang memang lebih banyak berdampak pada jiwa dan pemikiran kita. Semasa itu saya mulai bisa mengakses banyak hal, terutama buku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline