Lihat ke Halaman Asli

Irawaty Silalahi

Cerita yang semoga menginspirasi mereka yang membaca.

Beda Generasi, Beda Love Language-nya

Diperbarui: 11 Maret 2023   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak Gen Z, Mama Gen X/Dok pribadi

Kesenjangan antargenerasi kerap menimbulkan masalah dalam berkomunikasi. Biasanya, mereka yang lebih tua menganggap generasi di bawahnya, kurang sopan, tidak tahu aturan, tidak beretika, sok tahu, dan keanehan lainnya. Di sisi lain, mereka yang lebih belia, menganggap orang-orang yang lebih tua sebagai generasi kuno, ketinggalan zaman, nggak nyambung, kaku, kolot, banyak aturan, dan suka mengatur. Tentu saja, kesenjangan ini menciptakan ketegangan antargenerasi.

Ini bisa berlaku antara baby boomers (kelahiran 1946-1964), yang kebanyakan telah menjadi kakek-nenek, atau kakek-nenek wannabe, kepada gen X (kelahiran 1965-1976), selanjutnya antara gen X kepada gen Y (kelahiran 1977-1994), yang lebih fasih dengan kecanggihan teknologi, juga terhadap gen Z (kelahiran 1995-2010), dua generasi ini, Y dan Z, bahkan begitu meletek di dunia, jangankan telepon umum koin, telepon umum pakai kartu magnetik pun, sudah hilang dari peredaran (entah kenapa, saya membandingkannya dengan telepon umum).

Ketika menuliskan ini, pikiran saya menerawang ke masa lalu. Masa di mana, sewaktu sekolah, harus antri untuk pakai telepon umum koin, lalu agak jengkel ketika koinnya molos terus, tidak nyangkut di mesin telepon, sehingga tidak dapat membuat panggilan. Kesal, kalau ada yang berlama-lama di telepon umum, cekikikan, sementara yang antri banyak. 

Kemudian, telepon umum koin digantikan dengan telepon umum kartu magnetic. Lebih canggih. Lupakan koin yang molos. Kartu telepon umum ini bahkan setelah habis jatah pemakaiannya, layak disimpan, dijadikan barang koleksi.

Sampai akhirnya, lahirlah telepon genggam, yang awalnya segede batu bata, sampai seramping genggaman tangan. Inilah awal segalanya. 

Telepon pintar, dengan cepat merangsek ke dalam segala lini kehidupan. Mengubah keluarga, mengubah gaya hidup. Cara kita berkomunikasi berubah. Kita semua tenggelam dalam euphoria "menggenggam dunia".  Semua informasi dapat dengan mudah diakses. Kita asyik dengan telepon di tangan. Kalau bisa dikaretin, dikaretin, tuh telepon, supaya nempel terus. Begitu kira-kira, kalau mau dikomentarin judes dan sinis.

Percakapan lisan diganti tulisan, yang tentu saja, minim rasa. Intonasi lawan bicara dalam percakapan lisan, tidak terwakili dengan baik dalam percakapan tulisan. Sebaliknya, salah menterjemahkan rasa bahasa tulisan, kerap terjadi dalam percakapan melalui aplikasi yang ada.

Suatu kali, seorang rekan kerja dari gen Z sedikit protes kepada saya, yang termasuk bilangan gen X. Begini kira-kira katanya: "Mbak, kalau bales WA, dipanjangin, dong. Jangan pendek-pendek. Karena, kesannya, marah, jutek gitu ... "

Maksudnya seperti ini: kadang, saya menjawab teks dengan: OK, saja.  Atau: Iya. Ternyata, jawaban singkat seperti itu, dirasa judes. Sementara saya merasa tidak ada sesuatu yang salah, dan tidak bermaksud jutek atau judes. Merespons teks yang dikirim, dan menyetujuinya saja. 

"Lalu, jawaban seperti apa harusnya," saya balik tanya. Dia kasih pencerahan: "Dipanjangin, Mbak, kayak gini: Okeeeee ... atau iyaaaa ...."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline