Lihat ke Halaman Asli

Irawaty Silalahi

Cerita yang semoga menginspirasi mereka yang membaca.

Ayat, Ayam, Taksi dan Hujan

Diperbarui: 15 April 2020   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419460755789053553

Ada beberapa hal dari masa kecil  yang saya ingat setiap memperingati Natal.

Di antaranya adalah : sebagai anak Sekolah Minggu yang membaca ayat hafalan di depan jemaat, ayam pedas Mama, taksi, dan hujan.

Tradisi anak Sekolah Minggu membaca ayat hafalan sepertinya sudah tidak ada lagi. Barangkali. Saya tidak tahu persis, karena paling tidak setelah saya remaja sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat ritual itu setiap kali perayaan Natal. Sekarang serangkaian kegiatan perayaan Natal diselenggarakan dengan cara lebih meriah dan kreatif.

Ayam pedas Mama rasanya sih, masih hadir tiap perayaan Natal dan tahun baru, hanya saja, sayangnya saya jarang sekali pulang saat Natal, karena satu hal lain dan sebagainya yang sangat saya sesalkan.

Taksi

Hal lain yang saya  ingat ketika malam Natal adalah taksi. Iya, Taksi. Dalam pasang surut hidup kami, ada masa di mana kami tidak punya kendaraan... dan saya ingat bagaimana kami harus menunggu taksi seusai ibadah malam Natal. Ramainya umat yang menunggu taksi membuat kami harus gercep alias gerak cepat untuk mendapatkan taksi. Saya sering curi-curi pandang melihat ke arah Mama. Ada perasaan nggak tega dalam hati melihat Mama yang sangat perempuan harus agak sedikit berlari-lari mengejar taksi bersama kami. Apalagi Mama agak berat badannya (menghindari kata gemuk yang dibenci oleh perempuan berapa pun usianya). Kenangan romantis yang melankolis.

Hujan.

Nah, untuk yang satu ini, memang selalu melekat dalam benak saya, karena biasanya seingat saya, ibadat malam Natal hampir bisa dipastikan diguyur hujan (tapi belakangan malah kering kerontang cenderung hareudang.. perubahan cuaca yang aneh).

Dan ingatan yang muncul setiap kali saya pergi untuk mengikuti ibadat malam Natal adalah gambaran anak perempuan kecil pakai rok putih berkaus kaki digendong di punggung Bapaknya, supaya baju dan sepatunya tidak kotor kena tanah yang becek karena hujan. Sungguh sebuah ingatan yang manis dan melankolis setiap malam tanggal 24 Desember.

Hubungan saya dan Bapak saya terbilang tidak terlalu dekat dalam artian bahwa Bapak bukanlah bapak yang ekspresif yang lugas mengekspresikan kasih sayangnya dalam kedekatan dengan anak-anaknya. Entah kenapa. Mungkin karena wibawa Bataknya .. atau ya, barangkali karakter Bapak yang kaku. Namun demikian, saya tahu, bapak punya kepedulian dan sayang tersendiri terhadap anak-anaknya yang tidak diungkapkan secara ekspresif seperti bapak-bapak muda jaman sekarang yang hangat dan akrab dengan anak-anaknya. Bapak tidak begitu.

Dan sepertinya, itu adalah terakhir kalinya Bapak menggendong saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline