Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Ada Tapi Tak Ada (Seri Diskusi Mblarah #19)

Diperbarui: 26 Januari 2025   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tapi tak Ada foto Dokpri Eko Irawan untuk Seri Diskusi Mblarah #19 Januari 2025

Ada Tapi Tak Ada
(Seri Diskusi Mblarah #19)
Ditulis oleh : Eko Irawan

Keberadaan angkutan Publik ber-ongkos murah adalah sebuah Keniscayaan. Hal tersebut tetap dibutuhkan oleh masyarakat dan khalayak umum. Apakah sekarang angkot atau apapun istilahnya itu, sudah tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat ? Apakah sekarang sudah terjadi Krisis Transportasi Publik ? Dari sisi mana melihat krisis kebutuhan Transportasi Publik dapat dikaji ? Apakah masyarakat sekarang secara ekonomi sudah dianggap kaya dan memiliki kendaraan transportasi pribadi sehingga tidak butuh transportasi publik ber-ongkos murah ? Apa karena sudah ada ojek online? Atau Karena apa ya ? Yuk Diskusi Mblarah membahas Krisis Transportasi Publik, dibilang Ada tapi Tak Ada. selamat membaca semoga menginspirasi.

Menunggu Angkot

Karena suatu hal terpaksa harus pulang pergi naik angkot. Menunggu angkot lewat serasa lama banget. Ada tapi tidak Ada, seperti itulah kondisi transportasi publik dari arah blimbing menuju tumpang kabupaten Malang atau sebaliknya. Harus sabar menunggu hingga datang. Angkot itu Relatif, harus bisa lihat jam operasionalnya. Yang ada banyak adalah  saat jam datang dan pulang anak anak sekolah. Diluar itu ya ada, tapi silahkan sabar menunggu. Ketemunya untung untungan.

Kalau tergesa lebih baik pesan ojek online. Kenapa memilih angkot jalur mikrolet? Tentu juga harus menghitung isi dompet. Kalau buat bayar ongkos angkot juga kurang, ya harus bagaimana lagi. Terpaksa jalan kaki sambil nunggu siapa tahu ada kenalan bisa nunut. Kalau ketemu nunutan ya lumayan. Kenapa saya nulis demikian ? Ini sebuah pengalaman pribadi dan memang pernah mengalaminya sendiri. Untuk ongkos angkot yang sebenarnya terjangkau, jika memang lagi bokek, maka jarak 18 sd 20 km itu harus jalan kaki.

Apalagi kemalaman di jalan, tambah sulit lagi temukan transportasi publik. Bersyukurlah yang bisa diangkut angkot sampai tujuan. Kadang separuh perjalanan dipaksa dioper ke mikrolet lain dengan alasan ada kepentingan lain. Ketir ketik khawatir jika kita seorang diri yang naik angkot. Sudah harus rela ngikut sopir nge-time di gang gang tertentu untuk nunggu kemunculan penumpang yang lain, kita jika harus siap dioper ke unit lainnya.

Curhat sang Supir

"Sepi pak". Itu statement sang supir angkot. Tentu beliau menghitung biaya bensin, nilai setoran jika angkotnya milik boss juragan mikrolet dan ongkos makan minum sang supir sendiri. Itu belum termasuk jika sang sopir punya keluarga yang harus dihidupi setiap hari. Jika dihitung pemasukan dan pengeluaran yang tak seimbang, masak harus dipaksakan. Tekor dan rugi dong.

Di tahun 2000an masih bisa dijumpai sopir muda usia, namun 20 tahun kemudian, yaitu ditahun 2020an pekerjaan sopir angkot mikrolet sudah tidak menarik minat para muda. Yang dapat dijumpai adalah bapak bapak yang tak muda lagi yang masih menekuni profesi tersebut. Meskipun ada yang muda, tapi tidak semayoritas 20 tahun lalu. Ini pengamatan Mblarah tentang dunia transportasi publik yang diamati diseputar tumpang.

Malah mikrolet dari tumpang ke terminal Madyopuro Malang malah semakin langka. Adanya hanya saat pulang pergi Anak anak sekolah saja. Habis magrib malah seolah jalur ini tidak dilewati mikrolet.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline