Monggo Nang Njago Simbul Kerukunan Warga (Seri Berwisata ke Desa Aja #11)
Ditulis oleh : eko irawan
Jaman dahulu ada istilah orang udik. Sebuah sebutan yang menurut Wikipedia dimaknai sebagai orang desa yang bertempat tinggal jauh dari keramaian kota; orang dusun; orang yang bertempat tinggal di hulu sungai dan secara kiasan sebutan orang udik adalah untuk menggambarkan profil orang yang kurang tahu sopan santun; orang bodoh atau sebutan terhadap sekumpulan orang yang tinggal jauh dari kemajuan dan tehnologi alias ketinggalan Jaman. Orang orang ini dianggap tidak mampu berinovasi dan memiliki kemampuan dan integritas yang layak diapresiasi. Tapi benarkah seperti itu sekarang ?
Perkembangan SDM dan tehnologi terkini ternyata telah merubah paradigma orang udik yang dahulu dinilai ketinggalan jaman, sekarang telah berubah menjadi Inovator keren dari sebuah dusun yang memiliki gagasan nyata. Monggo Nang Njago yang digagas warga RW.X Dusun Njago Desa Tumpang Kabupaten Malang menjawab itu semua dengan sangat gamblang.
Apa yang ada di desa dan tetap tumbuh lestari sebagai adat istiadat berbasis budaya, sekarang justru jadi modal membangun inovasi yang tidak dimiliki oleh warga yang tinggal diperkotaan. Kerukunan Warga adalah Asset mahal yang mampu menumbuhkan gotong royong, kerja bakti, tolong menolong, saling bantu membantu menuju musyawarah mufakat yang demokratis berbasis kerukunan warga.
Jangankan kerja bakti, diperkotaan orang yang tinggal bersebelahan rumah di suatu komplek perumahan yang sama saja ternyata tidak saling kenal. Warga perkotaan sangat egois, seolah hidup sendiri sendiri. Bagaimana bisa rukun, jika saling kenal saja tidak. Seharusnya perkotaan justru lebih maju tanpa meninggalkan budaya asli Nusantara berupa guyub rukun yang memberikan nuansa asli Indonesia. Lantas Bagaimana bisa membuat inovasi kampung, jika tidak ada unsur kerukunan ?
Bagaimana cerita kerukunan Warga di dusun Njago mampu mewujudkan Monggo Nang Njago sebagai pusat destinasi wisata UMKM berbasis masyarakat ? Mari kita kupas bersama. Selamat membaca semoga menginspirasi.
Destinasi Wisata UMKM di Dusun Njago
Inovasi destinasi wisata berbasis kampung memang banyak digagas di sekitar wilayah Malang Raya. Gagasan yang diangkat adalah potensi yang dimiliki oleh warga setempat. Berbagai acara yang bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat ini terus digiatkan dengan tajuk berbeda beda, ada yang menggelar festival UMKM, giat festival dolanan anak anak, model festival tempo dulu, festival seni budaya dan musik serta aneka rupa giat berbasis destinasi kampung. Rata rata giat dimaksud digelar setahun sekali. Monggo Nang Njago malah menjadi giat pasar UMKM tiap Minggu pagi. Hal tersebut sangat dirindukan dan dinantikan oleh warga setempat. Kapan lagi jalin kerukunan, setelah sepekan sibuk diluar kampung. Saatnya ada inovasi dari warga, oleh warga dan untuk warga yang notabene harus memberi manfaat yang berkelanjutan.
Dengan kerukunan warga, apapun bisa diwujudkan. Destinasi wisata UMKM Monggo Nang Njago layak diapresiasi dengan aneka wujud gagasan yang terus tumbuh. Monggo Nang Njago semakin mempererat kerukunan warga setempat, yang sehari hari hidup bertetangga dalam sebuah kampung.
Bagaimana dengan kampungmu ? Yang bilang tidak bisa, pesimis dan sulit, pasti dikampung yang bersangkutan kurang ada komunikasi antar warga. Semua seolah jalan sendiri sendiri bahkan tidak saling kenal. Tak perlu forum resmi pakai undangan dari pejabat, cukup jagongan ngopi bareng. Siapa bilang forum informal ini tidak efektif ? Di kampung memang tak perlu teori ndakik ndakik. Buat apa teori selangit dengan bahasa yang tidak dipahami warga kampung, jika endingnya zonk besar dan omong doang. Semua kampung punya potensi. Acara jagong ngopi bareng adalah forum temu kenali untuk inventarisasi. Apa yang bisa dilakukan kerjakan, tak perlu menunggu dan hanya menunggu. Jika hanya mampu menunggu, kapan akan ada upaya rintisan ? Kapan realisasinya ?
Jika inovasi hanya menunggu bantuan dari pemerintah, tanpa ada gerakan rintisan bersifat mandiri ber keswadayaan, maka tambah sulit menggagas sebuah inovasi. Sikap kurang peduli pada kampung sendiri, adalah Model menunggu perintah alias disuruh pihak lain baru Sudi dikerjakan. Padahal bantuan pemerintah bersifat pancingan atau stimulan agar bangkit keswadayaan mandiri dari warga setempat. Jika perspektif warga hanya menunggu proyek yang ada anggarannya, maka empati dan kepedulian sosial lama lama akan lumpuh. Terus kapan akan maju sebuah daerah hingga sanggup punya inovasi brilian?