Lihat ke Halaman Asli

Eko Irawan

Pegiat Sejarah, Sastra, Budaya dan Literasi

Diksi itu Rasa Bahasa (Seri Diksi Bicara #1)

Diperbarui: 2 Januari 2024   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri Eko Irawan untuk seri Diksi Bicara #1 foto karya Apry Aje

Puisi : Diksi itu Rasa Bahasa
(Seri Diksi Bicara #1)
Ditulis oleh : eko irawan

Mulutmu Harimaumu. Kata lebih tajam dari pisau sembilu. Awal mula dibenci atau   dipuja rindu. Mampu menghibur atau mengharu biru.

Kata didengar, suara yang terucap. Disadap rasa, jadi sebuah sikap. Diabaikan atau dianggap. Setelahnya, bisa gelap atau gemerlap.

Hati hati dengan diksi. Dari diksi menoreh janji. Diksi untuk semua, tak khusus penulis puisi. Dewasalah berucap, bijak memilih diksi.

Tak sekedar bicara, tapi ada rasa bahasa. Cermin diri dalam kepantasan berbudaya. Jadi cap pribadi dari kemuliaan bicara. Cermin kehalusan rasa, nampak dalam kesantunan menulis atau berbahasa.

Diksi Bicara. Salah pilih kata, Bisa beda makna. Diksi itu rasa bahasa  Tiap kata punya cerita. Gunakan kata dengan bijaksana, cermin pribadi mulia.

De Huize Sustaination, 2 Januari 2024
Ditulis untuk Seri Diksi Bicara 1

Catatan kaki

Urgensi Berbicara Disertai Rasa Bahasa diulas oleh Bapak Prof. Dwi Cahyono, sejarawan dan Budayawan dari Universitas  negeri malang dengan kutipan sbb :
Pilihan kata (diksi) menjadi penting artinya terkait dengan "kepantasan" suatu kata untuk digunakan, baik di dalam bahasa ujaran (lisan) ataupun dalam bahasa tulis. Pada bahasa Jawa, kepantasan dalam hal "pilihan kata" menjadi sesuatu yang mendapat perhatian seksama dalam berbicara, agar orang tak "terpeleset bicara (kepleset ngomong)". Ketepatan dalam pilihan kata itu menjadi prasyarat pada apa yang diucapkan dalam kalimat dengan makna "ajining wicoro (kemuliaan bicara)". Kendati yang berbicara adalah orang mulia (priyayi), namun bila dalam pembicaran kurang bisa mengedalikan lidah (lathi), maka yang bersangkutan tidak hadir sebagai orang mulia (ra mbejaji).

Bila orang berbicara tanpa "dugo kiro-kiro", maka ia adalah seseorang yang "ra dedugo". Ia tak berbicara dengan rasa bahasa yang mulia. Unggah-ungguh berbahasa adalah perihal penting untuk mendapat perhatian, mengingat bahwa ada pepatah berbunyi  "ajining priyayi saka lathi (keberhargaan orang dari bicaranya)". Orang yang berbicara tanpa memper- hatikan rasa bahasa mengindikatori bahwa dirinya adalah bebal rasa. Kehalusan berbahasa menjadi  cermin kehalusan rasa, dan sekaligus merupakan ekspresi kesantunan dalam berbicara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline