Lihat ke Halaman Asli

Guardian Angel (Bagian I)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku ingin menggandeng tangamu,
di saat aku ragu..
Aku ingin lari ke dalam dekapanmu,
di saat aku takut..
Aku ingin membaca peristiwa,
diantara helai rambutmu yang memutih..
Aku ingin memahami hidup,
di setiap kerut wajahmu..

“Gi, ayo cepat!.. lelet banget sih..” papar Wahyu sembari berlari di depan Egi. Waktu itu masih jam istirahat sekolah. Suasana angin laut di sore hari yang segar. Deru ombak menggelegar. Sepertinya masih belum mampu mengusik keasyikan mereka. Dua bocah kelas 3 SD tampak lucu saat mengejar angin. Dengan seragam putih-merahnya dan sepatu kets, langkah-langkah kecil mereka berlari menyusuri bebatuan menuju bibir pantai..
“Wahyu!.. tunggu!..” sedikit terengah-engah, Egi mencoba mengejar Wahyu. “Bahaya tau! Berlari ditempat kayak gini!..” sahut Egi di sela-sela nafasnya.
Wahyu.. lo masih ingat awal persahabatan kita?
Bagaimana bu Jovanca meminta gw buat jadi teman lo?
Saat gw pertama kali ngeliat lo, gw tau klo lo berbeda dari yg lain
Tapi.. gw sama sekali belum punya keberanian..
Gw cuma bisa melihat lo dari jauh..
Ga punya keberanian buat mendekati lo..
“Anak-anak, sekarang kita tinggal di planet apa?” tanya Ibu Jovanca di depan kelas. Matanya tertuju pada gambar lintasan planet yang ada di papan tulis.
“Planet bumi, bu..” jawab anak-anak secara bersama-sama.
“Benar. Setiap planet beredar mengitari bintang yang disebut matahari” lanjut bu Jovanca kemudian.
Tiba-tiba, pintu ruangan kelas di ketuk. Ada bu Mirna yang telah berdiri bersama seoarang siswi.
“Maaf, permisi Bu, ini ada murid pindahan baru dan ini datanya..” sahutnya.
“O.. yg dari Semarang itu ya?, Terimakasih ya bu Mirna..” balas bu Jovanca.
Gadis itu berambut cukup panjang terurai. Cantik, dengan mata yang sedikit sipit.
“Anak-anak, ini ada murid baru, pindahan dari Semarang. Nanti kita minta dia memperkenalkan diri ya..” bu Jovanca memproklamirkan kedatangan siswi baru tersebut.
“Sekarang, kamu duduk dulu di bangku kosong itu ya.. “ bu Jovanca menunjuk bangku di depan Wahyu.
“Baiklalah anak-anak, selain bintang, ada juga yang disebut komet..” bu Jovanca melanjutkan pembahasannya.
Siswi itu berjalan perlahan kearah tempat duduknya. Beberapa langkah menuju bangkunya, dia berhenti melihat Wahyu. Wahyu tiba-tiba memamerkan muka terjeleknya dengan menarik kedua pipi dan menjulurkan lidahnya.
Sesaat kemudian siswi tersebut kembali berjalan menuju kursinya. Mukanya cukup kesal menerima perlakuan Wahyu.
“Setiap saat, komet bisa melewati matahari. Kadang-kadang, orang menyebutnya ‘bintang jatuh’..” lanjut bu Jovanka. “Banyak orang yang percaya, saat melihat bintang jatuh adalah saat yang paling tepat untuk meminta sesuatu..”
“Gi, kamu pernah ke Semarang ga?..” tiba-tiba Wahyu berkata setengah berbisik.
“Shh…” jawab Egi sembari memberi isyarat diam kepada Wahyu.
Merasa di cuekin, Wahyu akhirnya mengambil gunting dari dalam laci mejanya. Sedikit ‘terusik’ dan penasaran dengan rambut siswi baru, Wahyu tiba- tiba memotong beberapa helai rambutnya.
“Wahyu.. apa yang kamu lakukan!” spontan Egi bereaksi melihat apa yang dilakukan Shane sembari mengambil gunting dari tangannya.
“Egi, Wahyu! Kalian berdua, maju ke depan!..” perintah bu Jovanca setengah berteriak memanggil kedua orang tersebut.
Sang siswi hanya terdiam dan memungut helaian rambutnya yang telah terpotong.
Raut sedih terbayang diwajahnya.
Mata pelajaran berikutnya adalah Kesenian. Tapi, sebagai hukuman bagi Wahyu, dia beserta kursi dan mejanya di bawa keluar lapangan dan duduk disana sendirian. Sementara anak-anak lainnya berlatih menyanyi, Wahyu hanya terdiam duduk di tengah lapangan.
Beberapa kali, Egi sempat menolehkan kepalanya keluar saat latihan menyanyi berlangsung, merasa tidak tenang. Kasihan Wahyu, pikirnya dalam hati
Raut kesal namun pasrah tergambar di wajah Wahyu. Wajahnya berpangku pada kedua lengan, mendengar sayup-sayup latihan teman-temannya yang sedang berlatih menyanyi. Seekor capung hinggap tepat dihadapannya, dengan malas Wahyu meniup capung tersebut agar berlalu dari pandangannya.
Tak pelak lagi, kasus ini pun ramai diperbincangkan oleh para guru. ibu Stella selaku orangtuanya Wahyu dipanggil bu Jovanca untuk mendiskusikan masalah ini saat jam istirahat berlangsung.
“Maaf bu, saya benar-benar minta maaf atas kenakalan anak saya..” papar ibu Stella.
“Anak itu mulai bermasalah sejak ayahnya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Sejak saat itu, tidak ada orang yang bisa mendekatinya..” lanjutnya kemudian.
Bebarapa waktu yang lalu, saya juga telah berdiskusi dengan para dokter dan psikolog anak. Mereka menyarankan, agar dia banyak diikutsertakan bergabung bersama siswa yang lainnya. Itu akan membantu mengubah mental dan kebiasaan lamanya..”
“Baiklah, saya akan mencoba saran dari ibu. Saya harap, Wahyu tidak akan membuat masalah lagi setelah ini..” sahut bu Jovanca.
“Tolong bu, saya benar-benar minta bantuan dari ibu dan pihak sekolah..” balas ibu Stella.
“Sama-sama, saya juga minta ibu lebih banyak meluangkan waktu untuk Wahyu di rumah..” sahut bu Jovanca. “Baiklah bu, klo begitu, saya permisi dulu..” pamit ibu Stella.
“O,ya.. terimakasih banyak bu atas kedatangannya..” kata bu Jovanca akhirnya.
Tidak beberapa lama kemudian, bu Jovanca meminta salah seorang murid untuk memanggil Egi, sang ketua kelas. Berbeda dari sang pembuat onar, Wahyu, Egi adalah siswa yang termasuk pintar dikelasnya. Makanya ga heran, ketika dia ditunjuk oleh bu Jovanca sabagai ketua kelas.
“Permisi bu, ibu memanggil saya?..” sapa Egi saat berdiri di depan pintu.
“O,iya Gi.. ayo masuk..” ajak bu Jovanca ke dalam ruangan guru.
“Begini Gi, ibu mau minta bantuan kamu.. Selama ini, kamu termasuk salah satu murid yang terbaik di kelas. Dan Wahyu.. Ibu mau kamu menjadi Guardian Angel buat dia..”
“Guardian Angel?..” sentak Egi sedikit bingung. “Iya, kamu suka sekali dengan film itu kan?..” papar bu Jovanca sambil tersenyum. “Maksud ibu, ibu ingin saya menjadi guardian angel buat Wahyu? Jadi teman dan penjaganya?..” ulang Egi setengah tak percaya.
“Iya, ibu yakin, klo Wahyu bisa berteman baik dengan kamu, dia bisa berubah jadi anak baik dan tidak nakal lagi.. Sama seperti kamu sekarang” jelas bu Jovanca.
Egi terdiam. Dia memang sangat ingin berbuat sesuatu untuk Wahyu. Tapi dia tidak yakin, apa dia bisa memenuhi harapan dari bu Jovanca.
“Gi, kamu mau kan membantu ibu?..” suara bu Jovanca mengusik Egi dari lamunan. Dia mengangguk walaupun merasa sedikit ragu.
Setiba di kelas, pelajaran bahasa Indonesia telah di mulai. Teman-temannya terlihat khusuk membaca buku dengan suara koor yang cukup padu.

Setiap kali aku menghadapi suatu tantangan
Dan merasa terkalahkan, temanku akan selalu mengingatkanku
Kemudian dia datang kepadaku dan berkata, “katakan kepadaku, apa masalahmu?”
“Biarkan aku membantumu”.
Setiap kali aku mendengar ini, keberanianku akan bangkit kembali.
Rasa takutku pun hilang. Begitu pula dengan kekalahanku.

Egi segera duduk kembali ke bangkunya. Mengambil buku pelajaran dari dalam tasnya. Lalu ikut membaca bersama teman-temannya. Sementara itu, Wahyu tampak cuek dan sibuk dengan urusannya sendiri. Bahkan buku pelajaranpun tidak dibawanya. Kembali, Wahyu berusaha melancarkan aksi nakalnya. Mengambil karet gelang dari tas lalu menariknya, siap membidik ke seorang murid. Segera, Egi mengambil karet tersebut. Lalu, dia memindahkan bukunya ke tengah agar Wahyu bisa ikut membaca bersama-sama.

Walaupun sangat susah, aku tidak akan menyerah.
Kata-katanya akan menjadi sekuat pundaknya.

Pelajaran berikutnya adalah menggambar dan mewarnai. Setiap anak diharuskan membentuk suatu kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Mereka diminta menggambar objek tertentu lalu mewarnainya secara bersama-sama. Wahyu tampak sibuk bertanya kepada setiap kelompok apakah dia boleh ikut bergabung. Sayangnya, tidak ada satupun kelompok yang mau menerimanya. Setiap siswa yakin, Wahyu hanya akan menjadi pengacau bila mereka mengajaknya bergabung dengan kelompoknya.
“Lho, Wahyu kenapa kamu tidak bergabung dengan kelompokmu?” Tanya bu Jovanca. “E.. saya belum punya kelompok bu..” jawabnya pasrah. “Anak-anak, apa ada yang mau mengajak Wahyu bergabung dengan kelompoknya?..” Tanya bu Jovanca. Setiap murid tampak cuek dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Saya Bu, saya bersedia mengajak Wahyu ikut dalam kelompok saya..” tiba-tiba Egi spontan menawarkan diri. “Baiklah Wahyu, klo begitu, kamu bergabung bersama Egi ya”, lanjut bu Jovanca.
Waktunya untuk pulang. Egi segera berjalan menyusuri jalan menuju rumahnya. Tiba-tiba ditengah perjalanan, seseorang yang tengah berlari mengejarnya dari belakang dan tepat berhenti di hadapannya.
“Gi, mulai sekarang, kamu adalah teman baik saya!..” papar Wahyu tiba-tiba dengan nafas sedikit terburu. Kemudian dia berlari kembali meninggalkan Egi. Sementara itu, Egi hanya bisa termenung mendengar pengakuan Wahyu.
Esoknya, ibu guru membagikan hasil ulangan minggu lalu. Beberapa orang murid yang mendapat nilai dibawah 80 diperintahkan untuk maju di depan kelas. Bu Jovanca memberi tanda dengan spidol hitam diatas dahi-dahi mereka sesuai dengan nilai yang mereka peroleh. Kali ini, Wahyu hanya memperoleh nilai 33.
“Egi, 67!” panggil bu Jovanca. Egi beranjak dari bangkunya dan mengambil kertas ulangan dari tangan bu Jovanca.
“Sebagai ketua kelas yang mengatur teman-teman kamu, harusnya kamu bisa lebih baik Gi!” bu Jovanca tampak kecewa dengan hasil ulangan Egi.
“Dengar anak-anak, ibu sama sekali tidak bermaksud untuk menghukum kalian. Tapi, dengan hasil ujian yang seperti ini, ibu sangat kecewa dengan kalian. Berulangkali ibu menyuruh kalian untuk membaca dan mempelajari bahan-bahan yang ibu berikan. Ibu juga bilang kan, kalian harus bertanya jika ada yang belum kalian mengerti..” jelas bu Jovanca panjang lebar.
Tidak beberapa lama kemudian, jam istirahat pun berbunyi. Kali ini, Egi dan Wahyu bermain di taman belakang tempat biasa mereka melepaskan penat mereka setelah belajar di kelas. Sejak kejadian bebrapa hari yang lalu, mereka tampak dekat dan sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sekedar untuk bermain atau istirahat sambil tidur-tiduran smbari menikmati sejuknya angin sore dari tepi pantai.
“Gi, kamu tau ga, kalo nilai kamu dan aku dijumlahkan, kita pasti bisa jadi orang yang berhasil!” kata Wahyu penuh yakin. Matanya jauh menatap kearah langit. Egi hanya memejamkan matanya. Kemudian tersenyum yakin.
Sejak saat itu Yu, gw ga pernah berhenti untuk berharap
Jika dulu, gw menolak dan mengatakan ‘tidak’ pada tawaran dari bu Jovanca,
Gw ga tau, akan jadi seperti apa diri gw..
Akankah gw bisa bangkit ketika gw jatuh, atau jutru gw akan semakin terpuruk?
Waktu berlalu demikian cepat. Tanpa terasa, persahabatan mereka telah terjalani selama 9 tahun. Waktu yang cukup lama. Saat ini, mereka telah sama-sama duduk di kelas tiga SMA. Satu sekolah, dan satu kelas. Shubuh menjelang pagi yang cukup cerah saat Egi setengah tergesa bersiap-siap dengan seragamnya.
“Egi, Egi!.. Egi, Egi!..” teriak Wahyu dari arah luar rumah dengan mengendarai sepedanya. “Iya, sebentar!..” jawab Egi terburu-buru mengambil tas dan memasang sepatunya.
“Gi! Cepat!.. Lo tau kan, jam pertama pelajarannya bu Siska, kita ga boleh terlambat klo ga mau dihukum!..” teriak Wahyu masih dari luar.
Egi bergegas keluar rumah. “Iya, iya cerewet! Lo tau ga, suara lo tu bisa ngebangunin orang-orang satu RT!” sahut Egi dengan nada kesal.
Akhirnya, kedua anak itu berboncengan menuju sekolah yang cukup jauh letaknya. Tapi, penduduk di daerah ini cukup familiar dengan menggunakan sepeda sebagai kendaraan. Selain sehat, kita juga bisa lebih menikmati kesegaran alam di pagi hari.
Wahyu, tampil menjadi sosok atlet yang sangat aktif. Sebagaian besar waktu luangnya digunakan untuk bermain basket di lapangan. Ga salah, klo badannya tumbuh demikian bagus bahkan ketika latihan, banyak siswi yang sengaja meluangkan waktu untuk menontonnya. Sedangkan Egi, hampir tidak berubah dengan sifatnya yang dulu. Sebagian besar waktu luangnya di sekolah digunakan untuk membaca buku di perpustakaan. Hanya akhir-akhir ini, Egi sering diminta oleh Wahyu untuk melihat aksinya di lapangan. Maklum, dalam dua minggu kedepan, tim basket dari sekolahnya akan bertanding dalam final kejuaran basket antar sekolah.
Egi mengamati permainan sahabatnya dari tepi lapangan. Bersama para penonton yang sebagian besar adalah para siswi dan memberi semangat pada Wahyu. Wahyu tampak dominan diantara teman-temannya. Beberapa kali bolanya selalu berhasil merasuk ke dalam ring. Sampai beberapa saat kemudian, Wahyu tiba-tiba merasa kehilangan karena tidak berhasil menemukan Jonathan di pinggir lapangan.
Setelah usai bermain, Wahyu segera bergegas keluar lapangan mencari Egi. Dia menemukan Egi sedang menikmati minuman softdrink di wastafel tempat untuk minum dan mencuci muka.
“Oh, lo disini..” sahut Wahyu sembari membuka keran dan menyiramkan air untuk mendinginkan mukanya. Egi tampak sedikit cuek, asyik dengan minumannya.
“Lo kenapa sih, kayak orang stres gitu?..” Tanya Wahyu penasaran.
“Ga pa pa, Cuma ngerasa bosan aja, pengen jalan-jalan..” jawab Egi.
“Lo tau ga, gara-gara lo tadi pergi, permainan gw jadi jelek banget..” papar Wahyu sembari merebut minuman dari tangan Egi dan mereguknya,
“Kenapa sih, harus selalu ada gw?.. gw ga harus jadi baby sitter lo kan?” balas Egi sewot sembari merebut kembali minumannya dari tangan Wahyu. Tiba-tiba, Wahyu memercikkan air dari wastafel ke arah badan Egi..
“Eh, lo apa-apaan sih, basah tau..” sahut Egi seraya tangannya bergerak menutup keran wastafel.
Wahyu segera menarik kepala Egi ke tubuhnya, mengajak untuk bergulat. Tiba-tiba bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Egi mencoba memberontak saat kepalanya didekap tangan Wahyu.
“Yu, lo apa-apaan sih?..” tangannya mencoba menggapai-gapai untuk melepaskan diri. “Udah, lo ikut aja, ayo kita masuk..” Wahyu menyeret kepala Egi dengan lengannya. Wajahnya merasa puas dan tersenyum lebar. Otomatis, minuman yang berada di tangan Egi jatuh dan tumpah ke lantai.
Senin berikutnya, seperti biasa murid-murid diwajibkan untuk mengikuti upacara bendera. Semua anak-anak dibariskan menurut kelas masing.
“Baiklah anak-anak, sebelum bapak mulai pidatonya hari ini, ada pengumuman yang bapak ingin sampaikan..” seru pak Setyo selaku kepala sekolah saat membuka pidatonya.
“Gevita, dari kelas 3B, tolong maju ke depan!..” perintah pak Setyo melalui pengeras suara. Tak ada seorang siwapun yang beranjak dari tempatnya.
“Gevita!..” ulang pak Setyo dengan suara yang lebih keras.
Seorang siswi, dengan rambut panjang tergerai maju ke depan. Menuju tempat berdirinya pak Setyo.
“Anak-anak, coba perhatikan dia.. Ada yang tau, kenapa bapak memanggil dia kedepan?..” Tanya pak Setyo, Suasana hening, semua mata tertuju pada Gevita.
“Baiklah, bapak yang akan menegaskannya kembali pada kalian.. Coba liat rambutnya!.. pak Setyo mengambil beberapa helai rambut Vita yang cukup panjang. “Sebagai siswa/i kelas 3, harusnya bisa menjadi contoh bagi siswa lainnya! Sebagai kepala sekolah, bapak akan bertindak tegas terhadap semua pelanggaran yang terjadi. Tanpa peduli siapapun dia, sekecil apapun itu! Termasuk dalam hal rambut dan cara berpakaian!..” jelas pak Setyo panjang lebar. Beliau lalu mengambil gunting. Mengambil beberapa helai rambut Vita dan memotongnya.
Suasana pun berubah menjadi gaduh. Vita hanya bisa diam, memendam gejolak perasaannya di dalam hati. Matanya merah, menahan sedih, merasa dipermalukan di hadapan semua siswa.
“Diam!.. tenang semuanya!.. “ bentak pak Setyo keras. “Bapak harap, kalian dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini!..” lanjut pak Setyo.
“Gevita, kamu boleh kembali ke tempatmu!..”
Segera setelah bel istirahat berbunyi, Egi menuju kelas Vita dan mengajaknya ke belakang sekolah. Berbekal gunting, sisir, dan koran dari penjaga sekolah, Egi mencoba merapikan potongan rambut Vita.
“Udahlah Vit, ga perlu terlalu dipikirin, rambut lo pasti bakal tumbuh lagi, dan lo bisa tampil cantik seperti dulu..” hibur Egi. Tangannya masih terus menjelajahi rambut-rambut yang ada di kepala Vita.
Egi lalu mencoba merapikan rambut di dekat laher Vita. Saat itulah, kedua bibir mereka berada pada jarak horizontal yg cukup dekat. Hampir bersentuhan. Namun, seakan tidak peduli akan hal itu, Egi justru sibuk dengan pekerjaannya.
“Umm.. Gi, lo mau nemenin gw ga, hari ini setelah pulang sekolah? kita pergi ke Semarang..” papar Vita akhirnya. “Semarang?” tanya Egi sembari menatap wajah Vita lekat-lekat.

Bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline