Pengendalian nyamuk Anopheles penular malaria sudah jamak dilakukan dengan berbagai metode, apakah sudah tuntas?. Tahun 2016 menuju tahun 2017 peta sebaran malaria di Asia-Afrika-sebagian benua Amerika masih berwarna merah (Malaria map). Bermula tahun 50an penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) sebagai zat aktif untuk metode pengendalian malaria utama yang digunakan selama Kampanye Pemberantasan Malaria Global saat itu dirasakan dampak positif dengan menurunnya populasi nyamuk. Ahli Kimia Swiss Paul Hermann Müller mendapatkan penghargaan nobel atas penemuan DDT yang ampuh melawan serangga. Penggunaan DDT berkembang pesat setelah perang dunia kedua, tetapi konsekuensi ekologis belum begitu dirasakan. Tahun 1950, ilmuan telah mempelajari bahwa DDT akantetap bertahan dalam lingkungan dan ditransportasi oleh air menuju area yang lebih jauh dari tempat pemakaiannya. Dampak yang pertamakali dirasakan pada tahun 1950 adalah penurunan populasi burung pelikan, elangtiram, dan elang,burung-burung tersebut merupakan puncak dari jaring makanan(Wikipedia).
Berjalannya riset tentang pengendalian nyamuk ditemukanlah Bacillusthuringiensis ataudikenal dengan istilah BT. Menurut laporan WHO pada tahun 1999, sebanyak 13.000 ton produk B.Thuringiensis diproduksi setiap tahunnya melalui teknologi fermentasi aerobik. Sebagian besar produk tersebut yang mengandung ICP dan spora hidup, sedangkan sebagian lainnya mengandung spora yang telah diinaktivasi. Produk B.Thuringiensis konvensional hanya dibuat untuk mengatasi hama lepidoptera yang menyerang tanaman pertanian dan perhutanan. Namun, sekarang ini, banyak galur B.Thuringiensis yang diproduksi untuk mengatasi golongan koeloptera dan diptera (perantara penyakit yang diakibatkan parasit dan virus termasuk plasmodium penyebab malaria)(Microbial Pest Control Agent: Bacillusthuringiensis, World Health Organization. Geneva, 1999.).
Apakah Peta warna merah tersebut serta merta menghilang dengan aplikasi beberapa metode pengendalian. Sebagian berhasil namun konsistensi tidak berjalan mulus, wabah dan penularan kembali merebak. Sifat manusia yang dinamis dalam pola hidup dan bertempat tinggal menjadi faktor yang disadari namun susah untuk diatasi. Perilaku manusia sebenarnya sumber utama konsistensi malaria terus muncul di dunia.
Berdasarkan penelitian yang pernah saya lakukan di beberapa tempat, malaria dianggap bukanlah penyakit yang berbahaya. Secara tidak langsung masyarakat menganggap malaria penyakit yang biasa, walaupun sudah pernah terjadi kematian akibat malaria di sekitar mereka. Perlunya penumbuhan self awareness bahwa malaria memang perlu dicegah dari dalam diri masing-masing orang. Namun, hambatan mulai dari kebiasaan, budaya, adat-istiadat, hingga perubahan sosial juga harus dikaji terlebih dahulu.
Hal ini yang disebut revolusi mental, tidak melulu aplikasi peraturan saja namun diperlukan kesadaran yang penuh. Pengendalian melalui DDT hingga BT memang perlu sebagai alat, namun komponen terpentingnya adalah manusianya. Di Indonesia dengan beragamnya ethnis dan budaya perlu dibuat sebuah ensiklopedia demografi budaya sebagai acuan penerapan berbagai program, salah satunya program pengendalian malaria. Tentu saja ensiklopedia budaya haruslah dinamis seiring perubahan sosial yang terus terjadi dari detik ke detik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H