“Prof Musdah, Halal Menikah Sesama Jenis (Homoseksual). Naudzubillahi min Dzalik” Begitu judul tulisan yang ditayangkan di blog Badai Selatan. Ulasan lebih lanjutnya mengatakan bahwa Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan dilingkungan aktivis liberal sendiri. Banyak orang yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis.
Pemberintaan Musdah Mulia menghalalkan homoseksual, tak hanya disebarkan oleh blog Badai Selatan. Puluhan bahkan ratusan blog yang mengatasnamakan Islam menggencarkan serangan terhadap Musdah terkait dengan pemikirannya tentang homoseksual. Belakangan isu ini semakin gencar beriringan dengan musim kampanye yang dijadikan santapan empuk kampanye hitam terhadap salah satu capres cawapres; sebab Musdah adalah tim sukses Jokowi-JK.
Kecaman yang diterima Musdah bukan hal baru sejak ia menyatakan tekad membela hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak warga Negara Indonesia tanpa melihat suku, bahasa, agama, termasuk orientasi seksual. Bagi Musdah, siapa pun dia selama memiliki perilaku baik dan tidak melakukan kejahatan yang mencederai orang lain, baik dari suku Jawa, Sunda, Madura, Papua, dan suku-suku lainnya, berkulit hitam atau putih, beragama Islam, Kristen, Buddha, dan agama atau kepercayaan lain, bahkan orientasi seksual berbeda, atas nama keadilan mereka berhak dihargai sebagai manusia merdeka.
Sikap Musdah yang moderat tersebut tidak bisa dipahami banyak orang, khususnya terkait kelompok orientasi seksual homo. Bahkan bukan hanya dari kalangan Islam garis keras, juga mereka yang menyatakan diri sebagai muslim moderat. Mereka tetap kekeh mempertahankan pendapat bahwa orientasi seksual homo adalah perilaku menyimpang dan tidak normal yang harus dimusuhi daripada mengkajinya dari berbagai sisi untuk mencari solusi yang melahirkan kedamaian (rahmat) bagi semua pihak.
Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya hendak menggarisbawahi catatan saya ini tidak untuk membela Musdah sehingga terkesan subjektif, tetapi ini cara saya menyuarakan kebenaran secara jujur dari apa yang saya pahami tentang sosok Musdah dan pemikiran humanisnya. Tulisan ini bukan berdasarkan dari “katanya” atau kutipan-kutipan dari media massa yang memberitakannya tetapi saya langsung merujuk pada sumbernya atau tokohnya.
Kenapa orang mudah mengecam dan salah paham terhadap Musdah?
Diakui atau tidak, mayoritas kita lebih senang menonton berita di televisi daripada membaca berita di koran, lebih cenderung membaca judul berita daripada memahami keseluruhan isi berita, dan lebih suka percaya katanya daripada mengkroscek kebenarannya. Akibatnya masyarakat mudah menyimpulkan. Padahal, kesimpulan yang dianggap benar itu hanya berasal dari informasi yang diterima sepotong-sepotong, tidak utuh dan karenanya sangat mungkin menyesatkan.
“Aku denger dari si anu, baca di blog anu, katanya Musdah Mulia itu menghalalkan pernikahan sesama jenis, loh.” “Oh, ya?” “Iya beneran.” Kemudian penerima informasi tersebut menjadi informan bagi orang lain sehingga berita yang berdasarkan katanya itu menyebar, menjadi amunisi gossip, dan diklaim benar. Percakapan ini contoh untuk menggambarkan bagaimana fenomena di masyarakat yang mudah percaya dan menelan informasi mentah-mentah. Padahal, sebagai Muslim, seharusnya ikut anjuran Rasul untuk selalu bersikap tabayun, periksa dulu kebenarannya.
Pemikiran Musdah terkait homoseksual adalah tema yang sangat, sangat, sangat sensitif sejak dulu kala. Apalagi mayoritas masyarakat kita heteroseksual dan masih kental dipengaruhi paradigma heteronormativitas. Menurut mereka, homoseksual adalah perilaku menyimpang dan penyimpangan dianggap sesat, kesesatan akan masuk neraka, karena itu harus dijauhi dan dimusuhi. Pola dalam menjauhi dan memusuhi tak ada yang manusiawi. Apakah kita ingin merampas hak-hak mereka sebagai warga negara, atau sebagai manusia?
Melihat fenomena masyarakat yang cenderung mendiskreditkan minoritas, termasuk homoseksual, Musdah dengan kesungguhannya mengkaji homoseksual dari sisi kemanusiaannya. Dalam pandangan Musdah, mereka adalah fakta yang tak bisa diingkari. Mereka adalah manusia yang sama dengan manusia lain; butuh makan, minum, bersosial, dan bereksistensi. Kedua, mereka tidak melakukan kejahatan di masyarakat seperti menipu, mencuri, melukai, korupsi, menfitnah, melecehkan, memperkosa, dan tindak kejahatan lainnya. Lalu mengapa mereka harus diperlakukan lebih rendah dari binatang atau lebih hina daripada manusia (heteroseksual) yang melakukan kejahatan? Bagi Musdah ini tidak adil!
Kajian Musdah tentang homoseksual menemukan dua poin yang kerap belum tuntas dipahami masyarakat, yaitu orientasi seksual dan perilaku seksual. Apa itu orientasi seksual? Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia berkaitan dengan ketertarikan emosi, rasa sayang, dan hubungan seksual. Orientasi seksual bersifat kodrati, tidak dapat diubah. Tak seorang pun dapat memilih untuk dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Temuan ilmu pengetahuan menunjukkan, orientasi seksual manusiabanyak ragamnya, ada hetero, homo, biseksual dan aseksual.
Lalu, apa perilaku seksual? Perilaku seksual adalah cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya. Perilaku seksual dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, interpretasi agama, adat istiadat, dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Karena itu perilaku seksual merupakan kontruksi sosial, tidak bersifat kodrati, dan bisa dipelajari. Perilaku seksual manusia amat beragam, tanpa batas. (Untuk membaca lebih lanjut kedua perbedaan tersebut, bisa dibaca di buku berjudul Fiqh Seksual, yang ditulis oleh Musdah Mulia, Kyai Husein Muhammad, dan Kyai Marzuki Wahid, penerbit PKBI).
Bagi Musdah, perilaku seksual inilah yang harus diajarkan dengan baik. Setiap orang harus menghargai perilaku seksual yang nyaman, aman, dan bertanggung jawab. Dan sebagai orang beragama, tentu kita harus mengindahkan aturan-aturan agama terkait perilaku seksual ini. Kita harus melawan semua bentuk perilaku seksual yang di dalamya ada unsur perkosaan, pemaksaan, diskriminasi, eksploitasi, dan penghancuran rasa kemanusiaan, serta menyalahi prinsip hak dan kesehatan reproduksi, demikian yang dijelaskan Musdah.
Kedua poin tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Musdah, seorang homo tidak memilih untuk menjadi homo, sebagaimana seorang hetero tidak memilih untuk menjadi hetero karena hal itu sifatnya given. Kalau begitu, adilkah kita melakukan cara-cara jahat dalam memperlakukan mereka. Kalau pun kita ingin melakukan dakwah terhadap mereka, hanya cara pendekatan manusiawi yang paling tepat daripada mengutuk, mengecam, dan menghakimi. Karena dalam dakwah Rasulullah tidak mengunakan cara-cara tidak manusiawi.
“Saya tidak pernah sekali pun mengatakan atau menghimbau untuk menghalalkan homoseksual, halal dan haram bukan wilayah saya, tapi hak prerogatif Tuhan. Saya hanya ingin mengajak kita semua mengakhiri stigma, dan sekaligus bersikap adil pada mereka yang berbeda, baik agama, suku, bangsa, bahasa, termasuk orientasi seksual,” tegas Musdah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H