Lihat ke Halaman Asli

Prestasi dan Angka

Diperbarui: 17 Juni 2017   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini sekolah sedang membagikan raport kepada sisa siswinya, tak pelak lagi di sosial media begitu banyak postingan yang membanggakan tentang prestasi anak. Itu merupakan hal yang wajar, Dulu ketika SD saya juga sering mendapat juara. Dan seperti anak kebanyakan pasti bangga diceritakan ke tetangga, dikasih selamat,hadiah. Berbeda dengan yang juara, anak yang buruk prestasinya bakal dimarahain. Dikatakan kurang pintar dan dipaksa belajar terutama mengenai angka karena yang dikenal adalah si "Jago matematika" bukan si "Jago lukis". Jika mengingat sekarang orang tua dulu sangat mengejar nilai yang baik tercantum di raport kami, seperti teman saya yang dipotong uang jajan karena ada nilai merah. Mengapa todak pernah ada dulu melihat potensi kami sebelum memarahi.

Masih saja banyak orang tua yang selalu terpaku pada Nilai dan Angka. Namun tidak melihat dimana potensi terbesar anaknya. Apakah selamanya yang jago matematika adalah pandai dan yang menyenangi mengarang itu bodoh sehingga harus dipanggilkan guru les untuknya.

Dulu saya juga mengalaminya, ketika SMA saya sudah merasa bahwa benar saya tidak bisa menguasai yang namanya perhitungan dengan baik. Selalu saja bingung ketika pelajaran kimia, fisika dan matematika. Padahal sudah sangat mencoba untuk konsentrasi pada pelajaran itu tapi jadinya saya hanya bisa melihat punya temen. Tidak dipungkiri bahwa masa SMA adalah copy paste tugas teman selalu dilakukan untuk hal berbau angka. Tiba saat pembagian jurusan polemik itu ada. Saya sadar bahwa arah dan bakat saya lebih ke bidang sosial, namun orang terdekat tidak setuju. Mereka berpendapat bahwa dari jurusan IPA pasti bisalah ke jurusan IPS kelak kalau mau kuliah. Seolah IPS itu gampang dan semua orang bisa. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya orang tua saya untuk hal ini karena mereka begini karena lingkungan. Maka dari itu saya hanya mau share sedikit pengalaman ini semoga tidak akan terjadi lagi hal seperti itu.

Tidak heran banyak program bimbel anak lebih memilih program matematika dan bahasa inggris. Dan hitungan jari orang tua yang mau memasukkan anaknya les seni terutama yang tinggal dikampung. Padahal jika dari kecil telah tanggap melihat potensi si kecil saya yakin mengarahkannya juga akan lebih baik.

Mengapa banyak anak anak sejak kecil sudah menyontek dan tidak bangga dengan hasil kerjanya? Karena desakan lingkungan yang mematok angka untuk ukuran dibilang "pintar". Tentu si anak ingin juga dipuji dan takut dimarahi jika memiliki nilai yang buruk. Semoga kedepannya anak-anak lebih diberikan ruang untuk menggali potensinya dan biarkan dia bermain dengan dunianya. Karena mengerjakan apa yang disenangi akan dikerjakan layaknya ya permainan. Dan tidak akan ada lagi anak yang mengeluh terjebak "salah jurusan".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline