Lihat ke Halaman Asli

IraBifurkasi

Menulis di sosial media

Teater Dalam Masyarakat Kita

Diperbarui: 19 Agustus 2022   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehadiran teater sebenarnya adalah sebuah resiko alami dalam keberadaan kita sebagai mahluk sosial. Dia menjadi semacam cermin terhadap kondisi masyarakat. Kita tahu tradisi teater bukan hanya datang dari budaya luar sana, tapi sejak dulu secara tradisi dengan berbagai nama sudah hidup di berbagai tempat dengan karakter lokalnya.

Dengan posisi sosial itu maka esensi dari teater selain sebagai ekspresi seni juga sebagai penyampai pesan terhadap realitas sosial yang timbul.

Apalagi buat kita yang hidup di zaman di mana aspirasi menjadi barang yang menakutkan bagi kekuasaan. Seni entah itu teater, puisi atau yang lain bisa menjadi semacam ekspresi tak langsung, aspirasi atau kritik yang dibalut dalam pemanggungan seni.

Tapi semakin ke sini di mana kebudayaan masyarakat semakin menuju hanya pada satu titik, yaitu kesejahteraan. Maka seni teater mau tidak mau harus ikut tunduk pada hukum komersil itu tadi. Dinamika komersial itu kemudian menyeleksi mana teater yang boleh hidup selaras dengan kriteria komersial diangkut ke gedung-gedung pertunjukan dan mana yang harus mati entah dikubur masa silam atau diangkut truk kekuasaan ke lorong penjara.
Pilihan hanya dua, ikut arus standar komersial atau terbuang.

Pelaku seni teater lalu terfokus pada latihan mengasah estetika, mengasah disiplin dalam takaran produktivitas, membangun branding dengan tujuan agar relevan di panggung-panggung besar kesenian.
Lalu apa kritik dan ekspresi realita sosial masih mungkin tumbuh di sana? Ya mungkin saja, tapi kepada siapa dia diperdengarkan, bukan kepada yang membutuhkan pembelaan atau pencerahan, tapi hanya kepada yang butuh hiburan.

Saya tidak sedang menyalahkan pelaku seni itu sendiri, karena kembali di awal teater adalah cermin sosial dari masyarakat. Maka bila teater tidak dapat mempertahankan hidupnya di tengah-tengah masyarakat, tidak dapat dipanggungkan di sawah kering selepas panen, di sela-sela meja penjemuran ikan kampung nelayan. Sebabnya mungkin bukan hanya represifnya kekuasaan.

Kota, 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline