Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Atut dan Rutan Pondok Bambu, Kado Tragis di Hari Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13876093352007983271

[caption id="attachment_300220" align="aligncenter" width="365" caption="foto : dokpri"][/caption]

Perempuan yang dikenal sangat digdaya itu kini duduk terpekur, sendiri, mulutnya terkatup rapat, tak seulas senyumpun terukir di bibirnya, mata sembabnya kini tak lagi bisa ditutupi oleh riasan setebal apapun, wajahnya yang terkenal kinclong mengkilat, kini tak lagi bersinar. Sekitar 15 menitan ia menunggu hanya ditemani seorang polisi yang mengajaknya bicara dengan sikap santai. Hmm..., coba kalau didaerah kekuasaannya, polisi itu pasti akan membungkuk takzim saat menyapanya. Akhirnya sejumlah petugas menggiringnya. Mengenakan rompi orange bergaris hitam bertuliskan “Tahanan KPK”, ia dibawa menerobos puluhan bahkan ratusan pemburu berita. Kilat lampu kamera berusaha dihindarinya. Inikah akhir perjalanan politik sang ratu yang konon dandanannya bernilai milyaran itu?

Atut Chosiyah, sang “ratu” Banten yang ditahtakan oleh ayahnya, Chasan Sochib, penguasa tanah jawara karena “kejawaraan”nya, kini harus tertunduk lemas, menangis tersedu, pasrah dan kalah pada keputusan penyidik KPK. Bak durian runtuh, Banten yang dulu tergabung dalam propinsi Jawa Barat, sejak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah, memisahkan diri dari induknya. Chasan Sochib yang semula tak percaya Banten bisa memisahkan diri, kini justru melihat peluang untuk berkuasa,lewat tangan putri sulung dari istri pertamanya. Dipanggillah sang putri, diaturlah strategi : siapapun gubernurnya, yang penting putrinya jadi wakil gubernur. Tanpa bekal jiwa kepemimpinan yang mumpuni, tanpa pengalaman kemasyarakatan yang cukup, dikarbitlah sang putri naik ke tampuk pimpinan. Bapaknya, sang penguasa jawara, selalu siap memback up.

Hanya 3 tahun menjabat, sang gubernur “jatuh” karena kasus korupsi. Maka naiklah sang putri menggantikannya, menjadi Plt. Gubernur Banten. Dua tahun kemudian, dia kembali terpilih menjadi Gubernur lewat persaingan ketat dengan Marissa Haque yang sempat merepotkannya dengan issu dugaan ijazah palsu. Sayang, bapaknya meninggal 2 tahun lalu. Mengendalikan Banten dengan kekuasaan tak lagi mudah. Kini, sang ratu yang telah terpilih kembali untuk kedua kalinya pada 2011 lalu, terpaksa meringkuk di rutan Pondok Bambu, bersesakan dengan 15 napi kasus kriminal lainnya. Puluhan rumah mewahnya yang menjanjikan kenyamanan, terpaksa ditinggalkannya. Baju bermerk seharga jutaan rupiah, kini dilapisi rompi orange menyolok mata.

Di sana, ia akan bertemu Miranda Goeltom, Angelina Sondakh dan Nunun Nurbaetie, sesama penyuka produk fashion branded kelas dunia. Para perempuan yang peduli akan penampilannya, kini harus menghitung hari di balik tembok rutan. Bisa jadi sang ratu shock sejak penetapannya menjadi tersangka, sebab berkaca pada kasus Angelina Sondakh yang harus menerima hukumannya diperberat. Para hakim kini sedang tak ramah pada terdakwa kasus korupsi. Bahkan Irjen Djoko Susilo pun hukuman penjaranya diperpanjang dan dendanya diperberat. Akankah sang ratu demikian pula? Menghabiskan sisa usia di balik dinding rutan, merelakan asset-assetnya disita untuk negara dan pundi-pundi uangnya terkuras untuk membayar denda? Mari kita tunggu saja endingnya.

==========================================

Seandainya para perempuan pergerakan yang menjadi pelopor dan panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-25 Desember 1928 masih hidup, mungkin mereka akan menangis darah. Bukan itu tujuan Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari, Ny. Soekonto dan lain-lain mendeklarasikan kebangkitan perempuan Indonesia di Jakarta kala itu. Sungguh bukan persoalan mudah, ketika transportasi di tanah jajahan Belanda ini masih sulit, para perempuan dari seluruh Indonesia nekad berkumpul di tanah Mataram (Joga sekarang) demi menyuarakan keterwakilannya. Berhari-hari mereka tinggalkan keluarga demi memperjuangkan berbagai issu utama seputar harkat dan martabat perempuan. Tak semua perempuan yang hadir di Kongres itu berpendidikan tinggi, tapi mereka punya pemikiran setinggi langit, melampaui keterpasungan sebuah bangsa terjajah. Itulah pertama kali perempuan menyuarakan keterwakilannya.

Kini, 85 tahun berlalu sejak Kongres Perempuan I di Jogja. Tak ada lagi Kongres Perempuan. Para perempuan Indonesia bebas mau jadi apa saja. Berkarir di ranah politik pun bukan hal yang tabu. Bahkan sejak Pemilu 2004 lalu, ada affairmative policy yang mengharuskan keterwakilan 30% perempuan di kursi parlemen. Maka, perempuan termasuk yang diburu parpol untuk memenuhi syarat keterwakilan 30% agar daftar caleg yang mereka ajukan tak dicoret KPU. Dijalanan, spanduk dan baliho bergambar wajah cantik perempuan tersenyum ceria mengajak masyarakat memilihnya, bertebaran dimana-mana. Betulkah mereka simbol keterwakilan perempuan atau sekedar pelengkap pengajuan caleg bagi parpol?

Ada yang berlatar belakang pesohor, artis dari panggung hiburan yang hiruk pikuk dengan kegemerlapan duniawi. Selama ini, sang artis hanya masuk berita di kanal infotainment, soal pertengkarannya dengan sesama artis wanita, atau soal gugat menggugat dengan pengusaha kaya raya yang pernah menikahinya. Kini, mendadak sang artis bertransformasi menjadi calon politisi. Apa yang bisa diharapkan dari “wakil” dengan rekam jejak seperti itu? Pahamkah dia bagaimana mengawal proses legislasi agar sebuah undang-undang yang disahkan pro-rakyat? Ataukah dia hanya lihai soal lobbying untuk meng-goal-kan fee proyek-proyek yang didanai APBN? Angelina Sondakh sudah membuktikannya. Kiprahnya dalam rapat dengar pendapat atau pembahasan RUU nyaris tak pernah terdengar.Tapi dalam kasus proyek-proyek Pemerintah yang diloloskan melalui Komisi-nya, dia disebut aktif melobi sehingga Hakim MA tak ragu menjatuhinya hukuman 12 tahun penjara.

[caption id="attachment_300222" align="aligncenter" width="306" caption="foto : dokpri"]

1387609391813226902

[/caption]

Tak hanya di parlemen saja perempuan Indonesia berkiprah. Di eksekutif pun mereka berkompetisi. Muncullah beberapa Bupati/Walikota perempuan. Sesungguhnya, perempuan punya keunggulan yang diberikan oleh alam, yang bisa menjadi bekal baginya untuk jadi pemimpin bagi masyarakatnya. Sebagai ibu yang merasakan beratnya mengandung dan melahirkan anak, membesarkan dan mendidik keturunannya, mereka lebih punya kepekaan sosial dibanding kaum pria. Perempuan lebih mudah tersentuh, tak ingin melihat sesamanya jatuh, tak mau mendapati lingkungannya kumuh. Ia akan berjibaku agar kehidupannya dan sekitarnya lebih nyaman dan lebih menenteramkan. Jika sisi ini yang menonjol, niscaya perempuan, entah dalam perannya sendiri atau sebagai pendamping suami, mereka bisa jadi motivator tangguh.

Namun di sisi lain, perempuan kerap pula disebut “perhiasan dunia”. Maka tak heran jika mereka pun penyuka perhiasan dunia. Sayangnya, tak ada perhiasan yang murah, semua harus ditebus dengan harga selangit. Lalu bagaimana kalau tak terjangkau? Tak ada jalan lain : segala cara harus dilakukan agar keinginan hati terpenuhi. Halal atau haram itu urusan belakangan. Yang penting, “uang tambahan” bisa masuk kantong dan terbelilah pelengkap gaya hidup kelas atas. Jika nafsu ingin memiliki semua keindahan dan perhiasan ini yang menonjol, maka perempuan, entah dalam perannya sendiri atau sebagai pendamping suami, mereka bisa jadi penyebab korupsi.

Atut, gubernur perempuan pertama dan satu-satunya, harus mengakhiri karir politiknya di tangan penyidik KPK. Tri Risma Harini, satu dari sekian Bupati/Walikota perempuan, namanya dielu-elukan masyarakatnya bahkan hingga di level internasional pun mengapresiasi kepemimpinannya. Keduanya sama-sama kepala daerah, tapi keduanya mengedepankan sisi keperempuanan yang berbeda. Atut yang selalu tampil serasi, anggun dan berkelas, tampak sangat jauh dibandingkan Risma yang lebih sering tampil kusut masai dan berkeringat karena lebih banyak berada di lapangan.

Atut bahkan tak tahu – atau tak peduli? – bahwa tetangga yang hanya berjarak 10 menit dari rumahnya, bahkan berada di satu jalan yang sama dengan rumah tinggalnya, bergelut dalam kemiskinan akut dan berjibaku menyelamatkan hidup anak-anak mereka yang menderita gizi buruk. Dalam setahun Atut bisa pelesir berkali-kali ke berbagai kota pusat mode dunia, hanya untuk mendatangi butik merk ternama dan membeli koleksinya yang berharga ratusan juta. Sementara, puluhan siswa SD harus bergelantungan menyabung nyawa menyeberang jembatan yang hanya tinggal seutas tali, hanya demi ke sekolah. Risma sebaliknya, ia tahu betul titik mana yang akan tergenang air saat hujan deras, tahu betul apa yang dikehendaki rakyatnya, karena ia “berbicara” dengan mereka, ia hadir bersama rakyatnya, dalam susah dan senang.

Risma mendatangi perempuan pekerja seks, memotivasi mereka untuk bangkit dan mencari pekerjaan yang halal. Menanyakan pada warga usaha apa yang mereka inginkan untuk difasilitasi. Sementara Atut, yang menyandang jabatan sebagai salah satu Ketua di KPPG – sayap poltik Golkar – yang membidangi Pemberdayaan Perempuan, justru tak peduli ketika perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahnya, justru belum berdaya keluar dari himpitan kemiskinan. Apa yang dilakukannya sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan? Mendatangi kaum ibu dan anak-anak sambil membagi-bagikan kerudung dan makanan serta mainan anak-anak di masa kampanye, agar para perempuan itu terkesan dengan “kebaikan hati”-nya lalu memilihnya di bilik suara? Pemberdayaan macam apa yang bisa dilakukan seorang perempuan kepada sesamanya ketika dirinya sendiri belum mampu mengendalikan keinginan konsumtifnya? Bagaimana akan bisa berdaya jika dirinya sendiri masih terpedaya oleh gemerlapnya produk fashion? Bagaimana akan memberdayakan warganya jika ia sendiri belum terbebas dari perangkap gaya hidup hedonis?

Ironi bagi perpolitikan perempuan Indonesia, sebab setelah 85 tahun berlalu sejak Kongres Perempuan I yang kemudian ditetapkanmenjadi hari Ibu, ternyata makin banyak saja kaum Ibu yang harus masuk ke rutan Pondok Bambu. Setidaknya, sejak Desember 2011, ada Nunun Nurbaetie, disusul Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni, kini Atut Chosiyah, besok lagi siapa? Airin Rachmi Diany yang juga sedang dibidik KPK?

Jika harus berakhir demikian, tampaknya perempuan Indonesia yang memilih terjun ke ranah politik, harus kembali merenungkan kembali apa visi dan misinya. Harus kembali meluruskan niat. Banyak-banyak “bercermin” dan bertanya lagi pada diri sendiri : sudah cukupkah modalnya untuk terjun ke dunia politik? Modal wawasan, pengetahuan, kepekaan sosial, kekritisan terhadap kondisi kekinian dan paham benar culasnya dunia politik.

Jika sempat terbersit niatan untuk mencari penghasilan yang besar di dunia politik, ada keinginan untuk dapat gaji besar dan fasilitas selangit dengan jadi wakil rakyat, maka urungkan saja niat itu. Sebab, jika nanti sudah jatuh, pintu penjara terbuka lebar, maka partai politik akan say goodbye. Demi menjaga citra sebagai parpol yang bersih, kader yang tersangkut perkara korupsi akan didepak jauh-jauh.

Tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Slogan “pemberdayaan perempuan” kerap tergelincir menjadi “memperdayakan perempuan”. Penetapan Atut sebagai tersangka kasus suap, ditahannya ia di rutan Pondok Bambu, adalah cermkn besar yang nyata, betapa perempuan di dunia politik kerap tak sadar, bahwa dirinya sedang terpedaya, bukan sedang berdaya. Tragis..., satu lagi ibu yang masuk rutan, hanya selang 2 hari menjelang hari ibu. Selamat hari Ibu, bu Atut dan ibu-ibu di rutan Pondok Bambu lainnya, selamat merenungi makna “HARI IBU”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline