Sudah 5 hari 5 malam saya tak memposting satupun tulisan. Ada kerinduan untuk menulis. Ya, sebagian sahabat Kompasianers melakukan “mogok click” Kompasiana. Mogok login, tentu saja mogok menulis dan berkomentar, tapi entah kalau nyuri-nyuri baca sebagai non user, kan gak ada yang tau hehehe... Memang ada yang konsekwen, benar-benar gak nengok Kompasiana. Dampaknya : Kompasiana sepi pengunjung. Lapak-lapak para juragan yang biasanya selalu ramai pengunjung, akhir-akhir ini cuma kedatangan tamu tak sampai 100 click. Yang mampir meninggalkan jejak malah lebih sedikit lagi. Padahal, kata Pak Thamrin Dahlan, ruh dari menulis di Kompasiana adalah sharing and connecting. Ketika komentar tak lagi meramaikan tulisan, maka “separuh jiwaku pergi” keluh beliau.
Saya jadi ingat Mas Baskoro Endrawan pernah nulis status FB beberapa bulan lalu – waktu Kompasiana masih ‘sakit-sakitan’ dan sering tak bisa diakses – “Sebenarnya Kompasianer ini ‘penulis’ atau ‘penyaring’ (tukang sharing) sih? Kalau penulis, mestinya kan ya menulis saja, kapan pun dan dimana pun, tak peduli ada yang membaca atau tidak. Tapi kalo tukang sharing, ya memang butuh pembaca dan komentar” kurang lebih begitu isi status FB Mas Bas. Nah, ternyata, mayoritas penulis di Kompasiana memang “penyaring”, mereka butuh sharing dengan pembacanya. Tak sedikit Kompasianer yang punya blog pribadi, tapi lebih rajin posting di Kompasiana ketimbang di blognya sendiri. Karena di ‘rumah bersama’ ini lebih ramai ketimbang di ‘rumah’ sendiri. Kecuali yang rumahnya memang sudah kondang didatangi banyak ‘tamu’.
[caption id="attachment_295604" align="aligncenter" width="538" caption="Kumpul-kumpul begini yang bikin Kompasianival rame. Foto diambil dari facebooknya Bunda Selsa"]
[/caption]
Saya sendiri terus terang gak punya rumah pribadi. Sudah keenakan nge-kost di rumah bersama. Pernah beberapa teman ngajak main-main ke blog keroyokan lain, buka lapak disana, siapa tahu ‘dagangan’ saya juga laku disana. Tapi sampai sekarang belum kepikiran untuk “mendua” apalagi pindah ke lain hati. Meski kadang suka “makan hati” kalau Kompasiana sedang error sistemnya, tapi tetap saja setia menanti, mirip tulisan di pantat bak truk. Jadi, kalau saya kadang suka bawel komplain, itu karena saya masih sayang sama Kompasiana, belum punya “selingkuhan” lain. Maklum, saya termasuk yang tak terlalu “socmed minded”. Selain FB dan Kompasiana, saya tak punya akun lain semacam twitter, instagram, Google+, dll.
Jadi, kalau Kompasiana mulai ditinggalkan para penghuninya meski untuk sementara, jelas saya ikutan males. Dan.., salah satu tanda-tanda Kompasiana sedang error, biasanya aktivitas ber-FB-ria rekan-rekan Kompasianers langsung meningkat tajam. Tak bisa “merusuh” di Kompasiana, ya merusuh di FB. Kasihan dong Kompasiana, jadi sepi pengunjung. Karena sepi pengunjung, penulis pun malas posting tulisan. Karena jumlah tulisan menurun, jumlah pembaca juga berkurang. Nah lho! Mbulet koyok susur, kata arek Suroboyo. Kalau traffic menurun, pemasang iklan pun jadi berpikir ulang untuk beriklan di Kompasiana. Kalau pemasang iklan mundur, pemasukan berkurang, jadi makin lambat perbaikan sistem di Kompasiana yang tentunya butuh dana. Waduh, makin ruwet lingkaran setannya. Sebab – akibatnya saling berkelindan.
[caption id="attachment_295605" align="aligncenter" width="461" caption="Ngelesot bersama yang bikin akrab"]
[/caption]
Mogoknya beberapa Kompasianers dipicu ketidaknyamanan tampilan dan fitur Kompasiana versi mobile. Terutama fitur komentar yang kacau urutannya, sering gagal kirim, bahkan kadang tak bisa tampil di versi PC/laptop. Begitupun tulisan yang diposting dari versi mobile, sulit dikomentari dari laptop. Belum lagi tak adanya notifikasi/dashboard aktivitas untuk memantau pergerakan komentar dan tulisan teman. Kalau sudah begini, baru ketahuan kalau mayoritas user mengakses Kompasiana dari ponsel. Jadi, begitu versi mobile dirasa kurang nyaman, protes pun mengalir. Semoga saja Tim IT Kompasiana yang sedang bekerja keras, bisa segera memenuhi semua kebutuhan user, minimal bisa seperti versi mobile yang lama, syukur-syukur kalau bisa lebih baik, lebih nyaman, lebih praktis. Dan yang penting, aspirasi pemilik HP djadoel perlu juga didengar. Masa iya gara-gara Kompasiana mobile yang baru, terpaksa ganti HP.
Sebenarnya, kalau mendengar obrolan teman-teman, kekecewaan atas kurang nyamannya Kompasiana versi mobile ini hanyalah puncak dari ‘sakit hati’ dan ketidaknyamanan yang dialami Kompasianer saat puncak acara Kompasianival 2013, akhir pekan lalu. Harus jujur diakui, memang teknis pelaksanaannya mengalami kemunduran jauh dibanding Kompasianival 2012, terutama dari sisi sharing and connecting yang jadi motto Kompasiana. Tanpa bermaksud menyalahkan Admin – karena saya juga paham Admin sesungguhnya sama ‘menderita’nya dengan Kompasianer –harus jujur saya katakan banyak hal yang perlu dievaluasi oleh penyelenggara (mungkin Kompas.com?) agar Kompasianival 2014 nanti tak kembali mengecewakan. Oya, karena saya dapat “gelar” dalam ajang Kompasianival kemarin, tak berarti harus kehilangan kekritisan terhadap Kompasiana bukan? Justru kalau saya masih mau ‘meributkan’ Kompasiana, itu tandanya saya masih sayang dan betah tinggal di rumah bersama ini.
[caption id="attachment_295606" align="aligncenter" width="461" caption="Ngerumpi sambil ngariung, pengobat kangen"]
[/caption]
Dari beberapa tulisan tentang Kompasianival 2013 yang sempat saya baca, isinya senada : kritik dan kekecewaan atas teknis penyelenggaraan Kompasianival 2013. Menurut penilaian saya yang paling ‘mak-jleb’ mengena adalah tulisan Mas Baskoro Endrawan, judulnya : “Kompasianival 2013 dari Kacamata yang Benar-benar Baru”. Yang membuat tulisan Mas Bas itu istimewa di mata saya karena apa yang diuraikan pada paragraf ke-6 dilanjut paragraf 9 dan 10. Berikut copy paste-nya, yang saya cetak tebal itu intinya.
Secara pasar, saya kurang faham apa yang ingin diraih dengan penempatan acara di Mall Grand Indonesia yang luxurious itu. Kompasiana, bukanlah sebuah ‘rumah’ dimana para penghuninya mengaku berstrata atas dasar penilaian yang sayangnya, banyak berada di pasaran. Ini adalah rumah penuh ilmu, bukan barang bermerk seperti apa yang kebanyakan ‘dijual’ disana. Kekayaan sebetulnya adalah para Kompasianernya sendiri, dengan ‘gila’nya jutaan ide yang teramu didalam sebuah melting pot bernama Kompasiana. Buah pemikiran dan lain hal. Tak perlu harus melulu setuju, namun harus mengakui bahwa para Kompasianer adalah sekelompok orang yang haus akanfood for the soul, food for the mind and food for the heart. (alinea ke-6)
Apa yang disasar dari lokasi ini? Dimana orang lalu lalang melihat ke acara dan berpikir “Wow, itu (Kompasiana) terlihat hebat. Mari kita coba klik dan cari tahu apa itu Kompasiana”. Itu yang dibidik kah? Sebuah ‘market’ baru? Apabila ini yang dipikirkan, maka ijinkan saya untuk sedikit berkata dengan kencang : (alinea ke-9) Kalau mereka belum tahu Kompasiana itu apa, mungkin mereka memang bukan pasar Kompasiana. Dan sampai kapanpun, mereka tidak akan pernah layak untuk menjadi bagian dari Kompasiana. Jangan malah berpikir terbalik. (alinea ke-10)
[caption id="attachment_295608" align="aligncenter" width="461" caption="Partisipasi komunitas di Kompasianival 2012"]
[/caption]
Saya suka sekali dengan gaya Mas Baskoro yang blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling. Sekedar contoh kasus : jelang Pemilu 2009, sebuah parpol berazas Islam dan dikenal punya pendukung yang kuat militansinya (meskipun eksklusif), tiba-tiba beriklan “beda”. Dalam iklan digambarkan parpol itu terbuka bagi semua golongan. Pemeran dalam iklan itu digambarkan anak-anak muda gaul abis, kelompok yang berpenampilan bak preman, dll, yang lebih mendekati gambaran sebuah parpol nasionalis. Hasilnya?! Pada Pemilu 2009, jumlah riil perolehan suara parpol tersebut menurun dibandingkan Pemilu 2004, meski secara prosentase sedikit naik karena adanya penurunan jumlah suara sah. Artinya : segmen pasar baru gagal diraih, segmen pasar yang sudah “captive” justru lari. Moral message atau hikmah yang bisa dipetik dari kasus itu : kesalahan strategi dalam membidik segmen pasar, bisa berakibat fatal. Dalam falsafah Jawa dikenal istilah “mburu uceng, kelangan dheleg” atau lebih to the point-nya “mburu upo kelangan tumpeng”. Kalau diterjemahkan secara letterlijk : ”demi memburu sebulir nasi, segunungan nasi tumpeng yang sudah ada justru hilang”. Jadi, jangan sampai Kompasiana pun mengalami hal serupa, maksud hati membidik kalangan menengah atas untuk memperluas segmen pasar, tapi justru kehilangan simpati dari stakeholder yang sudah lama jatuh cinta dengan Kompasiana.
Ketidaknyamanan yang dirasakan Kompasianers yang hadir di acara itu, sempat beberapa hari dibincangkan di grup-grup komunikasi antar Kompasianers. Merasa ‘terasing’ ketika datang ke rumah sendiri hendak bertemu saudara, merasa dipaksa jadi orang lain yang ‘jaim’, duduk manis dan makan di resto mahal, membuat perhelatan itu seolah “tidak membumi” kata Mbak Indri ‘landak’ Permatasari. Kami, para penghuni rumah sehat bersama ini mendadak jadi merasa “tamu” yang tidak sehat di rumah sendiri. Tamu yang tidak sehat, sehingga perlu diatur bagaimana harus bersikap. Padahal, keakraban silaturahmi justru terjalin ketika semua terjadi secara spontan. Sekat formalitas diruntuhkan, topeng ditanggalkan, kepura-puraan dicampakkan. Ketegangan di kolom komentar menjadi cair seketika saat saling berpelukan, bersalaman lalu bertukar buah tangan meski hanya berupa cemilan yang bisa dibeli sendiri di toko makanan.
Sehari-hari, di ranah cyber, di ruang maya Kompasiana, akun-akun member lah yang mengisi dan menghidupkan Kompasiana 24 jam. Admin Kompasiana memfasilitasi, menyediakan “rumah” dan segala “fasos-fasum”nya. Para penghuni yang akan memeriahkan aktivitas di rumah itu hingga tak ada waktu untuk memadamkan lampu. Akun-akun member lah yang membuat traffic kunjungan ke Kompasiana nyaris tak pernah sepi 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan. Maka, sejatinya, akun-akun member Kompasiana itulah yang membuat Kompasiana eksis dan mendongkrak peringkatnya di situs Alexa.
[caption id="attachment_295610" align="aligncenter" width="461" caption="Penghuni Planet Kenthir dengan slogan "]
[/caption]
Saat tiba Kompasianival, semestinya para pemilik akun itulah yang mengisi dan memeriahkan perhelatannya. Sudah selayaknya pula para pemilik akun yang terbiasa berinteraksi di kolom komentar, kini berinteraksi di dunia nyata. Yang tinggal di luar Jabodetabek bahkan luar pulau Jawa sekalipun, menyempatkan diri datang hanya untuk bisa bertemu kawan-kawan mayanya. Karena itu, kenapa tidak, sekali dalam setahun “membumikan” Kompasiana.com menjadi Kompasianival? Kenapa tidak, komunitas-komunitas kecil di Kompasiana yang kerap mengadakan ajang kepenulisan, sekali dalam setahun “membumikan” ajang itu dalam bentuk lain? Soal teknisnya biarlah komunitas itu sendiri yang menuangkan kreatifitas dan ide mereka dalam konsep nyata. Beri ruang untuk mereka berekspresi, beri waktu mereka untuk menayangkan performanya bak memposting tulisan. Kompasiana hanya perlu membatasi dengan Terms and Conditions.
[caption id="attachment_295611" align="aligncenter" width="461" caption="Fiksiana Community di Kompasianival 2012"]
[/caption]
Saya bayangkan, kalau saja Kompasianival tahun depan bisa dihelat di tempat yang lebih terbuka, tak penting mewahnya, yang penting tersedia ruang yang cukup luas untuk bersilaturahmi dengan bebas, mengekspresikan diri dengan lugas, toh semua itu didedikasikan untuk Kompasiana. Biarkan mereka lesehan, itu lebih baik dari pada cakar-cakaran. Bebaskan mereka saling bertukar makanan, asal sampahnya tak dibuang sembarangan. Kalau iklan Gita Wirjawan bisa berbagi ruang dengan tulisan akun-akun member Kompasiana di layar monitor, maka biarkan pula lapak-lapak sponsor berbagi ruang dengan “lapak” para Kompasianers.
[caption id="attachment_295615" align="aligncenter" width="253" caption="Pameran foto di booth Kampret pada Kompasianival 2012"]
[/caption]
Oke, segini dulu tulisan saya untuk menyudahi “puasa” menulis. Tulisan ini sekaligus untuk test case, sepi pengunjung apa enggak. Kalau rame yang syukur, kalau sepi ya tetap disyukuri, berarti hutang saya membalas komentar gak banyak-banyak, hehee... Selamat berhari Minggu.
[caption id="attachment_295618" align="aligncenter" width="576" caption="Kemesraan ini..., janganlah cepat berlalu... Terima kasih Bunda Selsa, sudah boleh pinjem fotonya"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H