[caption id="attachment_237981" align="aligncenter" width="600" caption="(foto : antaranews.com)"][/caption]
Ada yang mengganggu pikiran saya setelah membaca tulisan Agushermawan yang diganjar HL oleh Admin Kompasiana pada Rabu, 20 Pebruari 2013. Tulisan berjudul “Andrea Hirata Menjawab : Penulis Indonesia Mencari Keadilan” itu terasa seperti kepanjangan tangan si Andrea Hirata yang enggan menulis hak jawab di Kompasiana, sehingga perlu ada orang lain yang menuliskan rencananya untuk memperkarakan Kompasianer Damar Juniarto akibat tulisannya. Kenapa seperti sekedar kepanjangan tangan saja? Sampai kemarin siang, lebih 24 jam sejak tulisan itu tayang dan HL, sudah berpuluh-puluh bahkan mungkin seratusan komentar, tapi penulisnya tak sekalipun membalas komentar itu. Apakah penulisnya tak merasa cukup punya argumentasi untuk menjawab komentar yang masuk karena ia hanya sebatas “memforward” email AH untuk dirinya?
Memang jika disimak, mayoritas mutlak dari komentar yang masuk justru menjadi blunder bagi AH. Mereka mencaci, mencerca dan mencemooh AH dan menunjukkan dukungan dan simpati pada Bung Damar. Bahkan ada yang ekstrim mengajak membakar buku-buku AH. Sebuah ajakan yang emosional dan tak berdasar. Memang ada pula beberapa komentar yang netral yang menyarankan agar damai saja, dan ada pula 2 komentar yang jelas-jelas membela AH, tapi 2 komentar itu diposting oleh akun Taufik Ahmad dan Jono Alexander yang baru dibuat pada tanggal tersebut, alias sengaja dibuat untuk berkomentar di tulisan itu untuk mendukung AH.
Tapi sebenarnya bukan soal akun abal-abal yang membela AH atau si penulis yang mengabaikan komentar tanpa membalasnya itu yang sedikit “mengganggu” pikiran saya. Melainkan penggalan email AH kepada Agus yang saya kutip di sini : “Selain itu saya mendapat banyak sekali saran dari para penggemarLaskar Pelangi bahkan dari anak-anak sekolah, rekan-rekan sesama penulis, guru-guru yang terinspirasi oleh Laskar Pelangi,dan dari para tokoh seperti Buya Syafii Maarif dan Bang Yusril Ihza Mahendra untuk berbuat sesuatu terhadap tudingan yang memberi kesan yang sangat keliru atas segala upaya saya mengenalkan karya buku Indonesia pada dunia.”
[caption id="attachment_237983" align="aligncenter" width="530" caption="Buya Syafi"]
[/caption]
Bagian mana yang mengganggu? Di situ AH menyampaikan bahwa niatnya memperkarakan tulisan Damar berkat membanjirnya saran dari para penggemar, anak-anak sekolah, sesama penulis dan guru-guru, serta tokoh sekaliber Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Yusril Ihza Mahendra. Kalau klaimnya soal saran dari para penggemar, biarlah itu jadi urusan AH untuk membuktikan siapa saja penulis, guru dan anak sekolah yang menyarankannya menempuh jalur hukum. Sedangkan klaim soal dukungan Yusril, terbukti dengan digandengnya Yusril menjadi pengacara yang konon katanya pro bono alias tak berbayar. Lalu bagaimana dengan Buya Syafi’i Ma’arif?
Kemarin malam saya mencoba membayangkan sosok sepuh nan arif bijaksana itu sedang “diwadhuli” (dicurhati) oleh AH tentang dirinya yang merasa “dituduh” oleh Kang Damar. Kalau mencermati argumentasi AH di media massa termasuk juga yang ditulis oleh Kompasianer Agushermawan, tampaknya concern AH hanya sebatas pada penerbitan bukunya yang diragukan diterbitkan oleh FSG dan soal label “international best seller” saja. Jika itu yang jadi sumber keberatan AH, dia sudah menjawab lugas dan diliput pers serta didukung media sekelas Tempo.
Yang saya bayangkan, Buya Syafi’i mungkin akan mengatakan : “ya sudah, kalau kamu sudah membantah dan memberikan bukti-bukti, sudah disiarkan media massa, gak usah lagi ditanggapi. Biarlah publik yang menilai.” Itulah bayangan yang berkelebat di benak saya, ketika mencoba menerka seperti apa kira-kira reaksi Buya Syafi’i Ma’arif. Saya tak bisa membayangkan – meski sudah saya coba – Buya Syafi’i akan bereaksi sebaliknya : memprovokasi AH agar menempuh jalur hukum.
Saya memang tak mengenal Buya Syafi’i secara pribadi, saya hanya mengenal sosoknya lewat televisi. Tapi kesan yang saya dapat ketika beliau diminta terlibat dalam Komisi Etik KPK tahun lalu, lalu para pengacara Nazaruddin mencibir dan meragukan kredibilitas anggota Komite Etik (termasuk Buya Syafi’i tentunya) karena rekomendasi yang dikeluarkan dianggap “tidak memuaskan” mereka, reaksi Buya Syafi’i sangat jauh dari kebakaran jenggot. Buya Syafi’i tetap sareh dan menjawab semua pertanyaan pengacara Nazar dengan senyuman. Dengan kematangan pribadinya – sebagai intelektual, sebagai ulama dan sebagai tokoh – Buya tak merasa terlalu terganggu dengan opini yang cobva dibuat pihak yang sedang “kecewa” dengan beliau. Bagi beliau, yang penting sudah menjalankan tugasnya dengan baik, sudah mempertanggungjawabkan kepada publik, ya sudah, silakan saja orang mau beropini seperti apa, tak perlu dilawan dengan mencak-mencak.
Dengan membawa nama Buya Syafi’i, AH terkesan ingin membawa masalah yang dihadapinya ke dalam sentimen “kelompok”. Memang latar belakang anak-anak dalam kisah Laskar Pelangi adalah siswa SD Muhammadiyah dimana kental sekali idealisme ke-Muhammadiyah-an dalam figur Ibu Guru Muslimah dan Pak Harfan, Kepala Sekolah. Saya masih ingat, anak-anak sebuah SD Muhammadiyah di Surabaya bahkan sengaja diajak nonton bareng dengan dikoordinir guru sekolah mereka. Tak bisa dipungkiri, meroketnya popularitas novel Laskar Pelangi ditunjang oleh banyak faktor, salah satunya film Laskar Pelangi dan segenap promosinya. Tingkat penjualan tiket film itu pun akan naik ketika sekolah2 SD Muhammadiyah mengadakan nobar. Hal yang tak dialami oleh sastrawan tempo dulu seperti Pramoedya Ananta Toer, NH. Dini, YB Mangunwijaya atau Buya Hamka.
[caption id="attachment_237991" align="aligncenter" width="600" caption="Penampilan Buya Syafii ketika menjadi anggota Komite Etik KPK (foto : nasional.inilah.com)"]
[/caption]
Kini, ketika integritas novelnya sedang dipertanyakan, Andrea Hirata mencoba membawa ketersinggungannya pada sentimen kelompok itu. Kalau pun seandainya benar – bahwa Buya Syafi’i Ma’arfi termasuk yang mengompori agar AH “berbuat sesuatu” dengan jalan menempuh jalur hukum – apakah beliau sudah tahu perihal lain yang ditulis oleh Damar Juniarto tentang klaim AH bahwa setelah menunggu selama 100 tahun akhirnya ada karya sastra anak bangsa Indonesia yang diakui dunia? Bukankah soal ini yang justru selalu tidak dijawab oleh AH? Tidakkah Buya Syafi’i juga perlu menasehati AH agar bisa sedikit lebih rendah hati dengan tidak mengesampingkan peran dan pencapaian para penulis sastra sebelum dia? Saya yakin Buya Syafi’i akan bersikap arif dan tidak berat sebelah, serta akan mendorong AH untuk bisa menghormati sastrawan lain.
Sebenarnya saya sudah menuliskan draft tulisan ini kemarin sore, hanya saja urung saya posting dan rencananya akan diposting hari ini. Ternyata, semalam ada tulisan di Kompasiana yang saya baca, judulnya : “10 Kritikus Sastra Bicara Tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelangi”. Tulisan yang panjang itu saya baca tuntas karena banyak sekali kutipan obrolan via facebook dari para kritikus sastra dan pengamnat buku. Tapi bagian yang paling menarik bagi saya adalah kutipan dari pernyataan Linda Christanti yang namanya ada dalam sampul novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, yaitu novel Edensor, dimana di situ Linda memberikan komentarnya. Selengkapnya, saya kutip utuh saja pengakuan Linda di bawah ini.
Suatu hari dia minta aku menulis komentar untuk novel ketiganya, Edensor. Tentu saja, aku minta dikirimi draft Edensor. Andrea hanya mengirim bab I. Aku minta dikirimi seluruh bab. Tak berapa lama dia telepon dan bilang bahwa dia saja yang akan membuatkan komentar untukku. Tujuan komentar itu untuk membuat bukunya laris, jadi harus bersifat menjual. Dia bilang begini, “Komentarmu ini saja ya. Edensor membuat saya mabuk kepayang.” Waktu itu aku menyangka dia bergurau. Nah, berbulan-bulan kemudian, dia kirim sms, “Mabuk kepayangnya jadi.” Itu tahun 2007. Aku kemudian ke toko buku Gramedia Pondok Indah, Jakarta. Kebetulan aku lagi di Jakarta. Aku langsung mau pingsan waktu membaca komentarku yang dia bikin: Andrea Hirata membuat saya mabuk kepayang. Hahaha…. Gila. Ya, ampun! Waktu itu aku sebenarnya sudah mau marah, tapi aku ini serba nggak enak dengan Yudi dan Ian. Kedua orang itulah yang kuhargai. Kupikir, Andrea juga nggak paham etika penulisan dan dunia intelektual. Jadi aku pikir kumaklumi saja kali ya. Tapi lama-lama, komentarku hasil karangannya itu sangat mengganggu dan juga merusak reputasiku. Ada teman yang bertanya apa sudah serendah itu seleraku dalam membaca sastra. (Untuk lebih lengkapnya anda bisa membuka blog INI).
Lalu ada lagi di blog yang INI, saya kutip utuh: Dari sedikit pertanyaan yang diajukan untuk Andrea, yang paling menarik adalah pertanyaan yang diajukan oleh perempuan asal Belitong bernama Linda Christanti, seorang aktivis HAM dan aktivis gerakan perempuan yang juga penulis cerita pendek yang pernah memenangkan penghargaan dari KOMPAS untuk cerita pendek terbaik dan juga pemenang penghargaan prestisius ‘Khatulistiwa Award’ untuk kategori cerita Fiksi. Linda yang sekarang tinggal di Neusu Banda Aceh, mempertanyakan bagaimana asal-usulnya Andrea mendapatkan komentarnya yang dimuat disampul belakang buku ketiga Andrea yang berjudul ‘Edensor’. Di sampul belakang ‘Edensor’ tertulis komentar dari Linda Christanti yang berbunyi “Andrea Hirata mebuatku mabuk kepayang”. Linda merasa penting untuk menanyakan itu di forum ini karena dia merasa sama sekali tidak pernah menulis komentar apapun untuk buku Andrea manapun apalagi sampai membuatnya mabuk kepayang.
[caption id="attachment_237992" align="aligncenter" width="390" caption="(foto : sindikasi.net)"]
[/caption]
Setelah membaca tulisan itu, saya jadi makin berpikir : benarkah Buya Syafi’i Ma’arif turut mengompori AH agar”melakukan sesuatu" atas tulisan Damar? Setidaknya saya jadi mengira ada 3 kemungkinan soal ini. Pertama, Buya Syafi’i memang menyuruh “melakukan sesuatu”, namun sesuatu itu mungkin sekedar sebuah klarifikasi terbuka yang ditulis oleh AH sendiri dan bukan ditulis oleh wartawan atau teman AH. Atau bisa juga “melakukan sesuatu” itu justru dorongan motivasi dari Buya Syafi’i agar AH berkarya lagi yang sehebat Laskar Pelangi, agar tidak hanya 1 itu saja karya AH yang “mendunia” sehingga dengan begitu klaim AH bahwa dirinya penulis yang diakui dunia makin terkonfirmasi. Sekali lagi “melakukan sesuatu” yang dimaksud Buya Syafi’i (jika benar Buya Syafi’i mengatakan demikian) belum tentu maknanya “menempuh jalur hukum”.
Kedua, bisa jadi Buya Syafi’i belum mendapatkan masukan secara komplit apa saja yang ditulis Damar dan apa saja klaim yang sudah dilakukan AH, termasuk soal penantian 100 tahun hanya untuk menunggu adanya karya sastra dari bangsa Indonesia yang diakui dunia. Sehingga jka yang disampaikan ke beliau hanya sebatas persoalan penerbitan dan label “best seller”, maka respon Buya pun hanya dari satu sisi, sebatas saran untuk melakukan sesuatu. Tentu akan beda jika Buya Syafi’i mendengar tentang klaim ini : “Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi alhamdulillah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia,” mungkin beliau akan memberikan nasihat agar AH meminta maaf atas klaimnya yang berlebihan dan mengecilkan sastrawan pendahulunya.
Ketiga, nah ini yang tidak saya harapkan, mungkin Buya Syafi’i tidak pernah mengatakan itu, seperti halnya Linda Christanti tidak pernah mengatakan “Andrea Hirata membuat saya mabuk kepayang”. Sungguh saya tidak berharap kemungkinan ketiga ini yang benar. Sebab saya sangat menyayangkan (bahasa Jawa : ‘melu ngeman’) jika nama baik, kredibilitas dan integritas Buya Syafi’i Ma’arif yang sudah dikenal selama ini sebagai solidarity maker (aktif dalam kegiatan lintas agama dan memperjuangkan issu HAM) kemudian image-nya berubah menjadi “provokator”. Seperti saya tulis di awal tulisan, sungguh saya tidak pernah bisa membayangkan seorang Buya Syafi’i Ma’arif bereaksi emosional dengan mengompori. Yang terbayang justru Buya Syafi’i menasehati agar AH berbesar hati, tak perlu terganggu dan gusar dengan komentar dan kritik orang lain jika tidak benar, sebaliknya justru menyibukkan diri dengan berkarya agar melahirkan buku sekelas Laskar Pelangi.
[caption id="attachment_237996" align="aligncenter" width="264" caption="Tetralogi Laskar Pelangi, novel Maryamah Karpov justru jadi anti klimaks (dekadeku.wordpress.com)"]
[/caption]
Akhirnya, kalau boleh menyarankan pada Andrea Hirata, apapun langkah yang akan dia tempuh, itu adalah hak AH sebagai warga negara. Menggandeng pengacara kondang sekelas Yusril Ihza Mahendra, itu juga hak AH. Adapun kritik yang dituliskan Pak Damar Juniarto, hanya ditujukan pada klaim AH, bukan mengkritisi isi tulisan apalagi mengkritisi cerita soal SD Muhammadiyah dengan Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Jadi sebaiknya AH tidak perlu melibatkan Buya Syafi’i Ma’arif jika akan mengajukan tuntutan hukum. Tapi, akan jauh lebih bijaksana lagi, jika AH berpikir seribu kali sebelum mengajukan tuntutan dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya bagi nama besarnya sendiri sebagai penulis. Ibaratnya : kalah jadi abu, menang jadi arang.
Lebih baik AH “membantah” keraguan orang tentang kaliber internasionalnya dengan melahirkan novel-novel lain yang juga meraih predikat international best seller. Sebab terus terang saja, dari novel tetraloginya, hanya Laskar Pelangi yang bagus, sedangkan Sang Pemimpi dan Edensor tak semenarik LP, apalagi Maryamah Karpov yang justru menjadi anti klimaks dan ke-fenomenal-an tetralogi ini. Mengutip komentar Kompasianer Michaell Sendow dalam tulisan Agushermawan : “berharap agar karya AH tidak menjadi karya “hebat kebetulan”. Maksudnya, hanya satu karya itu saja yang hebat, karena karya-karya setelahnya tidak ada yang bagus.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H