[caption id="attachment_215053" align="aligncenter" width="597" caption="Inilah penampilan pertama Dahlan Iskan yang mempesona publik saat bersepatu kets ke istana memenuhi undangan Presiden SBY (foto : generasiindonesia.com)"][/caption]
Sontak, puja puji dan kekaguman yang selama setahun belakangan ini ditujukan pada Dahlan Iskan, mantan pewarta yang sukses membangun bisnis media lalu ditunjuk jadi Dirut PLN dan sejak Oktober tahun lalu masuk kabinet pasca reshuffle. Sederhana sekali penyebabnya : Dahlan hanya menyebut 2 nama anggota DPR yang disebut “pemeras” BUMN saat ia dipanggil Badan Kehormatan DPR. Dua nama yang disebut berasal dari partai merah yang memang jadi partai oposisi Pemerintah dan dari partai kuning yang meski mengaku berkoalisi mendukung Pemerintah, namun kerap “nakal” merecoki Tuan Presiden melalui wakil-wakilnya di parlemen. Sementara, nama dari partai mercy biru dan partai putih-kuning yang semula disebut-sebut, sama sekali tak ada.
Kalau saja sejak semula Dahlan hanya mengatakan ada oknum anggota DPR yang memeras BUMN, tanpa menyebut jumlah, mungkin publik tak akan segeram itu. Masalahnya Dahlan semula menyebut ada sekitar 10-an nama yang sudah dia kantongi. Kalau Dahlan menyebut 9 nama, mungkin tak terllau jauh dari kata “sekitar 10-an”. Kalu membengkak jadi 11 atau 12, juga tak akan dipersoalkan. Masalahnya : dari 10 susut menjadi 2 itu drastis sekali! Apalagi sejak Dahlan berseteru dengan DPR, dia pernah dipanggil SBY. Bahkan Dipo Alam sang Sekretaris Kabinet pun jelas-jelas memposisikan diri di pihak Dahlan. Bukankah Dipo Alam pula yang belum lama ini mengeluarkan “peringkat korupsi” kepala daerah dan legislatif dari berbagai parpol yang menempatkan partai merah dan kuning di atas partai mercy biru.
Kini, kredibilitas ucapan Dahlan Iskan dipertaruhkan. Media Indonesia – koran milik Metro TV Grup – bahkan dalam editorialnya secara khusus menyoroti hal ini dan sedikit sinis pada Dahlan yang dianggap hanya memblow up kasus tapi ternyata tidak siap buka-bukaan. Reaksi penelepon yang masuk sepanjang acara itu juga beragam dan sebagian mulai mencela Dahlan Iskan. Ibarat sedang jadi trending topic, TV One pun mengangkat issu ini dalam acara AKI Pagi. Komentar melalui Twitter yang ditayangkan secara running pun sebagian besar menunjukkan kekecewaan atas tak sesuainya informasi yang diberikan Dahlan kepada BK DPR dengan issu yang dihembuskannya sendiri selama ini. Dahlan Iskan terkena senjata makan tuan? Mari coba kita pahami runtutan ceritanya.
[caption id="attachment_215054" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi Dahlan mengamuk di pintu toll dengan cepat menyebar di grup-grup BBM (foto : masdhenk.wordpress.com)"]
[/caption]
Perseteruan DI vs DPR kembali memanas setelah DI 2x tidak hadir memenuhi panggilan DPR untuk RDP. DI hanya mengirim Wakil Menteri BUMN. DPR menolak alasannya karena DI dipanggil bukan sebagai Menteri BUMN, tetapi sebagai mantan Dirut PLN untuk menjelaskan kebijakannya selama menjabat Dirut PLN yang disinyalir berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 37 triliun, seperti diungkap dalam laporan hasil audit BPK. Potensi kerugian itu akibat PLN menggunakan BBM sebagai sumber energi untuk pembangkit listriknya yang memasok aliran listrik DKI. Seharusnya digunakan gas sebagai sumber energi yang lebih murah. Nah, disinilah kehadiran Di mutlak diperlukan untuk menjelaskan alasan kebijakannya saat itu.
Sejak itu, entah bagaimana asal mulanya, DI kemudian melempar issu bahwa DPR telah menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Kontan issu ini makin menyulut amarah anggota DPR yang menantang DI membuka nama-nama oknum yang disebutnya sebagai pemeras. Bahkan ada yang mengatakan DI seharusnya membawa kasus ini ke KPK, sebab praktek suap menyuap dan permintaan uang secara paksa itu terlarang.
[caption id="attachment_215055" align="aligncenter" width="480" caption="Naik ojek membayar 150 ribu rupiah pun jadi berita besar (foto : article.wn.com)"]
[/caption]
Dalam wawancaranya di salah satu TV, DI pernah mengatakan ia tak ragu mengganti Dirut/ Direksi BUMN yang disinyalir “bermain mata” dengan DPR. Menurutnya, ia memang tak bisa mendapatkan bukti otentik perbuatan suap itu, karena tentunya kedua pihak akan bermain cantik agar tak ada bukti tertulis. Jika menunggu pembuktian secara hukum melalui pengadilan, menurut DI, bakal makan waktu lama sementara kinerja BUMN di bawah Direksi yang demikian akan makin tidak baik. Karena itu, menurut DI, ia akan mengganti Dirut/ Sireksi menggunakan kewenangannya sebagai Menteri BUMN, entah dengan alasan kinerja atau hal lain. Sampai di sini saya sepakat dengan argumen DI. Sulit menemukan bukti “transaksi” haram dengan DPR yang biasanya dilakukan tunai seperti dalam berbagai kasus, dimana uang diberikan dalam bungkusan kardus.
Karena itu, akan lebih baik jika DI melaporkan kecurigaannya kepada KPK, biarlah nanti KPK yang menelusuri dan mencari bukti-bukti formalnya. KPK lebih mumpuni dalam hal ini. Ketimbang melempar issu ini ke publik melalui media massa. Tentu saja media massa menganggap issu ini seksi untuk terus digelindingkan. Belakangan, mantan Menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, Sofyan Djalil ikut membenarkan bahwa BUMN menjadi perahan DPR itu sudah sejak lama. Lalu ada pula mantan Dirut Peruri – perusahaan negara yang dipercaya mencetak uang – ikut membenarkan issu yang digulirkan DI. Tadinya, saya pikir DI akan makin percaya diri seolah mendapat tambahan amunisi dari pendahulunya dan dari mantan Dirut Peruri.
[caption id="attachment_215057" align="aligncenter" width="640" caption="Naik KRL ke istana Bogor juga membuat gempar media massa (foto : clubbing.kapanlagi.com)"]
[/caption]
Sayangnya, alih-alih menjawab tantangan DPR dengan melapor ke KPK, kini DI justru mereduksi tuduhannya sendiri. Maka tak heran jika kini DPR makin punya peluang membidik DI. Mereka akan terus mengejar DI untuk membuktikan tuduhannya. Padahal, di tengah krisi kepercayaan yang begitu besar terhadap DPR dan terbelitnya sebagian anggota DPR dengan issu korupsi, mengatur anggran dan mafia proyek, sebenarnya DI sudah di atas angin. Dukungan publik sepenuhnya berpihak pada DI. Kalau DI melaporkan pada KPK, ia akan menang telak. Tapi DI memilih pasif menunggu dipanggil BK DPR. Padahal, masalah ini tak bakal selesai, sebab jika tuduhan DPR memeras ditangani BK ujung-ujungnya hanya akan jadi kasus etika saja, bukan kasus hukum berindikasi korupsi dan gratifikasi.
Lalu kenapa DI seolah “balik badan”? Benarkah DI hanya mem-blow up saja issu itu tanpa dasar, demi menyerang anggota DPR untuk tujuan menaikkan posisi tawarnya jika kelak ia hadir dalam RDP? Atukah DI sendiri tidak “bersih” sehingga ia tak berani banyak mengungkap khawatir balik diungkap? Atau lebih jauh dari itu ada kesepakatan terselubung antara DI dengan penguasa untuk tak menyentuh partai berkuasa? Adakah deal antara DI dengan parpol tertentu yang kelak akan jadi kendaraan DI menuju kursi RI-1 di 2014? Ataukah DI sengaja menyimpan 8 nama lainnya demi kepentingan yang lebih besar yang kelak akan dia jadikan kartu truf jika posisinya makin terjepit? Itulah sebagian kecurigaan publik yang mengemuka di media sepanjang sore kemarin hingga hari ini. Setidaknya, DI kini sudah bermain di ranah politik praktis, meski tak berparpol.
-------------------------------------------------
[caption id="attachment_215058" align="aligncenter" width="450" caption="DI memang insan pers sejati, yang tahu betul bagaimana mengelola citra dirinya di depan media massa (foto : balairungpress.com)"]
[/caption]
Menarik untuk menyimak latar belakang DI yang berasal dari pers. DI adalah insan pers sejati. Ia tumbuh dari wartawan biasa yang berkat kegigihannya berhasil membangun sebuah surat kabar lokal di Surabaya bernama Jawa Pos yang kemudian menjadi besar dan melebarkan sayapnya di seluruh penjuru tanah air melaui “Radar” di berbagai daerah. Kini, Jawa Pos bukan lagi koran lokal Surabaya, tapi sudah menjelma menjadi JPNN (Jawa Pos News Network) yang juga punya jaringan TV lokal. Sebagai insan media, DI tahu betul bagaimana menghadapi pers dan memainkan pers. DI paham benar membangun citra di depan pers tanpa terkesan melakukan pencitraan berlebihan.
Sebuah berita yang ditulis Merdeka.com mengulas bagaiman sepak terjang DI yang telah memukau publik selama ini, ternyata tidak terjadi begitu saja, melainkan telah dipersiapkan tim media yang siap meliput dan membesarkannya. Saya ingat, DI pertama kali dikenal karena tingkah nyentriknya datang ke istana memakai sepatu kets saat diundang Presiden SBY untuk ditawari posisi Menteri BUMN. Siapa pula yang mengekspose soal sepatu DI? Apakah ada pengamat yang fokus dengan sepatu DI? Tentu ada media atau wartawan yang pertama kali membesarkan soal sepatu kets ini.
[caption id="attachment_215063" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi DI saat mampir makan soto Kudus di Kauman sebelum berangkat rapat Kabinet di Istana Bogor. Meladeni diri sendiri atau merecoki bakul sotonya? (foto : tribunnews.com)"]
[/caption]
Lalu, menurut berita di Merdeka.com tersebut, saat DI membuat gebrakan naik kereta api ke Istana Bogor untuk menghadiri rapat kabinet, aksi itu mengundang perhatian media, sampai-sampai berita hasil rapat kabinet pun jadi terabaikan. Berikut saya kutip beritanya : “Usut punya usut ternyata memang rencana Dahlan itu sudah terorganisir secara rapi. Tak hanya naik kereta, Dahlan makan soto di Stasiun Bogor, naik ojek dan naik kereta lagi saat pulang menjadi berita hangat.”
Kita tentu masih ingat saat DI mengamuk di pintu tol Semanggi Jakarta, saat itu pagi-pagi saya sudah mendapatkan foto aksi DI dari 2 grup BBM yang saya ikuti. Begitu cepat meluas dari grup-grup BBM, bahkan mengalahkan pemberitaan di internet dan TV. Ternyata, disitu hadir juga tim medianya yang mengabadikan gambar berupa foto dan video, lalu tim itu memberi info kepada wartawan. "Tim medianya kasih info Dahlan abis buka pintu tol. Gambarnya juga dibroadcast via BBM," ujar seorang wartawan kepada merdeka.com, Selasa (5/11), demikian tulis Merdeka.com.
Jika apa yang ditulis Merdeka.com itu benar, alangkah kecewanya publik yang selama ini sudah begitu terpesona dengan langkah DI. Saya harap berita itu tidak benar dan masih menunggu keseriusan DI membuktikan ucapannya tentang 10 anggota DPR pemeras BUMN. Jika DI punya komitmen untuk memerangi perilaku korup, maka DI-lah yang harus berinisiatif datang ke KPK.
[caption id="attachment_215068" align="aligncenter" width="450" caption="Setelah makan soto di kaki lima, disambung dengan naik ojek ke istana. Siapa yang nyana kalau ini semua sudah disiapkan oleh tim medianya? (foto : rmol.co)"]
[/caption]
Saya terpikir untuk membandingkan langkah DI dengan apa yang sudah dilakukan Mahfud MD pada bulan Mei 2011 lalu. Saat itu pengacara Mindo Rosalina Manullang yang pertama kali menyebut nama Muhammad Nazaruddin terlibat kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram. Sontak Nazar membantah keras bahkan mengaku tak kenal dengan “ibu itu”, tak mau menyebut nama Rosa. Dalam jumpa pers didampingi Ruhut Sitompul dan Benny K. Harman, Nazar bahkan tersenyum lebar sambil menantang semua pihak membuktikan keterlibatannya, jangan hanya “katanya..., katanya..., katanya!”
Dari sanalah Mahfud MD tergerak untuk melaporkan perilaku tak terpuji Nazar yang pernah mencoba memberikan amplop berisi uang dolar Singapura kepada Sekretaris MK. Memang, pemberian pada Sekretaris MK itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus suap Sesmenpora. Tapi Mahfud ingin sekali lagi menyampaikan kepada SBY bahwa Nazar yang menjabat sebagai Bendum Partai Demokrat bukanlah orang bersih. Mahfud datang ke istana mengajak serta Sekretaris MK. Usai bertemu SBY, Mahfud diajak melakukan konpers bersama dan Mahfud membuka semuanya. Sejak saat itu pers dan publik jadi tahu karakter Nazar yang sebenarnya. Pasca keterangan Mahfud MD itu, Demokrat seolah tak punya pilihan lain selain memecat Nazar dari posisi Bendum.
[caption id="attachment_215069" align="aligncenter" width="360" caption="Mahfud MD saat jumpa pers bersama SBY usai melaporkan perilaku Nazaruddin yang melanggra etika (foto : republika.co.id)"]
[/caption]
Akibat tindakannya itu, Mahfud menuai kecaman dari rekan separtai Nazar, terutama Ruhut Sitompul. Mahfud dituduh kebelet jadi Presiden. Namun Mahfud tak surut dengan langkahnya. Karena Ruhut terus menyerangnya, Mahfud bahkan kemudian membeberkan bahwa ia sebenarnya sudah lama melaporkan hal ini pada SBY, hanya saja SBY mendiamkan laporannya, sampai meledaknya kasus suap Sesmenpora. Tak hanya itu, Mahfud MD pasang badan untuk melindungi bawahannya, Sekretaris MK, yang berstatus PNS, agar ia tak mengalami tekanan politis.
Mahfud juga mengatakan bukan hanya Nazar pengurus DPP Partai Demokrat yang bermasalah hukum. Ketika ditantang, Mahfud kemudianb membuka kasus dugaan pemalsuan Surat Putusan MK oleh mantan Komisioner KPU, Andi Nurpati. Mahfud bahkan bisa menunjukkan bukti surat laporannya kepada kepolisian yang sebenarnya sudah sejak 2010 hanay saja tak ditindaklanjuti Polri, apalagi Andi Nurpati kemudian keluar dari KPU dan masuk ke Demokraqt mengikuti jejak Anas Urbaningrum. Dari celoteh Mahfud dan bukti-buktinya, DPR kemudian membentuk Pansus, Polri yang lama bergeming akhirnya terpaksa bergerak. Meski kini kasus itu mandeg, bola panasnya bukan lagi di tangan Mahfud MD.
Nah, akankah Dahlan Iskan berani bertindak seperti Mahfud MD? Jangan hanya melempar issu, tapi berikan keterangan langsung kepada yang berkompeten menangani. Tak perlu berkoar pada pers dulu, baru jika laporannya tak digubris, pers bisa diberitahu untuk membantu melakukan trial by the press. Pak DI, rakyat kini semakin pintar. Hendaknya jangan membuat blunder yang akan jadi bumerang bagi citra diri Bapak. Bapak seorang profesional, lebih baik tetaplah bersikap profesional ketimbang bermain-main api dengan politik praktis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H