[caption id="attachment_214209" align="aligncenter" width="570" caption="foto : pajak.go.id"][/caption]
Sudah 2 minggu ini pemberitaan diramaikan saling lempar pernyataan dan saling tuding antara Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan beberapa anggota DPR yang terhormat dari berbagai fraksi. Yang satu memang sedang disanjung dan di puja puji setidaknya setahun belakangan ini karena aksinya yang santai (bersepatu kets ke istana), cuek (naik ojek menghadiri rapat kabinet) dan merakyat (naik KRL, makan soto di kaki lima). Sedang yang lainnya sedang dibenci dan dijadikan tumpahan kekesalan masyarakat akibat banyaknya kasus dugaan korupsi, suap, makelar proyek dan kong kalikong anggaran yang dilakukan beberapa (banyak) anggotanya.
Maka, bisa ditebak kemana larinya simpati publik. Meski tak mengenal banyak Dahlan Iskan dan tak tahu pasti permasalahannya, masyarakat lebih memposisikan diri berada di pihak Dahlan Iskan. Apalagi belakangan DI juga mengusung issu “BUMN sapi perah DPR”. Sebuah issu yang ibarat kentut sudah sejak lama tercium bau busuknya, tapi tetap tak ketahuan dari mana keluarnya gas buangan metabolisme itu. Sejak jaman ORBA, partai penguasa saat itu memang seolah menguasai BUMN. Ketika kekuasaan berganti, posisi Menteri BUMN selalu diisi oleh “orang dekat” Presiden. Jaman Gus Dur jadi Presiden, Menteri BUMN dipegang Moenir. Saat Megawati kebagian giliran berkuasa, Laksamana Sukardi didapuk jadi Menteri BUMN. Ini menunjukkan betapa strategisnya kementrian yang mengurusi lebih dari 100 perusahaan plat merah itu.
Tetapi baiklah kita letakkan setiap persoalan pada proporsinya. Ada hasilaudit BPK yang menyatakan PLN pada tahun 2010 berpotensi merugikan negara sebesar Rp. 37 triliun karena adanya in-efisiensi pemakaian BBM sebagai sumber energi pembangkit listrik. Disebutkan “berpotensi” dan “in-efisiensi” karena seharusnya ada peluang atau setidaknya ada kemungkinan untuk melakukan penghematan jika memakai gas, yang menurut perhitungan BPK nilainya Rp 37 T, sedang menurut Di seharusnya malah lebih besar dari itu.
Dalam hal ini Di mengakui dirinya saat menjadi Dirut PLN telah mengambil kebijakan menggunakan BBM sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik yang menjamin pasokan listrik DKI. Hal ini, menurut Dahlan karena gas yang dijanjikan ternyata tidak ada. Dahlan bahkan mengaku saat itu dirinya sempat ke Iran untuk membeli gas, bahkan sempat menginstruksikan Direksi di bawahnya untuk menjajagi kemungkinan PLN membeli sumur gas. Alhasil, DI tak memungkiri potensi kerugian itu memang ada dan jika kebijakannya dianggap keliru, maka dirinya siap mempertanggung-jawabkan, bahkan sampai masuk penjara sekalipun. Dalam 2x wawancaranya di Metro TV, Dahlan dengan firm mengucapkan kalimat “saya bersedia dipenjara”. Bahkan dalam kesempatan menjadi tamu di acara Mata Najwa, yang ditayangkan Rabu, 31 Oktober 2012 malam, Dahlan menambahkan jika itu terjadi dirinya dengan ikhlas akan menjalani hukuman, berjanji tak akan membela diri dan tak akan menangis-nangis dan bertingkah lebay.
Saya pribadi menghargai sekaligus salut dengan pernyataan DI ini. Setidaknya DI tidak berpura-pura lupa dengan kejadian saat ia memimpin PLN, seperti umumnya pejabt yang terserang “amnesia” dadakan. DI juga tidak seperti Andi Mallarangeng yang selalu berkilah ia hanya meneruskan kebijakan pendahulunya (yang membuata mantan Menpora Adhyaksa Dault meradang) atau menyatakan tak tahu menahu karena itu urusan anak buahnya. Pernyataan DI yang diulang 2x dalam kesempatan dan waktu yang berbeda, tampak lebih masuk akal dan meyakinkan ketimbang sumpah Anas bersedia digantung di Monas jika terbukti 1 rupiah saja korupsi dana Hambalang. Masuk akal karena DI tak menggunakan perumpamaan yang tak dikenal (misalnya pecahan 1 rupiah) dan realistis karena ia menyebut penjara dan tak mengkhayalkan digantung di Monas. Meyakinkan karena Di berani mengulangi pernyataannya, sedangkan Anas sekarang justru tampak enggan dan sedikit berang jika sumpahnya itu diungkit.
[caption id="attachment_214211" align="aligncenter" width="465" caption="foto : republika.co.id"]
[/caption]
Maka, jalan terbaik bagi DI untuk membuktikan dan menguji kebenaran keputusannya adalah : segera bersikap kooperatif dengan menghadiri undangan Komisi VII DPR untk RDP terkait temuan BPK itu. Tentu saja Di berhak membawa serta siapa saja yang saat itu tahu proses pengambilan keputusan, membeberkan semua data dan fakta yang melatarbelakangi pengambilan keputusan dll yang diperlukan. Ini bukan bentuk membela diri, tapi bagian dari keterbukaan untuk menlusuri apakah DI sebagai Dirut PLN saat itu memang telah mengupayakan dengan sungguh dan dan mensinergikan semua potensi PLN hingga sampai pada satu titik tak ada pilihan lain selain menggunakan BBM.
Nah, kalau DI sudah bersedia mempertanggungjawabkan keputusannya yang dinilai in-efisien, lalu bagaimana dengan DPR sendiri? Sudahkah DPR sebagai sebuah lembaga dengan 550 anggota yang terdiri dari 9 fraksi secara bersama-sama melakukan introspeksi atas setiap keputusan politis yang mereka buat? Benarkah DPR relatif efisien dan tak pernah melakukan pemborosan keuangan negara? Benarkah DPR telah bekerja dengan efisien sehingga target legislasi terpenuhi?
Yang paling sering kita dengar cerita DPR plesiran ke luar negeri. Sekitar sebulan lalu TV One malah pernah menggelar acara ILC yang topiknya khusus membahas betapa tak efektif dan tak efisiennya studi banding DPR ke luar negeri. Lengkap dengan testimoni beberapa perwakilan mahasiswa Indonesia di Jepang, Malaysia, Jerman, Belanda, Perancis, dll. Kita tentu sudah pernah dengar cerita konyolbin lucu tentang sekelompok anggota DPR yang terpotret sedang bersampan menyusuri kanal di Denmark, disela-sela studi banding soal logo PMI ke Turki. Alasan studi bandingnya saja sudah lucu dan “gak penting banget”. Bukankah kalau hanya menggali sejarah lambang palang merah sedunia, bisa dilakukan melalui internet bukan?
Begitu pula saat mereka studi banding soal “etika” ke Yunani, yang hasilnya tak membuat anggota DPR kita jadi tampak lebih beretika. Dan masih banyak lagi studi banding tak begitu penting dan mengada-ada, yang ujung-ujungnya selalu kepergok mereka sedang berbelanja di pusat-pusat belanja mewahh di negeri orang. Belum lagi perilaku mereka membawa istri dan keluarganya saat studi banding. Bukankah ini jelas-jelas pemborosan yang tak perlu? Bukan saja sekedar sebuah potensi, tapi sebuah fakta! ICW, FITRA dan beberapa LSm lain sudah sering membeberkan fakta dan data yang mereka punya.
Belum lagi keputusan membuat ruang rapat banggar senilai 20 miliar, meski akhirnya diubah total, bukankah sudah sempat ada dana yang keluar? Juga pengadaan mesin absensi sidik jari yang menelan biaya 4 miliar, padahal harga finger print hanya 2,5 – 6 jutaan saja. Saya pernah menuliskannya setahun lalu dan di-HL-kan oleh Admin. Begitupun pembangunan area parkir motor yang menelan biaya 3 miliar meski akhirnya setelah jadi parkiran motor itu lebih banyak melompong tak terpakai. Juga renovasi toilet berbiaya 2 miliar dan rencana pembangunan gedung baru senilai 1,7 triliun yang dibatalkan karena besarnya hujatan publik.
Saya sebagai rakyat kebanyakan, sering berpikir : kalau DPR membuat keputusan yang tidak efisien dan boros, kerugian negara itu sudah jelas dan bukan sekedar potensi, lalu siapa yang berhak memanggil DPR? Mencecar mereka dalam “dengar pendapat”?! Bukankah mereka wakilkita tapi tak pernah mendengarkan pendapat kita lagi? Jadi, sebenarnya DPR memanggil Dahlan Iskan dan akan mengadili keputusannya itu demi rakyat atau demi gengsi semata? Dan kalau DPR juga mati-amtian berkelit bahwa mereka telah bekerja keras dan berusaha menyelematkan uang negara, apakah itu benar demi rakyat atau demi citra diri, partai dan profesinya agar 2014 masih laku dipilih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H