Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Geliat Kehidupan Dimulai di Jalan Tol [WPC-4]

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1337274488982189759

[caption id="attachment_181982" align="aligncenter" width="522" caption="Jalan toll yang menuju ke Jakarta, difoto jam 05.26, ada garis warna mirip pelangi di batas horizon"][/caption]

Ruas jalan toll Jakarta–Merak atau Tangerang–Merak dalam kurun waktu setahun belakangan ini mungkin jadi ruas jalan toll yang paling sering diberitakan di media masss, terutama televisi. Masalahnya apalagi kalau bukan penumpukan kendaraan sampai berkilo-kilo meter selama berhari-hari, karena tak terangkut kapal penyeberangan menuju ke Sumatera, melalui jalur penyeberangan Merak – Bakauheni. Tak kurang antrian panjang ini sampai membuat Kepala ASDP Merak dicopot dan diganti, tapi  toh masalah tak langsung selesai.

Tidak heran jika ruas jalan toll ini boleh dibilang terpadat volume kendaraan yang melaluinya dan umumnya yang melintas sebagian besar adalah kendaraan niaga. Mulai dari bis-bis penumpang dari dan ke berbagai kota tujuan di Sumatera, Jabodetabek dan Jawa Barat, sampai aneka truk pengangkut berbagai komoditas. Truk biasa, dump truck, truk tangki, trailer, truk kontainer, setiap hari ratusan bahkan mungkin ribuan jumlahnya yang lalu lalang di ruas jalan toll ini.

Sampai setahun lalu, ketika saya masih berkantor di kawasan Sudirman, jakarta, setiap hari kerja jam 6 pagi saya sudah melintasi jalan toll itu menuju ke Jakarta. Dan bisa dibilang tiap hari pula saya selalu melihat pemandangan rutin truk terguling. Entah truk gandengan, truk biasa, pengangkut kontainer dan lain-lain. Kata sopir kantor kami, biasanya kecelakaan itu terjadi sekitar jam 2 dini hari sampai menjelang jam 4 pagi, titik kritis dimana para sopir mengalami fatigue dan mengantuk. Memang seringkali kecelakaan itu bukan antar truk, tapi kecelakaan tunggal. Semisal menabrak pembatas pagar pemisah jalur jalan toll, menabrak tebing di sisi jalan toll, atau terguling ke jurang di sisi jalan toll. Setiap hari bisa lebih dari satu kecelakaan yang saya temui.

[caption id="attachment_181983" align="aligncenter" width="576" caption="Hasil jepretan hari pertama, 14 Mei 2012, dalam format hitam-putih"]

1337274604108136349

[/caption]

Memang kebanyakan kendaraan ukuran besar itu baru melaju dari pusat-pusat industri di sekitar Jakarta – Cikarang, Jababeka, Tangerang, dll. – menuju ke Merak menjelang tengah malam, saat arus lalu lintas di toll dalam kota Jakarta sudah tak lagi ramai. Kondisi jalan toll yang lengang ditambah sopir yang ingin segera sampai tujuan, membuat mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Akibatnya, mudah kehilangan kendali ketika konsentrasi kabur karena lelah.

Sebaliknya, arus kendaraan dari Merak menuju ke Jakarta yang umumnya mengangkut hasil bumi – pisang, kelapa, dll. – ramai di Subuh hari. Ini karena kapal dari Bakauheni merapat di Merak menjelang Subuh. Jadi mobil kantor kami biasanya beriringan dengan truk-truk pengangkut pisang dari Lampung.

Jalan toll Jakarta – Merak ini memiliki 3 pintu keluar : pintu toll Cilegon Timur, Cilegon Barat dan Merak. Pintu toll Cilegon Barat, letaknya hanya sekitar 300 meter dari jalan masuk menuju komplek perumahan yang saya tinggali. Di jalan komplek perumahan saya, membentang jembatan yang view-nya kiri-kanan adalah ruas jalan toll itu. Kalau terjadi antrian panjang, biasanya sudah bisa terlihat dari atas jembatan perumahan saya.

[caption id="attachment_181984" align="aligncenter" width="422" caption="Pagar pembatas jalan toll, gambar diambil jam 05.26 WIB"]

13372746791902222733

[/caption]

Saya suka mengambil gambar kondisi jalan toll. Selama ini setiap kali mengambil gambar, pasti “jaring-jaring” kawat pembatas pagar jembatan selalu tampak di hasil foto. Pagar pembatas itu tingginya sekitar 3 meter dan melengkung di bagian atas. Sebelum jejaring kawat besar, sekitar 25–30 cm di depannya ada rangka baja penopang pagar kawat. Ternyata, baru belakangan saya bisa mengakali bagaimana menyelusupkan lensa tele kamera pocket saya melalui lubang-lubang anyaman kawat itu. Konsekwensinya saya harus merapatkan tubuh pada rangka baja, mau tak mau baju saya harus rela kotor menempel di rangka jembatan. Hanya sebatas lensa tele yang bisa “nongol” keluar dari jejaring kawat. Jadi kalau saya ingin mengubah view hasil foto, saya hanya bisa menggerakkan sedikit lensa tele itu ke arah atas, bawah, atau miring kiri – kanan.

[caption id="attachment_181985" align="aligncenter" width="655" caption="Pintu toll Cilegon Barat, hunting hari ke-2, jam 05.27 WIB"]

1337274806976828495

[/caption]

[caption id="attachment_181986" align="aligncenter" width="425" caption="Pintu toll Cilegon Barat hari yang sama, jam 05.28 WIB"]

1337274901526171220

[/caption]

Cara lain : saya berpindah lubang anyaman. Cara memotret seperti ini sangat tidak nyaman dan saya pun tak sepenuhnya bisa melihat melalui layar kamera, seperti apa obyek yang saya foto. Maklum, ukuran tubuh saya yang tak begitu tinggi, membuat saya harus sedikit berjinjit kalau hendak memotret garis horizon pemandangan ini. Belum lagi tangan saya yang harus terulur sekitar 30 cm dari rangka baja sampai menempelkan kamera di jejaring kawat. Tentu saja tali kamera sudah saya lilitkan baik-baik ke pergelangan tangan. Sebab kalau sampai jatuh, hmm..., bisa “wassalam” deh umur kamera itu.

[caption id="attachment_181987" align="aligncenter" width="437" caption="Ruas jalan yang menuju Jakarta, hunting hari ke-2, jam 05.29 WIB"]

13372749891017707543

[/caption]

[caption id="attachment_181988" align="aligncenter" width="576" caption="Posisi dan hari yang sama, jam 05.31 WIB. Sinar besar itu berasal dari lampu terbesar jalan toll."]

13372750681426282137

[/caption]

[caption id="attachment_181989" align="aligncenter" width="576" caption="Posisi dan hari yang sama, jam 05.32 WIB"]

13372751841609474147

[/caption]

Kesulitan itu masih ditambah lagi dengan adanya banner raksasa setinggi 2 meter yang dibentangkan di sebelah luar menempel pada pagar kawat. Total panjang banner itu sekitar 16 – 18 meter, karena ada 2 banner (milik pengembang perumahan kami dan milik perusahaan operator jalan toll). Jadi area yang bisa saya pakai untuk memotret tak terlalu luas. Ini pagar jembatan di sebelah kiri, yang view-nya ke arah ruas jalan toll menuju Jakarta. Sedangkan di sisi kanan jalan, yang view-nya menghadap pintu keluar toll Cilegon Barat, meski bannernya hanya sepanjang 6 -7 meter saja, tapi sepanjang pagar jembatan dipenuhi bendera parpol yang berjajar setiap setengah meter. Bendera itu entah sudah berapa tahun nangkring di sana. Kondisinya kotor, lusuh, robek-robek, sehingga tiap saat terkena angin akan menghalangi kamera. Sering ketika saya jepretkan kamera, yang muncul di layar justru sobekan bendera yang terkena angin. Tapi itulah uniknya perjuangan memotret jalan toll.

[caption id="attachment_181990" align="aligncenter" width="528" caption="Pintu keluar toll Cilegon Barat, hunting hari ke-3, jam 05.30 WIB"]

1337275248296716919

[/caption]

[caption id="attachment_181991" align="aligncenter" width="576" caption="Posisi yang sama semenit kemudian, 05.31 WIB"]

13372753261852176140

[/caption]

[caption id="attachment_181992" align="aligncenter" width="576" caption="Ruas jalan menuju Jakarta, hunting hari ke-3, jam 05.23 WIB"]

13372753951156820008

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline