Malam itu, saya baru bisa membaringkan tubuh di atas selembar tikar plastik di beranda rumah Pak Heri, ketika jam sudah menunjukkan lewat jam 12 malam. Entah karena masih asing dengan lingkungan baru atau karena terlalu lelah, mata saya tak kunjung terpejam sampai sekitar jam 00.30. Menjelang jam 1 mungkin baru terlelap. Entah berapa lama terlelap, tiba-tiba saya terjaga dikejutkan getaran keras seakan bumi diguncang-guncang. Mata saya nanar menatap bohlam lampu di atas kepala saya. Rasanya bohlam lampu tak bergoyang. Saya sendiri merasa kurang awas karena suasana gelap, lampu saya matikan. Saya raih BB dan melihat jam, 02.27 WIB.
Saya balikkan badan menerawang ke arah dapur rumah Pak Heri, saya perhatikan lembaran kain putih yang menggelantung di seutas tali rafia yang terentang. Saya juga tak jelas melihat goyangannya. Saya jadi bingung, ini gempa atau bukan? Getarannya sangat terasa. Seorang relawan putri yang tidur di samping saya terbangun hampir bersamaan dengan saya. Dia juga bertanya-tanya ini gempat atau bukan. Sejurus kemudian dia sms temannya di Serang dan Cilegon, memastikan apakah getarannya juga dirasakan sampai di sana. Dari kamar sebelah, saya dengan seorang relawan pria terbangun dan menelpon rekannya. Ketika getaran berlalu, saya kembali membaringkan tubuh dan mencoba tidur. Kepala saya pusing, kelelahan, kurang istirahat dan kaget. Kombinasi yang pas untuk sakit kepala!
Jam 04.25 saya terbangun, suara Pak Heri melalui loudspeaker masjid membangunkan warga untuk bersiap sholat Subuh. Saya pun bangun dan buru-buru ke kamar mandi, mumpung yang lain belum bangun. Saat saya kembali, adzan Subuh berkumandang, semua sudah bangun. Kami lalu sholat Subuh bergantian. Jam 05.30 keadaan mulai terang, saya dan relawan putri lainnya menuju ke rumah Pak Lurah untuk memasak sarapan. Kami sudah membawa 10 kg beras, 1 pouch minyak goreng, 2 kg gula, kopi, nungget, tempe dan bahan-bahan lainnya. Sampai di sana, relawan pria sudah sibuk di depan laptop masing-masing.
[caption id="attachment_175212" align="aligncenter" width="431" caption="Masak keroyokan di dapur Bu Lurah"]
[/caption]
Kami bertukar cerita soal gempa semalam. Rupanya, getaran yang saya rasakan belum seberapa, sebab rumah Pak Heri berdinding gedek (anyaman bambu) sedang lantainya yang saya tiduri dari papan yang tidak sepenuhnya rapat. Dan bangunan itu tak berdiri langsung di atas tanah, tapi ada semacam kayu penyangga, mirip rumah-rumah di Jepang. Jadi getaran bisa dieliminir. Sedang rumah pak Lurah yang terbuat dari batu bata, tinggi dan dibangun di atas tanah, membuat getaran terasa sekali. Jadi tak heran kalau mereka berhamburan keluar.
Kebetulan jam segitu sebagian relawan pria masih berjaga, menyesuaikan materi dengan target sasaran pelatihan, dll. Setelah perjalanan panjang, hampir semuanya sedang men-charge HP dan laptopnya. Kuatir sekali terjadi korsleting listrik. Apalagi gempa susulan ke-2 lebih kencang getarannya. Pusat gempa kabarnya gadri Pandeglang dengan kekuatan 6 SR. Jadi malam itu mayoritas kami kurang tidur karena tak bisa nyenyak, kuatir ada gempa susulan lagi.
Pagi itu saya bersama adik-adik relawan memasak seadanya, sementara yang lain ada yang mengajak Siti bermain-main dan berfoto bersama. Kesempatan masak sambil ngobrol, tak saya sia-siakan untuk mengorek sebanyak mungkin informasi dari Bu Lurah seputar kesimpangsiuran soal “Siti” yang pertama kali di-ekspose melalui acara Orang-Orang Pinggiran (OOP) di Trans 7. Rupanya Contact Person (CP) yang ditunjuk oleh Trans 7 tak ubahnya seperti “agen” yang bertugas mencari “target” untuk diekspose. Warga kampung sini menyebutnya “calo”. Sebab sebelum memasukkan Siti ke acara OOP. Ia sudah memasukkan 3 orang lain, dan setelah Siti, 4 minggu kemudian ada episode OOP, CP-nya juga orang yang sama. Saya sangat bersyukur menggandeng Rumah Zakat dan tidak mempercayakan sepeserpun bantuan pembaca Kompasiana melalui si CP. Sebab ketika diminta untuk mengantar kami ke kampung Siti, orang tersebut juga menolak dengan berbagai alasan. Kata warga kampung sini, orang itu tak berani lagi datang ke sana.
[caption id="attachment_175213" align="aligncenter" width="384" caption="Meski menu sangat sederhana, sarapan pagi tetap asyiiik..."]
[/caption]
Jam 7, semua masakan beres, kami langsung makan bersama. Siti yang masih belum mandi juga kami ajak makan bersama, sepiring berdua dengan Cahya, putri Pak Lurah yang masih kelas 3 SD. Sarapan pagi sederhana : tempe goreng, nungget goreng, telur dadar, plus kerupuk. Semua serba gorengan, bukan komposisi yang sehat sebenarnya, tapi apa boleh buat, tak ada waktu untuk ke pasar membeli sayuran. Setelah semua selesai makan, kami bergegas membereskan ruangan beranda rumah Pak Lurah, karena akan disulap jadi arena pelatihan untuk anak-anak. Semual target kami anak ABG dan remaja. Tapi dari hasil diskusi dengan Pak Lurah pada Sabtu malam, acara dialihkan untuk anak usia SD, yang jumlahnya mayoritas. Sementara sebagian sibuk men-setting ruangan, sebagian yang lain mulai mengangkuti obat-obatan dan peralatan medis ke Balai Desa, tempat acara Siaga Sehat dilaksanakan.
-----------------------------------------------------------
SIAGA SEHAT : MULAI NENEK RENTA BERTONGKAT SAMPAI BAYI BARU LAHIR
[caption id="attachment_175214" align="aligncenter" width="384" caption="Pasien yang kebanyakan Ibu-Ibu"]
[/caption]
Jam 08.30, Balai Desa sudah dipenuhi warga yang sebagian besar kaum ibu, banyak diantaranya yang mengendong balita. Pak Lurah baru memanggil Pak RT pagi tadi, lalu secara ketok-tular Pak RT memberitahu warganya bakal ada pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis. Dalam tempo sekejap warga sudah berkerumun di depan Balai Desa. Bahkan agak siangan ada beberapa orang yang datang dari kampung sebelah.
Ketika saya diminta menyampaikan maksud program ini, saya sampaikan bahwa para pemcaba Kompasiana telah mengumpulkan sejumlah dana sejak bulan Maret lalu, demi membantu Siti. Tapi karena dalam perkembangannya Siti telah mendapatkan jaminan dari seorang pengusaha nasional, kami bermaksud memanfaatkan dana itu agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga kampung Cipendeuy, agar tak hanya Siti yang menuai berkah dari pemberitaan tentang dirinya. Warga lain pun bisa ikut merasakan limpahan berkah dari banyaknya pengunjung dan dermawan yang berdatangan ke kampung mereka.
[caption id="attachment_175215" align="aligncenter" width="224" caption="Terima kasih dari Pak Lurah mewakili warga, atas bantuan pembaca Kompasiana dan Rumah Zakat"]
[/caption]
Warga sangat antusias dan tampak sorot matanya bersinar penuh rasa terima kasih, sembari mengangguk-angguknan kepala pertanda setuju dengan ungkapan saya. Dalam sambutannya, Pak Lurah juga mengucapkan terima kasih pada dermawan dan pembaca Kompasiana atas kepeduliannya pada kondisi warganya. Inilah yang selama ini beliau harapkan : agar para donatur mau melirik kondisi warga lainnya, agar tak terjadi kecemburuan sosial.
[caption id="attachment_175217" align="aligncenter" width="314" caption="Neneuk Tua dengan tongkatnya, pasien yang gigih"]
[/caption]
Begitu acara dibuka, spontan warga yang sudah berkumpul menyerbu meja pendaftaran. Karena khawatir mereka berjubel dan berdesakan, saya meminta mereka bergantian tiap 10 orang mendaftar, kalau sudah selsai baru ganti giliran berikutnya. Kami berjanji semua akan dilayani sampai tuntas. Akhirnya warga bersedia antri dengan tertib. Maklum, hanya ada 1 buah meja tempat relawan menulis status pasien dan selembar kupon. Setiap warga yang datang dibagikan kupon berobat, di kupon itulah kemudian dicatat identitas pasien, usia dan keluhan penyakitnya.
[caption id="attachment_175218" align="aligncenter" width="481" caption="Dokter Ali memeriksa pasien, menulis resep beralaskan tutup mesin ketik"]
[/caption]
Karena tak ada meja, Dokter Ali terpaksa menulis beralaskan tutup mesin ketik. Sementara relawan yang lain menjadikan kardus atau kontainer box plastik sebagai pengganti meja. Pokoknya serba sederhana dan seadanya, tapi tetap tak mengurangi kesungguhan dan ketulusan dokter dan relawan memeriksa pasien dan mendengarkan semua keluhan mereka. Ada nenek tua renta yang datang sambil membawa tongkat kayu panjang, tongkat buatan sendiri. Saya sempat membantunya masuk ke Balai Desa sebelum akhirnya dituntun relawan. Saya kagum pada kegigihan Nenek Tua itu tertatih-tatih dibantu tongkat, padahal jalan ke Balai Desa berbatu-batu, sedikit menanjak dan licin. Meski usianya sudah renta, kesadarannya untuk berobat secara medis patut diacungi jempol. Padahal umumnya orang setua itu, orang kampung pula, tak mudah percaya pada pengobatan medis oleh dokter dan obat-obatan kimiawi. Tapi si Nenek ini memang “modern”.
[caption id="attachment_175219" align="aligncenter" width="362" caption="Kakek Tua, pasien yang sabar menanti"]
[/caption]
Ada juga Kakek Tua yang dengan sabar antri diantara puluhan Ibu-ibu. Kaum Ibu inilah yang umumnya “agresif”, maklum mereka menggendong anaknya, jadi maunya didahulukan. Bahkan ada seorang Ibu yang datang membawa bayinya yang masih “merah”. Mungkin usianya masih hitungan hari. Kami bersyukur banget, melihat animo warga, artinya pilihan kami untuk menyalurkan bantuan dari dermawan dan pembaca Kompasiana dengan melakukan bakti sosial Siaga Sehat sudah sangat tepat. Maklum, Puskesmas yang jaraknya puluhan kilometer membuat warga jarang punya kesempatan berobat. Selain masalah transportasi juga masalah biaya.
[caption id="attachment_175221" align="aligncenter" width="446" caption="Bayi masih "]
[/caption]
Setelah status dan keluhannya dicatat, mereka diperiksa tensinya oleh para relawan medis. Lalu Dokter Ali memeriksa kesehatannya dan memberikan resep obat. Relawan putri yang bertugas di bagian obat berperan layaknya petugas “apotik”. Mereka menyiapkan obat sesuai rekomendasi dokter. Bersama dengan obat mereka mendapat tambahan 1 kaleng kornet daging sapi/kambing dari Rumah Zakat, yang merupakan kornet Super Qurban. Jadi selain mendapatkan obat sesuai penyakitnya, pasien mendapat bonus makanan bergizi yang bisa dikonsumsi sekeluarga. Inilah kolabirasi manfaat dari pembaca Kompasiana dan Rumah Zakat.
[caption id="attachment_175223" align="aligncenter" width="478" caption="Relawan Medis Rumah Zakat"]
[/caption] [caption id="attachment_175225" align="aligncenter" width="495" caption="Relawan putri Rumah Zakat yang jadi "]
[/caption]
Rencana semula acara Siaga Sehat berakhir jam 12 siang tepat dengan sasaran 100 pasien. Tapi karena masih banyak yang berdatangan, relawan terus melayani sampai semua yang datang tertangani. Kasihan kalau sampai ada yang ditolak, bukankah kami datang kemari juga tak bisa sering-sering, meski warga berharap demikian. Sekitar jam 12.30-an semua pasien selesai tertangani. Total ada sekitar 130-an pasien yang mendapat manfaat dari program ini. Setidaknya, niat semula membantu Siti dan Ibunya, kini 130 warga lainnya ikut merasakan manfaatnya. Belum lagi 70-an anak yang ikut mendapatkan manfaat dari pelatihan motivasi dan pemberian makanan tambahan. Untuk program yang ini akan saya tulis di bagian – 3. Harap sabar menunggu antrian...
[caption id="attachment_175226" align="aligncenter" width="220" caption="Mas Syahid, sang "]
[/caption]
Terima kasih pembaca Kompasiana, senyum sehat warga Desa Cibeureum tersungging karena dana dari anda.
CERITA SEBELUMNYA ADA DI SINI :
CERITA SELANJUTNYA ADA DI SINI :