Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Kompasianers Galau, Haruskah Kolom "Ter-Ter"an Dihapuskan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Tolak KLONINGAN!!!" "Hapuskan kolom TERAKTUAL!!!" "Tolak PLAGIATOR!!!"

Itulah seruan-seruan yang menyeruak di jagad Kompasiana seminggu terakhir ini. Seperti tak mau kalah dengan jagad nyata bumi Indonesia yang sedang kisruh dan makin panas dengan demo-demo menolak kenaikan harga BBM. Seolah belum cukup kegalauan karena ancaman kenaikan harga-harga di dunia nyata, kini ditambah dengan kegalauan karena terancam penurunan harga diri akibat dituduh memelihara akun kloningan untuk mendongkrak tulisan atau tuduhan jadi plagiator.

Kekacauan ini bermula dari rasa sakit hati salah seorang Kompasianer kepada 15 Kompasianer lainnya yang dianggapnya reseh dan pernah mempermalukan dirinya. Padahal ulahnya-lah yang sering berlaku curang dengan mendaur ulang tulisan Kompasianer lain atau mencopy tulisan dari blog orang lain. Bukan itu saja, Kompasianer sakit hati itu punya banyak akun kloningan yang dipakai untuk memberikan voting pada tulisan-tulisannya agar bisa nangkring di kolom Ter-Ter an.

Sakit hatinya kemudian dilampiaskan dengan menuduh 15 Kompasianers punya akun kloningan dan sering melakukan plagiarisme. Jadi ibarat maling teriak maling sekeras-kerasnya. Semula akun-akun kloningannya masih tetap 'ngeyel' merusuh lapak-lapak Kompasianer yang menjawab tuduhan. Tapi sejak Sabtu siang, 24 Maret, akun-akun kloningan itu sudah tak berkutik, mungkin sudah di-banned Admin. Seharusnya, mulai Minggu, 25 Maret, Kompasiana aman dan damai kembali

Tapi serangan jadi berubah arah dan berganti modus. Terjadi fenomena over voted yang melanda beberapa Kompasianer secara acak. Entah siapa yang berulah, yang jelas tujuannya untuk mengaburkan tuduhan. Mungkin agar Kompasianers berpikir “mesin hitung” Admin sedang error, sehingga jumlah voting bisa jauh melebihi jumlah pembaca. Atau untuk menimbulkan kesan ini semacam serangan “virus” yang bisa menimpa siapa saja.

Bukan itu saja, Rabu pagi, akun Mbak Deasy – Kompasianer senior – “dibajak”. Modusnya sama persis seperti Kamis pekan lalu saat akun Suami Sableng dibajak dan dipalsukan. Hanya saja kali ini Kompasianers sudah lebih waspada dan langsung tahu itu akun “tuyul”. Admin pun bergerak cepat merespon laporan dari para Kompasianers. Tapi sepertinya kekisruhan ini akan terus berlanjut dan menjadi saling tuduh antar Kompasianer. Suasana jadi penuh kecurigaan. Tiap kali mau membaca sebuah tulisan yang ada di kolom Teraktual, harus mengecek dulu akun penulisnya – kapan tanggal bergabungnya, berapa banyak temannya, apa saja tulisannya yang sudah di-publish – duuuh..., capek deh! Begitu pun kalau mau meng-accept permintaan pertemanan. Padahal, mencurrigai Kompasianer newbie juga tidak adil kan?

Banyak yang berpendapat, ini semua gara-gara ulah segelintir penulis narsis yang gila gelar dan ingin mendapatkan popularitas instant melalui kolom Teraktual. Kalau begitu, hapuskan saja kolom Teraktual, Bermanfaat, Inspiratif dan Menarik. Itu solusi yang diusulkan. Tapi kok rasanya sayang juga ya, kalau kolom itu terpaksa dimusnahkan hanya gara-gara ulah oknum tak bertanggung jawab. Untuk menangkap tikus, apa harus lumbungnya yang dibakar?

Sebenarnya kolom Teraktual ini bisa jadi alternatif bagi pembaca dan penulis. Tulisan yang diapresiasi untuk diletakkan di kolom Terekomendasi atau di jadikan HL, sepenuhnya hak prerogatif Admin. Tentu Admin sudah punya tolok ukur baku mengenai penetapan itu, dan inilah yang disebut “selera” Admin. Sementara ada beberapa penulis yang gaya penulisannya mungkin tak memenuhi kriteria Admin, tapi sebenarnya tulisannya disukai pembaca. Entah karena menghibur, mencerahkan atau sekedar menggelikan karena mengupas kekonyolan Kompasianer. Tulisan seperti ini tak akan dapat tempat jika hanya kacamata Admin yang dipakai. Dengan adanya kolom Teraktual, tulisan semacam ini bisa nangkring di posisi teratas karena penilaian pembaca.

Frekwensi posting tulisan di Kompasiana sangat tinggi. Dalam tempo 6 menit, tulisan yang ada di posisi teratas kolom “Tulisan Terbaru”, bisa tergeser ke posisi bawah. Dalam waktu 10 menit bisa sudah hilang dari daftar. Karena itu, adanya kolom-kolom Terekomendasi, Teraktual, dll sebenarnya cukup menolong agar tulisan yang sudah lama di posting dapat terbaca. Jika penilaiannya diserahkan pada pembaca, maka solusinya adalah : mengeliminir kecurangan. Bukan menghapuskan hak pembaca untuk memiliki preferensi terhadap suatu tulisan.

Buat saya kolom “Teraktual” adalah kolom yang cukup sering saya singgahi. Di sinilah saya temukan tulisan-tulisan yang kadang nyeleneh, lucu, menohok dan menyindir dengan cara menggelitik. Biasanya saya click kolom Teraktual di sisa hari saya, entah di saat jam istirahat kantor atau sudah jam pulang kantor tapi masih menunggu mobil tebengan. Jujur saja, tulisan-tulisan di kolom Teraktual itu sering jadi katarsis bagi kejenuhan saya. Kadang bikin saya senyum sendiri, ngakak atau bahkan ngedumel gak jelas. But, however, laik dis yo...

Dari pengamatan saya, ada beberapa Kompasianer yang dengan gayanya yang khas punya segmen pembaca tersendiri yang cukup besar. Meski tak selalu ikut berkomentar, saya sering jadi silent reader dan penyuka gaya penulis-penulis yang tulisannya sering nangkring di kolom Teraktual. Seperti tulisan Tante Paku, misalnya. Kalau memakai kacamata Admin, tulisan itu tak akan masuk kolom Terekomendasi apalagi HL. Padahal, yang suka banyak, pembacanya banyak dan komentar yang masuk pun interaktif. Jadi, sekali lagi kolom Teraktual sebenarnya wadah alternatif bagi tulisan yang disukai pembaca, asal saja jujur dalam memberikan penilaian.

Saya punya usul : hapuskan kolom Teraktual, Inspiratif, Menarik dan Bermanfaat dan jadikan satu kolom PALING DISUKA. Sebab kenyataannya yang selalu muncul di halaman muka hanya kolom Teraktual sedang 3 kategori lainnya harus di-click dulu. Ini saja sudah kurang adil untuk semua kategori. Lagi pula, apa sih definisi “AKTUAL”? Bukankah artinya terkini atau membahas issu kekinian? Tapi toh faktanya tulisan yang tak membahas issu yang sedang aktual pun bisa divoting aktual. Bebaskan pembaca mem-voting “SUKA”, apapun alasan mereka suka. Entah karena tulisan itu aktual, bermanfaat, menarik atau inspiratif atau bahkan lucu, menghibur dan menyentil. Cukup ganti fitur penilaian dengan simbol “jempol”.

Untuk menghindari kecurangan, tampilkan nama Kompasianer yang menyukai tulisan itu. Konsepnya seperti “like” yang ada di Facebook. Tak perlu semua nama penyuka ditampilkan, tapi sediakan tombol click yang bisa menampilkan list penyukanya. Misalnya, di facebook cukup ditulis “You and 8 others like this”. Kalau ingin tahu siapa saja 8 orang lainnya, tinggal click akan muncul nama dan foto profilnya. Ada teman FB saya yang orangnya sangat friendly, tiapkali dia update status, selalu saja banyak yang mengkomentari dan memberikan jempol. Semua komentar selalu dibalas dan semua pemberi jempol pasti akan disapa satu persatu. Ini bisa dia lakukan karena ia bisa tahu siapa saja yang sudah memberikan jempolnya.

Bukan cuma bisa mengeliminir kecurangan, dengan ditampilkannya nama Kompasianer yang memberikan nilai “suka”, penulisnya juga bisa memberikan terimakasih atas apresiasi pembaca. Buat saya yang tulisan saya nyaris selalu miskin voting, kalau ada 1-2 orang yang meng-click “suka”, perlu saya ucapkan terimakasih atas kerelaannya meninggalkan jempolnya di tulisan saya. Nah, kalau nama Kompasianer yang meng-click suka ditampilkan, penilaian akan fair. Kalau ada Kompasianer yang selalu mendulang banyak voters di setiap tulisannya, juga bisa dilihat siapa saja penyukanya. Apakah selalu orang yang sama atau bergantian.

Sebagai contoh yang terjadi pada Kompasianer AS yang jumlah votersnya selalu sama : 23 orang. Lalu 23 akun kloningan ini didistribusi merata pada 5 tulisannya. Misalnya di tulisan A yang menilai “Aktual” 15 orang, sisanya menilai “Menarik”. Sebaliknya di tulisan B yang menilai “Menarik” adan 13 orang, sisanya menilai “Bermanfaat”. Di tulisan C, 11 kloningannya ditugaskan menilai “Inspiratif” sisanya apa, dst. Mestinya kepandaian matematis seperti ini dipakai untuk buka kursus Matematika pada anak-anak sekolah, bukannya dipakai untuk mengakali voting di Kompasiana. Nah, kalau nanti yang meng-click tombol “SUKA” bisa dilihat siapa saja, juga bisa dilihat apakah itu akun asli atau kloningan, dijamin yang suka curang model si AS akan berpikir ulang.

Selebihnya, semua memang kembali terpulang pada diri sendiri. Kejujuran itu tak ada polisinya. Yang jadi polisi hanyalah hati nurani. Admin juga tak bisa dituntut karena membiarkan akun kloningan mendaftar. Keterbatasan kemampuan untuk melacak IP address dan kendala lainnya, membuat siapa saja bisa mendaftarkan 100 akun sekalipun. Mungkin yang bisa dilakukan sekedar membatasi, misalnya hanya akun yang sudah “Terverifikasi” yang bisa memposting tulisan. Sedang akun yang belum “Terverifikasi” hanya bisa berkomentar, memberikan nilai dan berkirim inbox. Inbox dan komentar sepenuhnya kendali ada pada pemilik lapak, mereka bisa menghapusnya kapan saja kalau tak suka. Sedangkan tulisan, sudah menyebar kemana-mana meski isinya fitnah, tak ada yang bisa mengontrol. Setidaknya, dengan membatasi hanya pemilik akun “Terverifikasi” yang bisa mem-publish tulisan, setidaknya mereka akan lebih bertanggungjawab pada tulisannya. Tapi sekali lagi ini hanya upaya, aplikasinya kembali terpulang pada kejujuran dan niat masing-masing.

Ini sekedar usulan yang keluar dari kegalauan melihat suasana ber-Kompasiana kini tak senyaman dulu lagi. Tak terbayang kalau besok atau lusa akun saya yang dibajak/digandakan lalu dipakai untuk menyebarkan tulisan yang bertentangan dengan prinsip dan karakter pribadi saya. Apalagi kalau pengganda akun itu canggih soal IT melawan saya yang gaptek level akut. Tentu saya tak akan bisa melakukan perlawanan berarti selain hanya membuat tulisan klarifikasi. Bagaimana pun, saya tetap percaya bahwa kejujuran akan bicara dengan caranya sendiri. Dan persahabatan di Kompasiana tetaplah ada yang setia dan mampu membedakan mana yang fitnah dan mana yang asli. Usulan ini hanya sekedar upaya, siapa tahu Admin bersedia merespon. Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline