Anda masih ingat Darsem? Tentu saja bukan Darsem yang jadi Kompasianer. Tapi Darsem mantan TKW yang bekerja di Arab Saudi dan terancam hukuman pancung tahun lalu. Nasib Darsem memang sangat mujur, selain bebas dari algojo pancung karena diyatnya sebesar Rp. 4 milyar dibayar oleh Pemeribtah RI, sumbangan pemirsa TV yang sudah terlanjur terkumpul pun seluruhnya diberikan begitu saja pada Darsem. Pulang dari perantauan tanpa membawa sisa gaji, tapi menerima lebih dari Rp. 1,2 milyar dari sumbangan simpatisan, bukannya membuat Darsem lebih berhati-hati menggunakan uang yang bukan didapat dari hasil keringatnya itu.
Darsem mendadak jadi OKB. Dibangunnya rumah termewah di kampungnya, dipenuhinya sekujur tubuhnya dengan perhiasan emas, dipestakannya khitanan anaknya 3 hari 3 malam dengan mendatangkan berbagai hiburan. Seolah tanpa beban Darsem berfoya-foya dengan uang itu, sementara yang ikut menyumbangkan uangnya bahkan tidak pernah hidup semewah Darsem. Lucunya lagi, suami yang sudah meninggalkannya bersama anaknya, sehingga membuat Darsem terpaksa jadi TKW di Arab, demi melihat Darsem kembali ke kampung dan jadi OKB, suaminya pun rujuk dengannya. Ada gula, ada semut. Pepatah itu berlaku dalam kasus Darsem.
-----------------------------------------------------------
Ketika membuat tulisan tentang Siti, bocah yatim umur 7 tahun yang terpaksa berjualan bakso keliling kampung demi bertahan hidup, saya sama sekali tak pernah menyangka dampaknya akan bergulir sebegitu besar. Saya hanya berpikir : acara Orang-Orang Pinggiran (OOP) di Trans 7 ditayangkan saat sebagian orang masih berkutat dengan kemacetan jalanan sepulang kerja. Jadi banyak yang tak sempat menonton. Ada baiknya saya tulis ulang apa yang saya lihat, dengar dan rasakan setelah menonton tayangan itu. Maksud saya hanyalah sekedar mengetuk hati pembaca Kompasiana untuk bersimpati pada penderitaan bocah yang seharusnya menikmati masa kecilnya.
Ternyata simpati itu lebih dari yang saya perkirakan. Karena tulisan itu kemudian di-share dan di copy-paste kemana-mana, maka penggalangan dana untuk membantu Siti pun terjadi di banyak komunitas pengguna internet. Bahkan hampir seminggu lalu saya diberitahu bahwa tulisan saya di-copas ke thread di Detik Forum, dan ternyata setelah saya cari memang benar. Kabarnya di forum itu pun ada penggalangan dana.
Saya benar-benar tak bisa lagi mengontrol dampak dari tulisan saya. Sampai kemarin, 14 hari setelah tulisan itu diposting di Kompasiana, jumlah sharingnya di Facebook sudah mencapai 2000 lebih. Saya sempat meminta kepada Admin agar tulisan saya tentang itu diproteksi dari tindakan copy-paste. Sebab, saya tak ingin tulisan saya disalahgunakan untuk menggalang dana oleh pihak yang kurang bertanggung jawab. Maklumlah, dunia maya sedemikian luas dan kita tak bakal bisa mengontrol tulisan kita sudah dicopas kemana saja. Ada copy-paste yang menyebut nama saya dan sumbernya (menyertakan link Kompasiana), tapi ada pula yang tidak.
[caption id="attachment_169955" align="alignleft" width="300" caption="Siti yang polos dan lugu"]
[/caption]
Saya cukup punya alasan untuk bersikap waspada dan menjaga agar kemurnian tujuan saya menulis tidak disalahgunakan oleh tangan-tangan nakal yang punya niat lain. Karena ada beberapa kejanggalan yang saya lihat, dengar dan rasakan, yang selama ini masih saya simpan sendiri karena beberapa pertimbangan. Kini, saya merasa punya kewajiban moril untuk menjelaskan semua fakta yang kami lihat, dengar dan rasakan dalam kasus pemberian bantuan kepada Siti. Saya ingin memberikan informasi kepada pembaca dan dermawan tentang kondisi yang saat ini terjadi dalam keluarga/kerabat Siti. Tujuannya agar dermawan dan pembaca bisa lebih bijak dalam menyikapi dan memberikan bantuan langsung kepada pihak yang perlu dibantu.
Ini bermula ketika saya dan pihak Rumah Zakat (RZ) Kota Cilegon berkunjung ke rumah Siti, pada Minggu, 11 Maret lalu. Ada pihak-pihak yang selalu menjawab setiap pertanyaan yang saya ajukan pada ibunya Siti dengan alasan Ibunya Siti kurang fasih berbahasa Indonesia. Orang-orang tersebut tidak kami temui ketika relawan RZ melakukan survey pada Jumat sore s/d Sabtu pagi. 2 orang relawan RZ memang datang berboncengan motor yang agak butut, sehingga kedatangannya ke kampung itu sama sekali tak menyolok. Datang jumat sore dan pulang Sabtu pagi, membuat relawan RZ tak terlalu tampak sebagai tamu asing. Sedangkan para pemberi bantuan yang datang hari Minggu sejak pagi, umumnya naik mobil dan membawa banyak barang bawaan. Jadi sejak di ujung kampung dimana mobil terpaksa ditinggalkan, kedatangan para pemberi bantuan sudah menyolok mata.
Keberadaan orang-orang yang saya juluki “juru bicara” itu sudah saya singgung dalam tulisan reportase saya sehari pasca kunjungan. Kami juga menemukan ada beberapa keterangan yang tidak sama antara yang didapat tim survey dan saat kunjungan. Karena konsep kami “memberi kail bukan ikan”, maka uang tunai yang kami berikan langsung memang tidak banyak, hanya Rp. 500.000,- saja untuk modal berjualan sayur yang sebelumnya telah disepakati dan disanggupi oleh Ibunya Siti dengan tim survey. Bantuan lain kami berikan dalam bentuk sembako cukup untuk 2 bulan dan peralatan berdagang serta barang dagangan awal. Sisa dana masih kami simpan untuk dijadikan modal bergulir dan memperbesar usaha dagang ibunya Siti, jika ia sudah benar-benar bisa kami didik untuk berwirausaha dan bisa dilepas untuk mandiri.
[caption id="attachment_169956" align="alignleft" width="300" caption="Keceriaan Siti menerima sepatu baru"]
[/caption]
Sehari setelah tulisan reportase itu diposting, saya mendapat inbox message dari pembaca Kompasiana yang mengaku ikut melakukan penggalangan dana di FB (mungkin FB OOP Trans 7?) yang merasa perolehan dana terkumpul cukup besar tapi kenapa di tulisan saya disebutkan pihak keluarga Siti hanya menerima Rp 5 juta saja. Saya jelaskan bahwa apa yang saya tulis berdasarkan pengakuan dari orang-orang yang mengaku kerabat Siti, yang saat itu mendampingi ibunya Siti. Dan jumlah ini pun dibenarkan oleh ibunya Siti.
Mau tak mau, inbox message itu membuat saya berpikir ulang dan mengingat kembali setiap detil percakapan saya melalui telepon dengan seorang contact person (CP) yang disebut di situs FB OOP Trans 7. Barangkali saja ada serpihan puzzle yang luput dari kejelian saya. Saya jadi ingat, saat itu si CP mengatakan ibunya Siti tak punya KTP sehingga semua bantuan harus lewat dia, selama ini dia pula yang menyampaikan paket-paket kiriman untuk Siti. Padahal info yang didapat tim survey dari pak Lurah, ibunya Siti punya KK, setidaknya ada identitas diri.
Anehnya lagi, saya menelpon si CP kurang dari 12 jam setelah acara itu tayang. Tayangan OOP kelar jam 6 petang dan saya menelpon esoknya usai Subuh. Jadi, mana mungkin sudah ada paket yang sampai?! Orang paling dermawan dan paling sigap pun baru bisa berkirim paket nanti setelah kantor pos buka dan baru akan sampai ke tujuan – yang mungkin hanya kantor pos pembantu di kecamatan – sekitar 2-3 hari kemudian. Nah, inilah kejanggalan terbesar pertama yang saya rasakan. Satu kepingan puzzle yang tercecer telah saya temukan, hanya saja saya simpan fakta ini karena saya tak punya cukup alasan untuk curiga berlebihan.
[caption id="attachment_169957" align="alignleft" width="300" caption="Siti dipangkuan Ibunya dengan boneka Shaun Teh Sheep"]
[/caption]
Jumat lalu, ada Kompasianer yang berkirim inbox ke saya, mengabarkan dirinya mentransfer sejumlah dana. Selain menyatakan ia menyerahkan sepenuhnya penyaluran dana itu pada saya, ia juga berpesan agar saya hati-hati dalam memberikan bantuan. Sebab belaiu mendengar kabar Siti punya kakak yang sudah lama tidak muncul dan tak mengurusinya lagi. Kompasianer itu khawatir dengan maraknya pemberitaan Siti di TV dan internet, kakak Siti akan muncul. Ketika tim survey kami pertama kali ke sana, pengakuan Ibunya Siti pun demikian : kakaknya Siti sudah tidak tinggal di kampung itu lagi.
Bagi saya, fakta bahwa selama ini Siti dan ibunya berusaha survive sendiri, ini menunjukkan tak ada kerabat yang peduli. Sampai Siti terpaksa mencari uang 1000–2000 perak sehari dengan berjualan bakso, lalu diberikan pada ibunya sekedar beli beras, bukan untuk jajan. Bahkan Siti harus menahan lapar sampai ibunya pulang dari sawah petang hari. Ini makin menunjukkan bahwa mereka memang hanya berjuang bertahan hidup berdua saja, tanpa kepedulian sanak keluarga lainnya.
Fakta kontradiktif yang saya temui : orang-orang mengaku kerabat Siti dan ada di rumah Siti saat kunjungan kami, memegang BlackBerry, gadget favorit orang kota. Setidaknya orang mampu membeli BB tentu kelas menengah, sebab harga BB masih berkisar hampir Rp. 2 juta dengan pulsa berlangganan layanan BB lebih mahal dari pada pulsa yang cuma dipakai sms. Sangat ironis jika mereka mampu membeli BB, tapi tak mampu membelikan Siti sepatu atau tas sekolah seharga Rp. 50 ribu. Sungguh tragis jika mereka mampu membeli pulsa BB, tapi tak mampu patungan bergiliran memberikan uang 2000 perak sehari supaya Siti tak perlu berjualan bakso menempuh medan seberat itu selama 4 jam dengan menenteng beban berat dan menahan rasa lapar.
Bagi saya, tidak penting apa hubungan kekerabatan orang-orang itu dengan Siti dan ibunya. Justru jika mereka masih terhitung kerabat dekat Siti secara hubungan darah, maka ini lebih ironis lagi. Bagaimana bisa sanak saudara yang sebenarnya secara ekonomi cukup mampu untuk membantu, justru selama ini diam saja tak peduli dengan beratnya penderitaan yang dialami Siti, anak sekecil itu. Ini benar-benar tidak manusiawi. Bukankah mereka seharusnya bisa bahu membahu menolong Siti dan Ibunya? Penghasilan Siti berjualan bakso sebulan penuh tak akan lebih dari Rp. 60.000,- jika ia berjualan tanpa kenal hari libur, itupun kalau setiap hari bakso dagangannya habis terjual. Rp. 60.000,- tentu tak lebih besar dari pulsa berlangganan layanan BB sebulan, bukan?
[caption id="attachment_169958" align="aligncenter" width="300" caption="Mungkinkah ada yang mencoba menangguk untung dari penderitaannya yang diekspose televisi?"]
[/caption]
Ternyata, kejanggalan yang saya lihat, dengar, rasakan dan pikirkan itu bukan hanya monopoli saya dan tim Rumah Zakat. Di situs forum diskusi Kaskus juga ada penggalangan dana yang hasilnya lebih besar, mengingat forum diskusi ini sangat aktif 24 jam. Karena awal mula thread yang membicarakan soal Siti itu juga berawal dari seorang Kaskuser yang meng-copas tulisan saya dari Kompasiana, maka terjadilah komunikasi antara saya dengan beberapa Kaskusers yang menjadi motor penggerak penggalangan dana itu. Seorang Kaskuser yang juga Kompasianer intens berdialog dengan saya melalui inbox message, sedangkan yang lainnya ada yang melalui sms dan email.
Kami jadi saling berbagi rasa, pikiran dan mendiskusikan skema bantuan yang tepat guna dan bermanfaat jangka panjang bagi Siti dan ibunya. Utamanya bagaimana agar ada kemandirian ekonomi bagi ibunya Siti, demi kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Mengingat masa depan Siti masih panjang. Untuk bisa mengenyam pendidikan sebatas wajib belajar 12 tahun – level SMA/SMK – masih butuh waktu 11 tahun lagi, mengingat Siti baru kelas 1 SD. Kesinambungan pendidikan Siti jadi fokus perhatian kami. Karenanya, meski kami bergerak sendiri-sendiri, tapi kami concern pada hal yang sama : bantuan untuk Siti harus tepat guna!
Apa saja temuan para “agan” Kaskusers? Ternyata lebih mencengangkan dari yang saya alami. Akan saya tulisakan di bagian ke – 2 tulisan ini.
TULISAN BERIKUTNYA :
http://sosbud.kompasiana.com/2012/03/21/fenomena-darsem-dalam-kasus-siti-bagian-2/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H