[caption id="attachment_168253" align="aligncenter" width="576" caption="Pak Heri, istrinya dan putranya"][/caption]
Tulisan ini menjadi bagian terakhir dari serial tulisan saya tentang Siti dan kampungnya, Cipendeuy. Meski kali ini tak lagi tentang Siti dan Armiah, ibunya, tapi tetap masih seputar orang-orang di sekitar Siti, yang juga kami bantu dengan sedikit dana yang terkumpul dari para donatur pembaca Kompasiana dan rekan-rekan BBM/ Facebook saya. Saya lakukan ini – memberi sedikit bantuan untuk tetangga Siti – karena pada tulisan saya di hari Jumat lalu, semua donatur sudah memberikan persetujuannya melalui komentar di tulisan, inbox message di Kompasiana maupun SMS, agar dana itu bisa disalurkan kepada yang membutuhkan. Dan karena kami menganggap orang ini perlu dibantu, saya sisihkan sedikit dana untuknya.
PENGRAJIN YANG TEKUN DAN ISTIQOMAH DI JALURNYA
Adalah Pak Heri – lelaki paruh baya yang saya taksir usianya pertengahan 50-an tahun – tetangga yang tinggal persis di sebelah rumah Siti, yang sempat membuat kami terkesan. Sejak 2 relawan Rumah Zakat datang ke kampung itu pertama kali pada hari Jumat sampai Sabtu, Pak Heri memang sudah kami kenal. Selain rumahnya yang bersebelahan dengan Siti, memang keseharian beliau lah yang sering berinteraksi dengan Siti dan Ibunya.
[caption id="attachment_168254" align="aligncenter" width="300" caption="Tudung saji anyaman dengan pewarnaan alami hanya dijual dengan harga Rp. 30.000,- saja. Mau?!"]
[/caption] [caption id="attachment_168255" align="alignleft" width="300" caption="Rantang anyaman susun 2 seharga Rp. 80.000,-. Perhatikan detilnya yang sangat teliti pembuatannya"]
[/caption]
Sosok Pak Heri ini cukup unik. Tahun 2004 lalu Pak Heri bersama 23 orang lainnya dikirim oleh Pemda setempat mewakili warga Desa Cibeureum dan Pacang Pare untuk mengikuti pelatihan ketrampilan di Tasikmalaya. Di sana mereka mendapatkan pelatihan membuat aneka kerajinan dari bahan bambu yang diambil kulitnya, ditipiskan setipis mungkin, dihaluskan lalu dibentuk menjadi aneka barang dan perabot dari anyaman kulit bambu itu. Kalau perlu diwarnai, maka kulit bambu yang sudah ditipiskan itu diasapi dengan teknik tertentu. Dampak asap itulah yang memberikan warna alami pada bahan baku anyaman bambu.
Delapan tahun berlalu, dari 24 peserta pelatihan hanya pak Heri lah yang masih bertahan terus menekuni ketrampilan anyaman itu, mengasah ketrampilannya dan mengembangkan aneka kreasi produk jadi. Beberapa tahun terakhir ini Pak Heri diminta oleh sebuah sekolah untuk mengajar ketrampilan itu kepada siswa sekolah tersebut. Dan untuk jasanya Pak Heri mendapatkan honor hanya Rp. 20.000,- saja. Rupanya upah 20 ribu ini sudah jadi standar harga jasa seseorang. Seperti Ibu Armiah yang hanya diupah Rp. 20.000,- untuk tenaganya mencangkul seharian.
Sayangnya, kreatifitas seni Pak Heri ini dihargai sangat murah. Bayangkan, untuk sebuah tudung saji ukuran besar dan bambunya tebal serta anyamannya rapat dan rapi, ia hanya mematokharga Rp. 30.000,- saja. Sebuah rantang dari anyaman bambu bersusun 2 yang unik dan rumit serta memiliki banyak detil, Pak Heri hanya menjualnya seharga Rp. 80.000,-. Kalau rantang itu bersusun 3 harganya hanya beda Rp. 20.000,- menjadi Rp. 100.000,-.
[caption id="attachment_168256" align="alignleft" width="300" caption="bakul nasi dan rantang, buat yang mau buka resto bernuansa etnik"]
[/caption]
Marnie teman saya yang ikut kesana naksir berat pada tudung sajinya,sayang kami kesulitan membawa. Kalau di kota, mungkin tudung saji itu bukan hanya berfungsi jadi penutup hidangan, tapi bisa nongkrong dengan manis di dinding ruang tamu rumah-rumah bagus, sebagai interior penghias ruangan. Kami heran juga dengan harga yang begitu murah. Terbayang kalau barang kreasi seni itu masuk ke toko-toko penjual souvenier dan cinderamata, tentu harganya bisa naik 3x lipat. Apalagi kalau bisa dipajang di Alun-Alun Indonesia di mall Grand Indonesia, wah bisa jadi naik 5x lipat.
Murahnya harga tidak menjamin produk buatan Pak Heri laku keras. Maklumlah ia hanya menjualnya di kalangan sekitar kampungnya, yang tak semua orang butuh barang tersebut. Kalaupun butuh, yang dibeli adalah barangnya, tak ada penghargaan terhadap kreatifitas karya seni. Kesulitan pemasaran inilah yang membuat pihak Rumah Zakat berpikir untuk bisa membantu Pak Heri menjual produknya ke kota-kota besar. Kalau harga jualnya bisa naik 2x lipat saja, Pak Heri bisa mendapat penghasilan yang cukup layak.
Bukan hanya membuat besek, bakul nasi, bakul untuk berjualan, tudung saji dan rantang saja, Pak Heri juga bisa membuat plafond rumah dari anyaman bambu. Ini terlihat dari plafond rumahnya yang semua terbuat dari anyaman. Juga daun pintu depan rumahnya, pintu laci lemarinya, semua dimodifikasinya sendiri dengan variasi anyaman bambu. Bahkan membuat sandaran kursi dari anyaman bambu pun ia sanggup. Sayangnya semua kreatifitas itu hanya sebatas jadi penghias rumah dan perabit miliknya sendiri saja.
Saya jadi teringat acara-acara TV yang biasa tayang saat weekend tentang “griya” yang biasanya meliput gaya rumah-rumah masa kini yang bernuansa etnik, baik interior maupun eksteriornya. Wah, kalau saja orang-orang kaya di kota-kota besar tahu karya Pak Heri, mereka pasti tertarik dan rela merogoh kocek dalam-dalam. Atau kalau ada Direktur BUMN yang tahu,mungkin mereka bersedia menjadikan Pak Heri sebagai pengrajin binaan dalam program PKBL yang dimiliki BUMN. Pak Heri yang tinggal di desa terpencil, tentu tak mengenal bagaimana prosedur mengajukan kredit modal kerja dan bagaimana menggandeng mitra untuk memasarkan produknya yang 100% hand made. Kalau tas Hermes saja harganya bisa ratusan juta karena hand made, mestinya tudung saji buatan Pak Heri juga bisa dihargai mahal karena hand made.
[caption id="attachment_168257" align="aligncenter" width="300" caption="Plafond anyaman karya Pak Heri"]
[/caption]
ISTRI LUMPUH SELAMA 4 TAHUN
Selama 4 tahun terakhir ini, istri Pak Heri menderita sakit – saya duga serangan stroke – yang kemudian menyebabkan separuh badannya lumpuh. Tangan kanannya pun jadi bengkok dan ia tak lagi bisa berbicara. Keterbatasan biaya dan sulitnya akses kesehatan, membuat istri Pak Heri tak mendapatkan pengobatan yang layak. Akibatnya gejala kelumpuhan ini kemudian tak tertangani dengan baik dan akhirnya justru jadi lumpuh permanen.
[caption id="attachment_168258" align="alignleft" width="300" caption="Istri Pak Heri"]
[/caption]
Karena ketiadaan biaya berobat lebih lanjut, akhirnya istri Pak Heri terpaksa dibiarkan tergolek begitu saja. Saat kami mampir sebentar ke rumahnya untuk menjenguk sepulang dari rumah Siti, istri Pak Tono tampak terduduk di kasur tipis yang digelar di lantai. Kamar berukuran sekitar 2x2 m itu teras pengap dan gelap. Tak ada lampu, meski jam baru menunjukkan sekitar 17.30-an, saya kesulitan mengambil foto saking gelapnya. Untunglah blitz berfungsi baik, sehingga hasil foto lumayan jelas. Istri Pak Heri kelihatan ceria meski kondisinya mengenaskan. Kemana-mana di rumah itu dilakukannya dengan merangkak/menggeser tubuhnya di lantai kayu.
Di rumah itu tinggal Pak Heri, istrinya dan putranya yang sudah cukup dewasa. Bapak dan anak inilah yang bersama-sama bergantian merawat Ibunya. Pihak Rumah Zakat Kota Cilegon berencana akan menjadikan Pak Heri sebagai pengajar ketrampilan bagi masyarakat binaan Rumah Zakat dalam program Senyum Mandiri dan juga anak-anak asuh. Dalam waktu dekat Pak Heri akan dundang ke Cilegon selama 1 minggu untuk jadi mentor pada program pelatihan. Pak Heri sudah menyanggupi dan putranya pun sudah berjanji akan di rumah menjaga dan merawat Ibunya.
Kemarin dalam kunjungan sebentar itu sempat juga menyerahkan bantuan pembaca Kompasiana dan teman-teman saya, sebesar Rp. 1.000.000,- untuk bantuan biaya pengobatan istrinya dan sekedar tambahan modal untuk pembeli bahan baku. Kehadiran kami ke rumah Pak Heri tidak menarik perhatian para tetangga dan pengunjung/tamu Siti lainnya. Jadi tak ada yang tertarik untuk ikut merubung Pak Heri, ini menguntungkan bagi kami, setidaknya tidak ada yang tahu bahwa Pak Heri menerima uang dalam jumlah cukup besar untuk ukuran warga setempat.
[caption id="attachment_168260" align="aligncenter" width="300" caption="Pemberian bantuan dari pembaca Kompasiana kepada Pak Heri"]
[/caption]
Selanjutnya kami berharap bisa membantu Pak Heri memasarkan produknya dengan harga yang lebih layak sebagai sebuah karya seni dan penghargaan atas kreatifitas, bukan sekedar pengganti bahan baku semata. Semoga ada pihak yang berminat untuk membantu pemasaran produk Pak Heri dan syukur-syukur kalau ada yang bisa memberikan bantuan permodalan.
Oya, di dinding gedek rumah Pak Heri ada kalender bergambar anggota DPR RI dari Partai Demokrat yang berangkat ke Senayan dari Dapil Banten – I (Lebak dan Pandeglang). Saya sempat memotret kalender bergambar wanita cantik berwajah kinclong ini. Dalam hati saya bertanya : si ibu cantik tahu enggak ya kalau konstituennya banyak yang menderita seperti Siti dan istri Pak Heri? Si ibu in dulu sempat enggak ya berkampanye langsung dengan mendatangi konstituen di kampung Cipendeuy?
[caption id="attachment_168261" align="aligncenter" width="300" caption="Kalender bergambar ibu anggota DPR RI yang terhormat. Ada Pak Beye dan Mas Anas juga lho!"]
[/caption]
Kalau dia pernah datang ke sana, tentu beliau tahu kampung itu butuh sekali infrastruktur, setidaknya jalan yang lebih layak dilewati dan fasilitas MCK serta waterwell bagi warga. Semoga saja si ibu cantik nan kinclong ini tidak hanya kalendernya saja yang sampai ke rumah warga. Tapi realisasi dari perjuangannya mengupayakan kesejahteraan bagi warga Dapilnya pun harus terwujud nyata. Jangan lupa, dia bisa duduk manis di Senayan karena mendulang suara dari Dapil itu. Saya jadi ingat penggalan lagu Iwan Fals tahun 80-an dulu yangmasih relevan sampai sekarang : “Saudara dipilih bukan dilotrewalau kami tak kenal siapa saudara”. Kepercayaan penuh dari masyarakat sudah seharusnya dibayar dengan integritas dan perwujudan nyata perjuangan untuk pemilihnya.
[caption id="attachment_168262" align="aligncenter" width="300" caption="Daun Pintu anyaman, sayangnya dinding rumahnya masih gedek"]
[/caption] [caption id="attachment_168263" align="aligncenter" width="300" caption="aneka bunga dari kulit bambu kreasi Pak Heri"]
[/caption]
Tulisan terdahulu :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H