Saya terharu dan bahagia, ketika tulisan saya tentang Siti, bocah yatim usia 7 tahun yang terpaksa berjualan bakso keliling kampung demi bertahan hidup, ternyata mendapat sambutan luar biasa dari Kompasianers. Niat awal menulis tentang itu memang untuk mengetuk hati pembaca. Sebab keinginan saya membantu Siti yang terbatasi oleh kemampuan finansial saya yang tak seberapa, membuat saya harus putar otak untuk menggaet lebih banyak lagi simpatisan. Kalau sekedar membelikan Siti sepasang sepatu dan sebuah tas sekolah serta beberapa potong baju bekas pantas pakai, rasanya semua itu tak menyelesaikan akar masalahnya : kemiskinan akut, ketiadaan penghasilan dan ketidakjelasan kesinambungan pendidikan Siti.
Bertolak dari pemikiran itu maka saya menggandeng Rumah Zakat untuk secara teknis memberikan bantuan dan bimbingan mengenai penyaluran dana yang terkumpul. Dan karena ini adalah “proyek” todongan saya ke Rumah Zakat, maka saya janji pada Rumah Zakat akan mencarikan donatur sebanyak-banyaknya. Jujur saja saat itu saya belum tahu akan terkumpul berapa dan akan mengajak siapa saja. Hanya segumpal optimisme besar yang mendorong saya untuk langsung memulai pagi itu juga menulis di grup-grup BBM, di Facebook dan di Kompasiana.
Ternyata optimisme saya membuahkan hasil. Tulisan di Kompasiana kemudian bergulir dan di share ke 600-an akun FB dan 30-an akun Twitter. Yang tak saya duga kemudian di-copas oleh seorang Kaskuser dan menggelinding bak bola salju di Kaskus (disini : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13426271). Terus terang saya berterimakasih sekali kepada Mr. X yang telah meneruskannya di Kaskus. Juga ada Kompasianer Bapak Suryokoco Suryoputro (www.kompasiana.com/suryokocoadiprawiro) yang kemudian meng-copas di situs ini : http://www.desamerdeka.com/newsflash/2012/03/siti-bocah-yatim-harus-jualan-bakso-dengan-upah-rp-2000-sehari/.
Apapun bentuk dukungan pembaca, saya terharu dengan partisipasinya. Ini menyadarkan saya ternyata kita bangsa yang punya rasa solidaritas tinggi, toleransi, gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi, seperti dalam pelajaran PMP tahun ’80-an. Karakter bangsa yang mulia itu masih melekat kuat. Kemarin pagi saya mendapatkan email berisi kata-kata bijak : “lebih baik mampu menyalakan sebuah lilin dari pada mengeluhkan kegelapan”. Setidaknya dalam kasus Siti ini, kita berhenti menghujat Pemerintah dan DPR, tapi mulai menyalakan lilin yang kemudian membakar lilin-lilin lainnya sampai menyala terang. Semoga saja kelak Pemerintah Pusat dan Daerah serta DPR dan DPRD “silau” dengan cahaya lilin yang dinyalakan secara swadaya oleh masyarakat. Kita telah bertransformasi menjadi masyarakat yang mampu mengelola masalah di negeri auto pilot!
[caption id="attachment_167416" align="aligncenter" width="300" caption="(sumber : ioimprove.com)"] [/caption]
Tadi pagi sebelum Subuh, saya mendapat kabar kunjungan ke rumah Siti hari Minggu 11 Maret 2012 bakal ramai. Selain saya dan Rumah Zakat Kota Cilegon, akan ada rombongan dari Facebook, dari Cirebon, Semarang, dll. Belum lagi Kaskusers yang rencananya akan ke sana Minggu depan. Selain itu ada bantuan perorangan yang mentrasfer langsung ke rekening Bapak Tono, seorang guru honorer yang mengontak Trans7 agar menayangkan kisah hidup Siti.
Subhanallah, alangkah besar potensi dana terkumpul. Tapi dana besar itu akan tidak optimal pemanfaatannya jika tidak diberikan dengan tepat sasaran. Saya mengambil pelajaran dari kasus Darsem, TKW di Arab Saudi yang terancam hukuman mati kecuali membayar diyat sebesar 4 milyar rupiah kalau tidak salah. Saat itu TV One dan SCTV menggalang dana bantuan untuk pembebasan Darsem. Aksi itu mendapat sambutan pemirsa. Ketika dana sudah terkumpul, Komisi I DPR RI memutuskan Pemerintah harus membayar diyat Darsem. Akhirnya, Darsem pun bebas dan dipulangkan ke Indonesia dengan disambut pejabat-pejabat negara.
Dana terkumpul dari TV One kemudian diserahkan begitu saja kepada Darsem melalui acara JLC. Nilainya sekitar Rp 1,2 milyar. Dana sebesar itu untuk hidup di kampung Darsem tentu luar biasa sekali! Apa yang dilakukan Darsem dengan dana itu? Ia kemudian membeli tanah dan membangun rumah mewah di kampungnya, menggelar pesta khitanan anaknya dengan aneka pertunjukan sampai 3 hari penuh, membeli perhiasan emas yang menggelantung di sekujur tubuhnya. Jadilah Darsem OKB yang bergaya hidup hedonis di kampungnya. Pemirsa SCTV kemudian beramai-ramai mengirim somasi kepada Darsem, yang dianggap lupa diri dan tak mau berbagi dengan TKI/TKW lain yang masih terbelit masalah.
Tapi apa daya, seluruh uang sudah diserahkan kepada Darsem dan tentu hak Darsem untuk dibelanjakan apa saja uang itu. Inilah dampak dari kurangnya perencanaan dan pemikiran mendalam dalam memberikan bantuan. Adalah suatu kesalahan besar ketika dana yang dimaksudkan untuk pembebasan Darsem, tetap diberikan sepenuhnya kepada Darsem meski pembebasannya sudah ditanggung Pemerintah. Mestinya dana ini bisa dipakai untuk pembebasan TKW lainnya.
Akibatnya, seseorang yang sudah lama hidup susah, ketika di tangannya disodorkan segepok uang tanpa bimbingan dan pengawasan, maka bisa jadi ia akan membeli semua barang yang dulu diimpikannya. Meski uang itu habis dalam waktu sekejap hanya untuk membeli barang konsumtif dan tidak untuk modal usaha produktif. Kelak kalau uangnya habis, entah bagaimana lagi, mungkin perhiasan emas satu persatu akan tergadai. Mungkin biaya maintenance rumah mewahnya bakal tak terpenuhi lagi.
Berkaca dari itu, saya dan Rumah Zakat sejak awal merencanakan dana bantuan untuk Siti harus difokuskan pada pengembangan ekonomi produktif, pada pemberdayaan ekonomi ummat. Kami ingin memberi “kail” bukan “ikan”. Ikan meski sekarung atau 1 ton sekalipun akan habis. Tapi kail akan tetap bisa dipakai untuk memancing ikan di manapun dan kapanpun.
Untuk itu, siang ini selepas sholat Jumat, relawan Rumah Zakat akan bertolak ke kampung Siti untuk melakukan survey, memetakan kondisi masyarakat setempat, mempelajari apa kebutuhan mereka, mengetahui potensi Ibunda Siti dan menelaah kira-kira usaha apa yang tepat untuk mereka jalankan, serta kemungkinan Ibunya Siti punya tanggungan hutang. Hasil survey akan jadi pedoman kami untuk meeting Sabtu besok dan mempersiapkan kunjungan pada hari Minggu.
Selain itu, ada tawaran menarik dari teman saya yang telah jadi pengusaha sukses, ia ingin mengajak Siti dan Ibunya untuk tinggal bersama keluarganya di Jakarta. Sekolah Siti akan jadi tanggungannya dan Ibunya Siti akan diberi peluang usaha, misalnya membuka kantin atau warung kopi untuk para pekerja di perusahaannya. Tentu jika Siti dan Ibunya bersedia. Kesediaan ini akan dijajaki oleh tim survey nanti malam, setelah bertemu Siti dan Ibunya.
Jadi, kami punya plan A dan plan B. Plan A : jika Siti dan Ibunya bersedia diboyong ke Jakarta, maka solusi atas permasalahan Siti selesai sudah. Artinya, dana terkumpul ini akan diapakan? Sedangkan plan B : jika Siti dan Ibunya menolak diajak pindah ke Jakarta, artinya dana terkumpul akan kami alokasikan untuk biaya sekolah Siti, pembayaran hutang (jika ada) dan modal kerja bagi Ibunda Siti. Nah, bagaimana jika ternyata plan A yang jalan? Akan dikemanakan dananya?
Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan rencana kami dan Rumah Zakat. Jika seandainya solusi atas permasalahan Siti sudah teratasi, dana terkumpul akan kami salurkan pada Siti-Siti yang lain, yang kemungkinan besar akan kami temui di kampung terpencil itu. Daerah-daerah di Banten memang masih menyimpang banyak kantong-kantong kemiskinan akut. Anda tentu belum lupa jembatan ala Indiana Jones yang sampai masuk media massa internasional, itu juga terjadi di Banten.
Bukankah tujuan kita membantu warga miskin yang belum tersentuh bantuan formal dari Pemerintah? Jadi saya rasa jika Siti dan Ibunya sudah mendapatkan keluarga asuh mapan yang siap memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, tentu tak ada salahnya jika dana itu kemudian disalurkan bagi pemberdayaan ekonomi warga sekitarnya yang juga miskin, hanya saja tidak seberuntung Siti diliput oleh Trans7. Bisa juga untuk membantu pendidikan anak usia sekolah yang terancam putus sekolah di sekitar daerah Siti. Saya yakin, pendidikan adalah salah satu kunci pemutus mata rantai kemiskinan. Jadi menyelamatkan anak-anak miskin di kampung dari kemungkinan putus sekolah, juga sebuah misi yang mulia.
Demikian tulisan ini saya buat, dengan harapan akan ada masukan dari Kompasianers. Berat bagi saya mengemban amanah dari pembaca yang mempercayakan menitipkan donasinya kepada saya. Jika saya salah mengalokasikan, bukan tidak mungkin keikhlasan penyumbang jadi berkurang. Untuk itu saya terbuka atas kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi lancarnya misi kemanusiaan kita. Jangan sampai niat mulia jadi salah sasaran dan kurang manfaat seperti kasus Darsem, yang akhirnya justru menyulut kemarahan donatur. Saran dan masukan dari pembaca akan kami jadikan pertimbangan dalam mengambl keputusan, sebab kami mengemban amanah anda.
Catatan :
Yang belum membaca tulisan terdahulu tentang Siti, silakan click link ini :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H