Denny Indrayana mungkin bukan sosok yang menyenangkan. Kesannya yang ABS terutama kepada Presiden SBY, membuat banyak orang kurang menyukainya. Saya pun termasuk yang kurang menyukai Denny. Tapi jika ia melakukan sesuatu yang baik dan itu sesuai tugasnya, tentu kita harus obyektif mengapresiasinya.
Tindakan Denny yang melakukan sidak tengah malam ke lapas Cipinang karena melihat rekaman CCTV ada kunjungan di luar jam berkunjung kepada Nazaruddin, saya rasa perlu diapresiasi. Apapun tujuan Denny –katakanlah dia punya agenda tersembunyi – bukankah gara-gara sidaknya ini kelicikan Nazar dan komplotannya bisa diketahui. Publik jadi menduga-duga, pertemuan itu pastilah bukan sekedar menjenguk Nazar yang konon katanya sedang sakit. Bukankah orang sakit justru perlu istirahat lebih awal dan bukan diajak bergadang sampai tengah malam?
[caption id="attachment_162134" align="aligncenter" width="300" caption="rekaman gambar CCTV Nasir bertemu Nazar"]
[/caption] Jelas, kunjungan yang dilakukan Nasir – kakak Nazar sekaligus anggota Komisi III DPR – bersama dengan Jufrri Taufik – mantan Pengacara Mindo Rosalina Manullang – adalah sebuah pelanggaran. Bagi Nasir, ini bukan sekedar pelanggaran tata tertib jam kunjungan, tapi juga penyalahgunaan wewenang dan fasilitas yang melekat pada jabatan. Sebab Nasir menggunakan fasilitas akses yang dimiliki oleh anggota Komisi III DPR untuk masuk ke semua lapas kapanpun dan dimanapun, yang tujuan pemberiannya sebenarnya baik, yaitu untuk fungsi pengawasan.
Dari fakta sidak itu, setidaknya banyak hal kemudian perlu dibenahi dan banyak pihak harus berbenah. Bagi Depkumham sendiri, mungkin perlu meninjau ulang syarat penggunaan kartu akses tersebut bagi anggota DPR. Tidak perlu dicabut, tapi harus dibuatkan aturan penggunaannya dan diperketat pengawasannya agar tidak diselewengkan. Bagi petugas lapas kejadian ini bisa dijadikan pelajaran agar tak mudah takut dengan gertakan anggota DPR yang arogan.
Sedang bagi Partai Demokrat, seharusnya dipertimbangkan penempatan Nasir di Komisi III DPR menggantikan posisi Nazaruddin. Apakah sudah benar Nasir yang tidak punya kompetensi di bidang hukum didudukkan di Komisi III? Apakah bukan sebaliknya : karena Nasir punya saudara yang sedang berperkara hukum dan perkara itu adalah perkara besar yang menjadi perhatian publik, maka penempatan Nasir di Komisi III justru sangat tidak tepat dan beresiko disalahgunakan?
Karena hasil sidak itu pula lah, kini publik tak lagi percaya mentah-mentah pada skenario Nazaruddin. Maklumlah, sejak jadi pelarian, Nazar seolah berbalik jadi “pahlawan”. Nazar kemudian dianggap whistle blower karena ocehannya membuka borok di tubuh partai Demokrat. Padahal sejatinya Nazar cuma seorang maling yang berteriak maling karena tak mau dipenjara sendirian. Nazar bukanlah justice collaborator yang sebenarnya, sebab dalam banyak hal dia justru mempersulit proses penyidikan dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan.
Depkumham sendiri pun sudah mencopot kepala petugas jaga lapas yang malam itu memberikan ijin kepada Nasir untuk menemui Nazar, bahkan kemudian memfasilitasinya dengan meminjamkan ruangannya kepada Nazar, Nasir dan Juffri, agar bisa lebih leluasa mengobrol. Artinya Depkumham telah melakukan introspeksi internal aparat mereka yang lalai. Jadi, menurut saya, sidak yang dilakukan Denny Indrayana itu banyak nilai positifnya dan pantas diapresiasi.
Anehnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Syarifudin Suding, yang kemarin terlihat bersama Nasir, justru mencemooh apa yang dilakukan Denny. Di mata Syarifudin, apa yang dilakukan Denny hanyalah “cari sensasi” semata. Entah kenapa Syarifudin ikut sewot dengan kejadian yang menimpa Nasir. Apakah karena Nasir koleganya di Komisi III? Apakah karena akibat perbuatan Nasir ada kemungkinan fasilitas dan privilege yang diberikan kepda Komisi III akan ditinjau ulang? Bukankah seharusnya Komisi III lebih patut marfah kepada Nasir yang telah mencoreng nama baik Komisi III dengan menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi?
Komisi III DPR tampaknya sejak dulu adalah Komisi yang paling sulit dimengerti oleh rakyat yang diwakilinya. Mereka bisa sedemikian marah luar biasa kepada Denny Indrayana dan Menkumham gara-gara mengeluarkan putusan penghapusan remisi kepada para koruptor. Masih ingat kan bagaimana Azis Syamsudin dari Golkar mencela Denny. Tampaknya Azis kecewa sekali karena koleganya dari Golkar yang jadi terpidana kasus suap cek pelawat, gagal bebas dari penjara karena pencabutan remisi. Tapi ironisnya, Komisi III DPR sama sekali tak pernah bereaksi ketika ada kasus-kasus hukum remeh yang menimpa rakyat kecil dengan hukuman yang tidak masuk akal. Misalnya kasus sandal jepit, kasus nenek mencuri 3 biji kakao, kasus nenek pembantu dituduh mencuri 6 buah piring.
Kesimpulannya, Komisi III DPR akan bereaksi keras jika itu menyangkut kolega dan rekan sejawatnya. Seperti apa yang dilakukan Syarifudin Suding misalnya, ia tak menjelaskan dimana letak sensasinya? Bukankah Depkumham juga menindak aparatnya sendiri? Kalau toh itu benar cuma sensasi, bagaimana seharusnya menurut Suding? Dan terhadap Nasir sendiri yang sudah jelas-jelas sering melanggar jam kunjungan dengan menggunakan fasilitas yang melekat serta membawa nama Komisi III, apa tindakan yang diusulkan Suding?
Inilah satu lagi bentuk arogansi DPR : kami jangan diusik! Kalau anda mengusik kenyamanan kami, anda hanya cari sensasi. Rekan sejawat kami tak pernah salah, yang salah yang memergoki. Hmm..., Hanura belum lagi berkuasa, tapi sikap anggota DPR nya sudah seperti itu. Salah benar, teman saya selalu benar! Mungkin itu slogan yang ada di benak anggota DPR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H